Liputan6.com, New Delhi - Pemerintah federal Perdana Menteri Narendra Modi telah membuka program vaksinasi untuk sekitar 960 juta orang India, namun tidak memiliki jumlah pasokan vaksin yang dibutuhkan yakni sekitar lebih dari 1,8 miliar dosis.
Lebih buruk lagi, kekurangan parah terjadi di tengah gelombang COVID-19 kedua yang mematikan dan peringatan gelombang ketiga yang akan datang.
Melansir BBC, Jumat (14/5/2021), para ahli kesehatan menilai bahwa beberapa kesalahan telah dibuat oleh pemerintah dalam waktu yang sama.
Advertisement
Ini termasuk perencanaan yang buruk, pengadaan pasokan vaksin sedikit demi sedikit dan harga yang tidak diatur oleh pemerintah Modi sehingga mengubah upaya vaksin India menjadi persaingan yang sangat tidak adil.
"India menunggu hingga Januari untuk memesan vaksinnya ketika dapat memesannya jauh lebih awal. Dan India memperoleh jumlah yang tidak seberapa," kata Achal Prabhala, koordinator AccessIBSA, yang mengkampanyekan akses ke obat-obatan di India, Brasil dan Afrika Selatan.
Antara Januari dan Mei 2021, India membeli sekitar 350 juta dosis dari dua vaksin yang disetujui -Â vaksin Oxford-AstraZeneca, diproduksi sebagai Covishield oleh Serum Institute of India (SII), dan Covaxin oleh perusahaan India Bharat Biotech.Â
Dengan harga $ 2 (Rp 28.500) per dosis, mereka termasuk yang termurah di dunia, tetapi tidak cukup untuk menginokulasi bahkan 20% dari populasi negara itu. Menyatakan bahwa India telah mengalahkan COVID-19, Modi bahkan melakukan "diplomasi vaksin", mengekspor lebih banyak vaksin daripada yang diberikan di India sendiri pada Maret.
Ini dibandingkan dengan AS atau UE, yang memesan di muka lebih banyak dosis daripada yang mereka butuhkan hampir setahun sebelum vaksin tersedia untuk imunisasi.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Keterlambatan Pemesanan Vaksin
Tidak seperti AS dan Inggris, India juga menunggu hingga 20 April - memasuki gelombang kedua - untuk memperpanjang jalur pembiayaan US$ 610 juta ke SII dan Bharat Biotech untuk meningkatkan produksi.
Kegagalan lain, menurut Malini Aisola, salah satu penyelenggara All India Drug Action Network, adalah keputusan untuk tidak mendaftarkan sebagian besar kapabilitas manufaktur India - pabrik biologi, misalnya, yang dapat digunakan kembali untuk jalur produksi vaksin.
Sekali lagi, empat perusahaan, termasuk tiga perusahaan milik pemerintah, baru-baru ini diberikan hak untuk membuat Covaxin, yang sebagian didanai publik.
Di sisi lain, pada awal April, pengembang Sputnik V Rusia, telah menandatangani kesepakatan manufaktur dengan sejumlah perusahaan farmasi India, yang akan memproduksi vaksin tersebut.
Advertisement