Liputan6.com, Jakarta - Perdagangan orang sudah terjadi sejak lama dan masih berlangsung sampai saat ini.
Pada masa pandemi COVID-19 tahun 2020, perdagangan orang mengalami kenaikan kasus menjadi 400 kasus, padahal pada tahun 2019 berjumlah 213 kasus.
Menurut data dari IOM di Indonesia, sebagian besar korbannya adalah wanita dan anak-anak, yang 80 persen di antaranya mengalami eksploitasi secara seksual.
Advertisement
Tindak Pidana Perdagangan Orang (TOTP) masih belum menemukan solusi yang benar-benar bisa menuntaskan masalah ini.
Menurut Hariyanto Suwarno, Ketua SBMI, dalam sebuah webinar yang diadakan Kompas dengan tema "Tren, Polam dan Mekanisme Penanganan TPPO" kasus ini didukung oleh banyak faktor.
"Masalah perdagangan orang sampai saat ini belum tuntas. Karena ada banyak faktor seperti banyak orang Indonesia yang tidak mendapat pekerjaan di sini, akhirnya harus keluar dan terjebak dalam perdagangan ini."
Â
**Ibadah Ramadan makin khusyuk dengan ayat-ayat ini.
Saksikan Juga Video Berikut Ini:
Tergiur oleh tawaran manis
Ada banyak cara yang dapat dilakukan oleh pelaku untuk bisa mendapatkan korban.
"Iming-iming pada calon korban sangat menggiurkan, sehingga sangat menguntungkan untuk orang-orang yang kesulitan ekonomi atau anak sekolah di bawah umur," kata Maizidah Salas, Penyintas, Ketua DPC SBMI Wonosobo.
Hampir 70 persen korban perdagangan orang dieksploitasi dalam perekonomian swasta, dengan beberapa industri berisiko tinggi adalah pertanian, perikanan, tekstil, dan pakaian jadi.
Menghentikan kasus ini memang tidak mudah, namun hal ini harus menjadi perhatian pemerintah dan melakukan upaya pencegahan.
Menurut Judha Nugraha, Direktur PWNI dan BHI Kementerian Luar Negeri, "pencegahan yang dapat dilakukan salah satunya dengan melakukan konseling."
Hal ini bisa berdampak baik agar tidak semakin banyak yang mudah tergiur oleh tawaran yang akan menjerumuskan.
Â
Reporter: Veronica Gita
Advertisement