Sukses

Pentingnya Representasi Muslim di Ruang Wartawan Amerika Serikat

Dalam diskusi daring yang diselanggarakan oleh Kedutaan Besar Amerika Serikat, sejumlah pembicara menjabarkan betapa pentingnya representasi muslim di ruang wartawan Amerika Serikat (AS).

Liputan6.com, Jakarta - Tidak hanya perbedaan jumlah jam berpuasa saat bulan Ramadhan dengan Indonesia, populasi Muslim di Amerika Serikat (AS) dapat dianggap menjadi kaum minoritas. Pada Selasa 20 April 2021, Kedutaan Besar Amerika Serikat menyelenggarakan diskusi daring dengan judul 'Ramadhan and Female Muslim Journalists in U.S. Newsrooms' dengan sejumlah pembicara yang berbagi pengalaman terkait hal tersebut.

Pembicara-pembicara itu adalah reporter Wall Street Journal di Gedung Putih Sabrina Siddiqui, Asisten Editor untuk Chicago Sun-times Rummana Hussain, dan VOA TV Produser Nia Iman Santoso. Dikusi ini juga dimoderasi oleh Jurnalis Republika Yeyen Rostiyani.

Dalam pertanyaan pembukaan, Michael Quinlah, Tase Pers Kedutaan Besar AS di Jakarta mengatakan bahwa walaupun populasi Muslim di AS hanya 1% dari jumlah penduduknya, banyak yang ingin mempunyai pekerjaan di bidang media dan jurnalisme.

"Hari ini, kita akan mendengar dari tiga jurnalis wanita Muslim yang bekerja di ruang redaksi AS tentang kisah sukses dan perjuangan mereka. Banyak Muslim Amerika memilih untuk mengejar karir di media dan jurnalisme. Meskipun populasi Muslim hanya sekitar 1% dari populasi AS, jurnalis Muslim telah mencapai kesuksesan di ruang redaksi A.S. dan memegang posisi sebagai reporter, editor, produser, dan presenter."

Michael juga menceritakan saat ia pertama kali buka puasa 25 tahun lalu.

"Banyak Muslim Amerika juga berbagi kebahagiaan berkumpul untuk buka puasa dan sholat, seperti di Indonesia dan di tempat lain. Saya ingat buka puasa pertama saya sekitar 25 tahun lalu," katanya. "Itu ketika saya masih kuliah dengan teman sekamar saya Ihsam dari Michigan dan Carl dari New Jersey. Dan itu adalah salah satu pengalaman paling bahagia di masa kuliah saya, benar-benar berbagi banyak persaudaraan dan persekutuan."

Sabrina, yang sudah ingin menjadi jurnalis sejak umur 13 tahun mengatakan bahwa ia sadar tentang betapa kurangnya representasi Muslim dalam berita AS.

"Apa yang selalu menonjol bagi saya ketika saya cukup dewasa untuk memperhatikan adalah bahwa tidak ada seorang pun di berita Amerika yang mirip dengan saya dan tidak ada orang yang namanya terdengar seperti nama saya juga."

Ia lanjut menjelaskan bahwa kurangnya hal itu membuatnya bertanya menegenai dampak yang signifikan bagiamana orang Muslim di AS digambarkan -- terutama setelah serangan 11 September yang lebih sering dikenal sebagai 9/11.

"Kurangnya representasi, representasi Muslim, saya pikir, terutama bagi saya sebagai orang dewasa muda selama 9/11 dan setelah sabu memiliki dampak yang sangat besar tentang bagaimana Muslim ditampilkan dalam berita," tuturnya. "Saya pikir tidak adanya wajah yang akrab atau bahkan nama yang akrab adalah sesuatu yang kita perjuangkan sampai hari ini."

 

**Ibadah Ramadhan makin khusyuk dengan ayat-ayat ini.

2 dari 3 halaman

Faktor Penting dalam Politik

Representasi publik, menurut Sabrina, merupakan hal penting yang dapat berdampak di politik. "...dan dalam enam tahun terakhir seperti yang saya yakin banyak dari Anda perhatikan, retorika anti-muslim dan kebijakan anti-muslim benar-benar menjadi sentral dalam pemilihan AS untuk politik AS."

"Jadi ketika kami meliput kejadian-kejadian itu di dalam ruang redaksi, seringkali saya adalah satu-satunya Muslim di sana, dan itu adalah pengalaman yang sama untuk rekan-rekan Muslim saya yang lain di dalam ruang redaksi lain di organisasi lain di mana kami adalah orang-orang yang memiliki dampak pernyataan politik ketakutan," jelas Sabrina.

"Yang terkadang dihuni komunitas Muslim, untuk membicarakan tentang maraknya kejahatan rasial dan islamaphobia."

Selain Sabrina, Rummana juga memberikan contoh tentang dampak kurangnya representasi Muslim di media saat terjadinya penembakan di sebuah klub malam di Orlando, Florida pada 2016.

"Sangat mengganggu melihat banyak jurnalis masuk ke rumah tersangka dan mereka menemukan, seperti, sajadah, dan mereka mengatakan itu adalah tanda radikalisasi. Atau fakta bahwa dia pergi ke Arab Saudi untuk haji dan itu berarti dia sedang diradikalisasi."

Kedua Sabrina dan Rummana tetap berusaha untuk merubah gambaran tersebut.

"Masih banyak ketidaktahuan terhadap Islam. Makanya saya merasa perlu untuk berbicara dan selalu mengklarifikasi hal-hal. Saya masih berpikir itu sangat penting," tegas Rummana.

 

Reporter: Paquita Gadin

3 dari 3 halaman

Infografis Aman Berpuasa Saat Pandemi Covid-19