Sukses

Warga Myanmar Demo di Jepang, Dukung Rezim Anti-Junta Militer

Warga Myanmar di Jepang minta agar rezim anti-junta mendapat pengakuan.

Liputan6.com, Tokyo - Ribuan warga Myanmar di Jepang berdemo pada Minggu (2/5/2021). Mereka menuntut pemerintah Jepang agar mengakui National Unity Government yang merupakan oposisi rezim junta militer Myanmar.

Dilansir Kyodo, para pendemo tampak memakai masker, memakai baju serb hitam, sambil membawa tulisan dengan simbol NUG. Ada juga yang membawa tulisan "let us be the last generation under dictatorship."

Mereka juga berteriak agar Aung San Suu Kyi dibebaskan. Hingga kini, militer masih terus menahan Suu Kyi di lokasi rahasia.

Acara ini pernah berlangsung di Korea Selatan dan Taiwan. Jadwal juga direncanakan di Amerika Serikat, Inggris, dan negara-negara Eropa lainnya.

Peserta demonstrasi menyebut ajang ini sebagai Global Myanmar Spring Revolution Day. Seorang perawat Myanmar yang bekerja di Jepang bahkan turut ikut berunjuk rasa untuk membela demonstrasi.

Panitia demo berkata generasi muda akan memimpin demo ini di seluruh dunia.

"Kami, para pemuda Myanmar, memimping demonstrasi anti-junta di seluruh dunia hari ini," ujar panitia demo di Jepang, seorang wanita berusia 28 tahun bernama Swe.

"Kami ingin pemerintah Jepang untuk mengambil tindakan spesifik seperti menahan semua proyek ODA (official development assistance) yang menguntungkan militer Myanmar," ujarnya.

Saksikan Video Pilihan Berikut:

2 dari 2 halaman

Utusan PBB: Kekerasan yang Berlanjut di Myanmar Rusak Momentum Pertemuan ASEAN

Utusan khusus PBB untuk Myanmar mengatakan kepada Dewan Keamanan pada hari Jumat (30/4) bahwa dengan tidak adanya tanggapan kolektif internasional terhadap kudeta negara itu, kekerasan semakin memburuk dan jalannya negara berisiko terhenti, menurut para diplomat yang menghadiri pertemuan pribadi tersebut.

Christine Schraner Burgener memberi pengarahan kepada 15 anggota dewan dari Thailand, di mana dia telah bertemu dengan para pemimpin regional. Dia masih berharap untuk melakukan perjalanan ke Myanmar - di mana kudeta militer 1 Februari menggulingkan pemerintah terpilih yang dipimpin oleh Aung San Suu Kyi - tetapi militer belum menyetujui kunjungan itu. 

Protes pro demokrasi telah terjadi di kota-kota besar dan kecil di seluruh negeri sejak kudeta.

"Administrasi umum negara berisiko terhenti karena gerakan pro demokrasi terus berlanjut meskipun militer terus menggunakan kekuatan mematikan, penangkapan sewenang-wenang dan penyiksaan sebagai bagian dari penindasan militer," kata Schraner Burgener, menurut para diplomat.

Dia mengatakan kepada para diplomat bahwa laporan tindakan keras yang terus berlanjut berisiko merusak momentum untuk mengakhiri krisis menyusul pertemuan anggota Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) pada Sabtu dengan pemimpin junta, Jenderal Senior Min Aung Hlaing --demikian sebagaimana diwartakan Reuters, dikutip dari Antara, Minggu (2/5/2021).

Dalam sebuah pernyataan setelah pertemuan tersebut, Dewan Keamanan menekankan "pentingnya seruan ASEAN untuk segera menghentikan kekerasan dan menyerukan penerapan Konsensus Lima Poin tanpa penundaan sebagai langkah pertama menuju solusi damai dan berkelanjutan melalui dialog yang konstruktif."

Kelompok advokasi Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik mengatakan lebih dari 3.400 orang telah ditahan karena menentang kudeta dan pasukan keamanan telah menewaskan sedikitnya 759 pengunjuk rasa. Reuters tidak dapat memastikan jumlah korban.

Militer, yang memerintah selama hampir 50 tahun hingga meluncurkan proses reformasi tentatif satu dekade lalu, telah mengakui kematian beberapa pengunjuk rasa, mengatakan mereka dibunuh setelah mereka memulai kekerasan.