Sukses

FPCI dan Ratusan Organisasi di ASEAN Desak Myanmar Hentikan Kudeta dan Kekerasan Sipil

FPCI, bersama perwakilan organisasi dari negara-negara Asia Tenggara menanggapi krisis politik di Myanmar.

Liputan6.com, Jakarta- Pemenang Nobel Jose Ramos-Horta (Presiden Timor Leste 2007-2012) dan Dr Dino Patti Djalal (Ketua Foreign Policy Community of Indonesia) mengadakan Southeast Asian People-to-People Region Asia Tenggara tentang Krisis Politik di Myanmar pada Kamis, (8/4/2021).

Menurut Jose Ramos-Horta, perlu ada perlawan untuk menghentikan kudeta militer di Myanmar. Karena, "Sentralitas ASEAN (ASEAN Centrality) dan Komunitas ASEAN (ASEAN Community) akan menjadi klise belaka, tanpa substansi dan tujuan, jika para pemimpin tidak melawan perampas kekuasaan dan tidak membela harapan rakyat Myanmar yang berjuang dengan damai dan sekarat."

Dino Patti Djalal menambahkan. "ASEAN selalu menyuarakan pentingnya suatu "people-centered ASEAN.” Saat krisis di Myanmar melanda, masyarakat Asia Tenggara tidak ingin menjadi pengamat yang pasif. Mereka ingin mengambil sikap tegas melawan ketidakadilan, serta memberi dorongan moral dan politik yang kuat untuk menolak kudeta militer, dan mengembalikan Myanmar ke jalur demokrasi."

Dalam pertemuan itu, FPCI bersama ratusan perwakilan masyarakat sipil seperti LSM, organisasi masyarakat, serta organisasi pemuda dari negara-negara Asia Tenggara pun menyampaikan pernyataan bersama mereka dalam menanggapi krisis politik di Myanmar

Sejak kudeta militer pada Februari 2021 terhadap Pemimpin Sipil Aung San Suu Kyi dan pejabat-pejabatnya, warga Myanmar melakukan serangkaian protes yang menuntut kembalinya demokrasi.

Demonstrasi itu kemudian berujung bentrok antara warga sipil dan militer Myanmar - menuai kecaman dan desakan dari berbagai negara di dunia, termasuk negara-negara ASEAN agar dihentikannya kekerasan.

"Kami telah berkumpul secara virtual dalam People-to-People Region Hall, menyadari rasa kemanusiaan bersama kami  dengan rakyat Myanmar dan cinta kami yang sama akan kebebasan dan kepatuhan terhadap demokrasi, hak asasi manusia, dan penghormatan terhadap martabat manusia, terlepas dari ras, bahasa, gender, atau latar belakang etnis, persuasi agama atau politik," kata pernyataan bersama itu pada Kamis (8/4/2021). 

Pernyataan itu juga menyampaikan bahwa "masyarakat Asia Tenggara mengungkapkan dukungan penuh dan solidaritas dengan orang-orang di Myanmar".

Seperti yang telah banyak disampaikan oleh pejabat dan perwakilan negara-negara di dunia, pernyataan tersebut menyatakan bahwa  organisasi masyarakat dari negara-negara Asia Tenggara mengutuk keras kudeta yang terjadi di Myanmar. 

"Kami mengutuk keras kudeta yang terjadi di Myanmar pada 1 Februari 2021, di mana militer negara (Tatmadaw) merebut kekuasaan dan menangkap serta menahan pejabat tinggi negara yang terpilih, termasuk Pemimpin Negara Daw Aung San Suu Kyi, kepala pemerintah Myanmar yang diakui secara universal, dipilih sebagaimana mestinya dan sah; dan Presiden yang terpilih, Win Myint," ujar pernyataan itu.

Saksikan Video Berikut Ini:

2 dari 3 halaman

Desakan Dibebaskannya Pemimpin Sipil Myanmar Aung San Suu Kyi

Selanjutnya, pernyataan bersama itu meminta "Organisasi kemanusiaan seperti Palang Merah Internasional harus memastikan akses yang aman dan tidak terhalang ke semua tahanan politik dan korban penindasan yang sedang berlangsung, termasuk ribuan pengungsi terutama di negara bagian Karen yang sekarang melarikan diri melintasi perbatasan ke Thailand".

Adapun desakan agar militer Myanmar memulihkan koneksi internet dan memberikan akses kepada orang-orang di Myanmar untuk berkomunikasi.

"Perusahaan telekomunikasi internasional yang beroperasi di Myanmar harus menolak perintah penutupan internet dan menghormati hak asasi manusia," ujar pernyataan itu.

"Kami, rakyat Asia Tenggara, menuntut pemulihan segera atas pemerintahan sipil Myanmar yang terpilih. Kami menuntut pembebasan segera dan tanpa syarat semua tahanan politik, termasuk Daw Aung San Suu Kyi dan pejabat sipil terpilih lainnya, jurnalis dan aktivis buruh," pungkasnya.

Desakan pembebasan itu juga mencakup "mereka yang ditangkap dan ditahan karena partisipasi dalam protes terhadap serangan pada sistem demokrasi yang masih muda di negara itu".

"Tatmadaw harus menghentikan kriminalisasi yang sedang berlangsung terhadap Aung San Suu Kyi, Presiden Win Myint, dan politisi lainnya. Kami juga menyerukan perlindungan hak-hak tahanan politik," jelas pernyataan terebut, seraya menambahkan, "Mereka tidak boleh mengalami penyiksaan dan / atau perlakuan yang merendahkan martabat lainnya".

Dilanjutkan juga, "Kami, rakyat Asia Tenggara, mendorong pejabat terpilih yang sah dari pemerintah Myanmar untuk terus melakukan apa pun yang memungkinkan untuk melayani rakyatnya terlepas dari penganiayaan yang telah mereka alami".

"Kepada mereka kami katakan: Kami mendorong Anda untuk terus membayangkan dan merencanakan sistem yang lebih demokratis dan inklusif untuk Myanmar, di mana semua kelompok etnis di Myanmar, termasuk Rohingya dari Negara Bagian Rakhine, dapat menegaskan dan menghayati identitas mereka masing-masing di dalam satu kerangka negara Myanmar," tambahnya.

3 dari 3 halaman

Infografis Penangkapan Aung San Suu Kyi dan Kudeta Militer Myanmar