Liputan6.com, Jakarta - Dalam penelitiannya, Psikiater Victor Frankl mendefinisikan sikap "tragic optimisme" merupakan cara pandang yang terlalu optimis terlepas dari masalah yang dihadapi. Baik itu permasalahan hidup, rasa kehilangan, rasa sakit, emosi, dan rasa bersalah yang kerap kita hadapi.
Sementara sikap "toxic positivity" atau "pemikiran positif yang beracun" menegaskan bahwa kita seharusnya hanya memiliki pola pikir yang baik-baik saja. Sikap ini mendorong kita untuk merasakan emosi sulit yang berasal dari suatu tragedi dan menemukan makna di dalamnya.
Baca Juga
Menurut Bright Side, bersikap positif itu memanglah sangat penting, tetapi itu tidak selalu menjadi satu-satunya jawaban dalam menghadapi sebuah krisis.
Advertisement
Saksikan Video Berikut Ini:
Menyebabkan Kerugian
Menjadi positif dalam keadaan darurat dalam beberapa kasus dapat berbahaya bagi kita. Misalnya, orang-orang yang berada dalam suatu "hubungan yang melecehkan" mungkin meremehkan beratnya pelecehan tersebut dan memilih untuk tetap berada dalam hubungan tersebut.
Mereka akan memiliki pemikiran yang terlalu positif, memiliki harapan bahwa pelaku kekerasan mereka akan berubah, sehingga memaafkan mereka untuk itu.
Advertisement
Menyangkal Perasaan Kita yang Sebenarnya
Ketika kita memaksakan diri untuk hanya melihat sisi baiknya, kita menekan emosi negatif, yang bisa membuatnya lebih kuat. Perasaan ini bisa meletus suatu hari nanti, terutama saat kita menghadapi tragedi. Kita bahkan bisa merasa malu atau bersalah karena memiliki perasaan yang sulit ini.
Dengan tetap bersikap positif, kita akan cenderung tidak meminta bantuan karena kita pikir kita baik-baik saja dan tidak membutuhkan apa pun. Dan ini sangatlah berbahaya.
Tidak dapat Tumbuh Saat Masa Krisis
Menjadikan "pemikiran positif" sebagai mantra penyematan dapat secara tak langsung membunuh kemampuan kita untuk menghadapi tantangan secara langsung. Dengan menghindari emosi negatif, kita bisa kehilangan informasi berharga.
Katakanlah seorang wanita baru saja kehilangan seseorang yang penting baginya. Jika dia mengabaikan kesedihannya, dia mungkin masih menyangkal bahwa orang tersebut tidak akan pernah kembali dan mungkin tidak dapat menangani pengaturan pemakaman atau bahkan kehidupan setelah orang tersebut pergi.
Advertisement
Optimisme Saja Tidak Cukup
Meski begitu, bersikap optimis tetap penting, namun bukan satu-satunya hal yang kita sadari saat menangani krisis. Kita seharusnya masih merasakan sakit, tetapi kita bisa membalik naskah dengan mengubah penderitaan kita menjadi mencapai sesuatu.
Rasa bersalah adalah emosi manusia normal yang tidak boleh kita hindari, tetapi melaluinya, kita dapat mengambil kesempatan untuk berubah menjadi lebih baik. Saat dihadapkan pada kehilangan, kita seharusnya tetap merasakan kesedihan, tetapi kita bisa belajar dari perasaan ini dan menjalani hidup sepenuhnya.
Makna Memberi Harapan untuk Menangani Tragedi
Terlepas dari apa yang dilemparkan kehidupan kepada kita, jika kita dapat menemukan makna di baliknya, kita dapat bergerak maju dan suatu hari menemukan kebahagiaan sejati dalam hidup.
Harapan memungkinkan kita untuk menyeimbangkan hal-hal buruk yang sedang terjadi saat ini dengan kemungkinan bahwa kita dapat mengalami makna dari tragedi.
Ini adalah inti dari "tragic optimisme", yang mungkin merupakan penangkal "tocix positivity".
Reporter: Lianna Leticia
Advertisement