Sukses

HEADLINE: Konflik Israel Vs Palestina Kian Mematikan, Benarkah Tak Ada Solusi?

Minggu 16 Mei 2021 jadi hari paling mematikan di Palestina sejak pertempuran dengan Israel dimulai.

Liputan6.com, Jakarta - Bukan pesta kembang api. Tapi saling serang ratusan roket melayang. Minggu 16 Mei 2021, jadi hari paling mematikan di Palestina sejak pertempuran dengan Israel dimulai selama sepekan.

Serangan udara Israel menghantam jalan dengan tingkat kesibukan tinggi di Gaza setelah tengah malam. Setidaknya tiga bangunan runtuh dan puluhan kematian warga.

Hamas membalas serangan dengan meluncurkan rentetan roket ke arah Israel selatan pada malam dan sore hari. Pada Senin 17 Mei pagi, pesawat tempur Israel melancarkan 80 serangan udara di beberapa daerah di Kota Gaza, tak lama setelah gerilyawan Hamas menembakkan rentetan roket ke Israel selatan. 

Jutaan orang Israel bergegas ke kamar atau tempat perlindungan yang aman saat sirene berbunyi. Warga Palestina juga mencoba untuk berhati-hati, tetapi di Jalur Gaza yang padat dan sumber daya yang buruk, menyebabkan banyak yang tidak tahu harus ke mana.

Pejabat Palestina di Gaza mengatakan, lebih dari 40 orang tewas dalam serangan udara Israel terbaru di Gaza, seperti dikutip dari BBC. Sementara tentara Israel mengatakan, militan Palestina telah menembakkan lebih dari 3.000 roket ke Israel selama sepekan terakhir.

Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) António Guterres telah memperingatkan bahwa pertempuran lebih lanjut dapat menjerumuskan kawasan itu ke dalam "krisis yang tidak dapat dikendalikan." Dia memohon agar kekerasan yang "sangat mengerikan" segera diakhiri.

PBB juga memperingatkan kekurangan bahan bakar di Gaza, Palestina yang dapat menyebabkan rumah sakit dan fasilitas lain kehilangan daya. Lynn Hastings, wakil koordinator khusus PBB untuk Proses Perdamaian Timur Tengah, mengatakan bahwa dia telah mengimbau otoritas Israel untuk mengizinkan PBB membawa bahan bakar dan pasokan tetapi diberitahu itu tidak aman.

Pejabat Gaza mengatakan, 42 orang, termasuk 16 wanita dan 10 anak-anak, tewas dalam serangan udara Israel Minggu 16 Mei. 10 orang, termasuk dua anak, tewas dalam serangan roket di Israel sejak pertempuran dimulai pada Senin 10 Mei, kata Israel.

Korban tewas secara keseluruhan di Gaza sekarang mencapai 188 orang, termasuk 55 anak-anak dan 33 wanita, dengan 1.230 terluka, menurut kementerian kesehatan yang dikendalikan Hamas di Palestina. Sedangkan pihak Israel menyatakan, lusinan militan termasuk di antara yang tewas. 

Perdana Menteri Benjamin Netanyahu, menyalahkan Hamas karena memulai hampir seminggu permusuhan dengan menembakkan roket ke Israel. Ia mengatakan pada Sabtu 15 Mei 2021 bahwa Israel akan terus menyerang di Jalur Gaza Palestina selama diperlukan dan melakukan yang terbaik untuk menghindari korban sipil.

"Pihak yang menanggung rasa bersalah atas konfrontasi ini bukanlah kita, itu adalah mereka yang menyerang kita," kata Netanyahu dalam pidato yang disiarkan televisi. "Kami masih di tengah-tengah operasi ini, masih belum berakhir dan operasi ini akan terus berlanjut selama diperlukan."

"Tidak seperti Hamas, yang sengaja bermaksud membahayakan warga sipil saat bersembunyi di belakang warga sipil, kami melakukan segalanya, tetapi semuanya, untuk menghindari atau membatasi sebanyak mungkin merugikan warga sipil dan untuk langsung menyerang teroris sebagai gantinya."

Sementara itu, Presiden Palestina Mahmoud Abbas mengatakan, negaranya sedang berjuang keras melawan agresi Israel. Abbas menyebut serangan terjadi tidak hanya di Jalur Gaza, dan Israel tidak mengindahkan konvensi dan norma interasional.

"Agresi berkelanjutan dari pasukan penjajah terhadap rakyat kami di mana-mana, termasuk agresi di Jalur Gaza, telah melewati segala batas, mengabaikan semua norma-norma dan konvensi-konvensi internasional," ujar Abbas seperti dikutip dari Arab News. 

Palestina, sambung dia, berada dalam posisi kesulitan untuk melindungi martabat, hak, dan rakyatnya. Selain itu, Abbas berkata bahwa Yerusalem merupakan "garis merah" serta ibu kota dari Palestina.

"Yerusalem adalah garis merah. Tempat itu adalah jantung dan jiwa dari Palestina, dan ibu kotanya yang abadi. Dan tidak ada perdamaian, keamanan, atau stabilitas, kecuali dengan liberasinya yang menyeluruh," ungkap Abbas.

Menurut Pengamat Timur Tengah Yon Machmudi, Israel dan Palestina, terutama kelompok Hamas, sama sekali belum memiliki niatan untuk meredakan ketegangan. "Tentu kalau dari pihak Israel, mereka ingin menunjukkan kekuatannya dan tidak mau kehilangan muka apabila menghentikan tensi terlebih dahulu." 

Ia menilai hal itu karena berkaitan dengan sikap rakyat Israel terhadap pemerintahnya yang cenderung mengalami penurunan kepercayaan. Maka dari itu, perang dan aksi saling serang antara keduanya menjadi momen bagi PM Netanyahu untuk menunjukkan kekuatan pemerintahannya dalam memerangi Palestina. 

Yon menjelaskan, hal tersebut diperlukan Netanyahu untuk memperkuat posisinya di dalam negeri lantaran Palestina telah menjadi ancaman terbesar bagi mereka. Sebaliknya bagi Palestina, pertahanannya tetap harus dipasang dengan kokoh. 

Mengingat keinginan kedua belah pihak untuk masih terus memperpanjang konflik, peran lembaga internasional seperti PBB dan OKI penting. "Saya kira kan kedua lembaga itu sudah sejak lama menyampaikan concernnya terhadap isu ini, tapi persoalan ini kan sudah berulang kali tetapi kini serangan semakin parah dengan roket dan rudal," paparnya kepada Liputan6.com.

"Maka dari itu nampaknya jalur yang paling mungkin kan kekuatan Amerika Serikat untuk meredam situasi," imbuh Kepala Program Pasca Sarjana Kajian Timur Tengah dan Islam, Sekolah Kajian Strategis dan Global Universitas Indonesia ini. 

Peran Amerika Serikat dinilai penting lantaran kekuatan AS untuk ikut andil dalam konflik ini. Walaupun AS telah menunjukkan keberpihakannya kepada Israel, setidaknya pihaknya bisa mengomunikasikan hal ini dengan PM Benjamin Netanyahu. 

Konflik yang terjadi di Palestina dan Israel ini menjadi sorotan seluruh pasang mata di dunia saat ini. Termasuk Indonesia, banyak warga Indonesia yang turut menyuarakan keprihatinannya terhadap kondisi tersebut. Namun, isu semacam ini dikhawatirkan bisa menjadi salah pemahaman ketika masalah tersebut disangkutpautkan dengan agama.

"Penting untuk ditekankan bahwa dukungan terhadap Palestina itu berkaitan denga hak untuk mendapatkan kemerdekaan dan anti dengan penjajahan. Jadi, ini bukan merupakan isu yang berkaitan dengan agama," tegas Yon. 

Yon menambahkan, mereka yang terusir dari tempat tinggalnya bukan hanya kelompok Muslim, tetapi juga kelompok Nasrani hingga Arab Yerusalem. "Oleh karena itu, tentu concern kita dan dunia internasional untuk memberikan hak bagi warga Palestina untuk hidup aman dan damai di tempatnya," ungkap Yon lagi. 

Ia menganggap, konflik Israel dan Palestina ini bukan tanpa solusi. Salah satu solusinya kini tengah diupayakan pemerintah Indonesia, yang menurutnya, langkah yang dilakukan sudah cukup optimal termasuk meminta DK PBB untuk bersidang dan menegaskan posisinya di forum OKI. 

"Untuk jangka panjang, saya rasa itu perlu ditambahkan lagi dengan melobi negara besar yang menentukan seperti AS dan Rusia dan negara-negara Eropa yang lain untuk segera mencari solusi terbaik bagi perdamaian yang permanen." 

Ia menilai bahwa solusi berupa perdamaian permanen sangat penting guna mencegah hal serupa terjadi di masa depan, lantaran jika tidak kecaman internasional dari pihak mana pun akan sia-sia. 

Sebelumnya, Menteri Luar Negeri (Menlu) Retno Marsudi dengan tegas menyebut Israel sebagai penyebab penderitaan Palestina. Pernyataan itu dibuat setelah Retno menghadiri pertemuan antar menteri luar negeri Organisasi Kerja Sama Islam (OKI).

"Komitmen negara OKI tidak akan luntur. Sampai saat ini, kita masih menyaksikan adanya gangguan terhadap pelaksanaan ibadah Masjid Al-Aqsa, illegal settlement semakin merajalela, pergerakan rakyat Palestina dibatasi di tanah mereka sendiri," tegas Retno.

"Kita semua tidak boleh lupa bahwa Palestina adalah satu-satunya negara yang masih diduduki kekuatan kolonial di dunia ini. Semua penderitaan Palestina disebabkan Israel sebagai occupying power," tegasnya.

Retno berkata sudah ada ratusan korban tewas akibat konflik antara Israel-Palestina. Korban itu termasuk wanita dan anak-anak. Menlu juga berkata kekerasan terjadi di bulan Ramadhan, sehingga terasa "lebih melukai lagi." "Indonesia mengecam keras semua tindakan yang dilakukan oleh Israel."

Ia mengungkap, Dewan Keamanan PBB akan melakukan pertemuan membahas mengenai situasi di Palestina. "Seruan kepada komunitas internasional, khususnya DK-PBB, untuk mengambil langkah konkret atas tindakan kekerasan dan pelanggaran hukum internasional. Dan bila DK PBB gagal, maka SMU PBB harus melakukan Pertemuan Darurat," Retno memungkasi.

Saksikan video pilihan di bawah ini:

2 dari 4 halaman

Kronologi Konflik Terbaru Israel Vs Palestina

Menjelang akhir Ramadhan 2021, warga Gaza di Palestina tidak bisa menyambut Lebaran dengan sukacita. Percikan api konflik yang bermunculan selama bulan puasa akhirnya tersulut menjadi pertempuran melawan Israel. 

Ketegangan sebetulnya terjadi sejak April 2021. Arab News melaporkan bahwa aparat Israel melakukan sabotase pada speaker Masjid Al-Aqsa. Alasannya, suara speaker bisa menganggu tentara baru yang berdoa di tembok Buraq. 

Tindakan Israel memicu kecaman dari Yordania yang menganggap tindakan Israel sebagai provokasi. 

Konflik-konflik lain pun bermunculan, termasuk penembakan seorang remaja 16 tahun oleh Israel pada awal Mei 2021. Puncaknya, bentrokan terjadi di Masjid Al-Aqsa ketika jemaah bentrok dengan polisi Israel. 

Hingga kini, Hamas dan Israel masih saling serang dan korban jiwa terus berjatuhan. Berikut kronologi konflik Israel Palestina dan Hamas pada Mei 2021:

1. Bibit Konflik

Sejak April 2021, bibit konflik telah disebar oleh pihak Israel. Salah satunya adalah memutuskan aliran listrik ke speaker di menara Masjid Al-Aqsa.  

Pengelola area Masjid Al-Aqsa dari Yordania berkata Israel tidak punya wewenang dalam hal itu, demikian laporan Arab News. 

Gesekan sosial lain juga terjadi. Haaretz melaporkan bahwa ada otoritas Israel menutup Damascus Gate yang merupakan lokasi populer saat Ramadhan. 

Damascus Gate juga tutup tahun lalu karena COVID-19. Bentrokan lantas terjadi sampai akhirnya terjadi negosiasi dan Damascus Gate kembali buka. 

Pertikaian antar masyarakat sipil juga terjadi. Pada 15 April, seorang rabbi ditampar oleh pemuda Palestina di dalam kereta. Videonya itu disebar lewat TikTok dan memicu kecaman.

Pada 22 April, kelompok far-right Yahudi menggelar aksi di Yerusalem. Bentrokan terjadi dengan polisi, warga Arab Palestina, dan kelompok tandingan. Kerusuhan terus terjadi seminggu ke depan, diduga pembalasan atas serangan yang tersebar di TikTok.

Pada 5 Mei, seorang remaja Palestina, Saeed Yusuf Muhammad Oudeh ditembak oleh Israel Defence Forces (IDF) ketika ada bentrokan di Tepi Barat. Pemimpin militer Hamas berjanji akan membalas bila Israel tidak menghentikan agresi.

2. Prahara di Minggu Terakhir Ramadhan

Pada 7 Mei, bentrokan terjadi di Masjid Al-Aqsa antara jemaah Palestina dan polisi Israel.

Berdasarkan laporan Deutsche Welle, Bulan Sabit Merah Palestina menyebut banyak korban terluka di kepala dan mata akibat peluru karet. Ada juga korban luka dari granat kejut.

Ketika bentrokan terjadi, jemaah melempari polisi dengan kursi, sepatu, dan batu. Polisi lantas membalas dengan tembakan.

Arab News melaporkan lebih dari 200 warga Palestina terluka akibat bentrokan ini. Lebih dari 80 orang harus mendapat perawatan di rumah sakit. 

Di lain pihak, ada 17 korban luka di pihak kepolisian Israel.

3. Sengketa di Sheikh Jarrah

Salah satu hal yang ikut memantik konflik adalah sengketa di Sheikh Jarrah. Beberapa keluarga Palestina terancam disuri dari wilayah tersebut. 

Laporan Arab News, wilayah Sheikh Jarrah telah menjadi lokasi sengketa selama bertahun-tahun. Pemukim dari Israel ingin bertempat tinggal di wilayah itu. 

Kerusahan lantas terjadi di Sheikh Jarrah antara warga Palestina dan polisi Israel.

Pada 9 Mei, pengadilan Israel akhirnya memutuskan menunda sidang sengekta Sheikh Jarrah demi meredakan konflik, demikian laporan Haaretz.

4. Langit Penuh Roket

Setelah kerusuhan di Masjid Al-Aqsa pada 7 Mei 2021, konflik antara Hamas dan Israel akhirnya memuncak. 

Kedua pihak saling menembak roket dan saling membalas. Pada 12 Mei 2021, Israel Defence Forces (IDF) menyebut Hamas telah meluncurkan lebih dari 1.000 roket dalam 38 jam terakhir. 

Israel mengandalkan sistem pertahanan Iron Dome untuk menangkal roket-roket Hamas di langit. Strategi Israel tidak hanya defensif, melainkan ofensif. 

IDF mengklaim roket-roket mereka menarget fasilitas kunci milik Hamas, seperti bank dan tempat persenjataan. Salah satu yang dihancurkan adalah gedung yang juga menjadi kantor Associated Press (AP) dan Al Jazeera. Israel berkata kantor itu juga dipakai Hamas.

Meski IDF berkata hanya menyerang target Hamas, korban-korban jiwa dari pihak sipil terus berjatuhan, kebanyakan di pihak Palestina. Hingga Minggu (16/5), Menteri Luar Negeri Retno Marsudi berkata korban tewas sudah lebih dari 150 orang, termasuk anak-anak dan wanita. 

5. Respons Pemerintah Dunia

Respons dunia umumnya prihatin terhadap situasi di Gaza dan Yerusalem. Namun, tidak semua pemimpin mengecam Israel. 

Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden berkata Israel memiliki hak untuk mempertahankan diri. Pihak Gedung Putih berkata tujuan utama AS adalah de-eskalasi dan perdamaian. 

Juru bicara Gedung Putih, Jen Psaki, berkata AS siap bekerja sama dengan pihak-pihak yang punya pengaruh kepada Hamas, seperti Mesir dan Tunisia, agar situasi konflik mereda. 

Posisi AS adalah Hamas merupakan organisasi teroris.

Presiden Jokowi, Perdana Menteri Malaysia Muhyiddin Yassin, dan Sultan Hassanal Bolkiah dari Brunei telah memberikan pernyataan bersama. Ketiga pemimpin "mengutuk dalam istilah terkuat" terhadap agresi yang dilakukan Israel. 

Sementara, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu berkata didukung sejumlah negara-negara Eropa, seperti Jerman dan Belanda. PM Netanyahu juga berterima kasih pada dukungan dari Australia.

3 dari 4 halaman

Hampir 200 Warga Sipil Tewas

Sebanyak 192 orang, termasuk 58 anak-anak dan 34 perempuan, telah tewas di Jalur Gaza sejak kekerasan terbaru akibat ketegangan dengan Israel pekan lalu.

Dilansir Al Jazeera, Senin (17/5/2021) sebanyak 10 orang tewas di Israel, termasuk dua anak-anak.

Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melakukan pertemuan pada Minggu (16/5) yang membahas tentang kekerasan itu, namun gagal untuk membuat kesepakatan.

Sebelumnya, pada Minggu (16/5), militer Israel melakukan serangan intens di Jalur Gaza, menewaskan sedikitnya 42 warga Palestina, melukai puluhan lainnya, dan merusak setidaknya tiga bangunan tempat tinggal.

Rumah pimpinan Hamas di Gaza, Yehya al-Sinwar, juga menjadi sasaran serangan tersebut, menurut media kelompok tersebut.

Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu mengatakan bahwa akhir dari tujuh hari pertempuran dengan para pejuang Gaza tidak akan terjadi dalam waktu dekat, meskipun ada langkah diplomatik untuk mencapai ketenangan.

Safwat al-Kahlout dari Al Jazeera melaporkan, bahwa jet tempur Israel melakukan setidaknya 55 serangan udara di Gaza pada Senin 17 Mei pagi.

Al-Kahlout menyebut bahwa target serangan itu termasuk beberapa pangkalan militer dan keamanan di wilayah Palestina, serta beberapa tanah kosong di timur Kota Gaza.

Sebuah gedung berlantai empat juga diledakkan di pusat Kota Gaza, tetapi laporan awal menerangkan bahwa orang yang berada dalam gedung itu sudah dievakuasi sebelum serangan.

"Api semakin intensif di pangkalan militer, pangkalan keamanan, kamp pelatihan yang kosong yang dimiliki oleh kelompok pejuang Palestina," katanya.

Namun, belum diketahui secara jelas apakah ada korban dalam serangan udara tersebut.

Jason Lee, direktur Save the Children’s untuk Palestina mengatakan bahwa setidaknya tiga anak Palestina terluka setiap jamnya sejak serangan militer Israel di Gaza mulai pekan lalu.

"Banyak dari anak-anak ini mengalami luka - cacat fisik jangka panjang tetapi juga kerugian yang luar biasa pada kesehatan mental mereka - selama sisa hidup mereka," kata Lee.

4 dari 4 halaman

147 Negara Pendukung Kemerdekaan Palestina

Palestina secara resmi diakui sebagai negara berdaulat de jure (menurut hukum) di kawasan Timur Tengah.

Wilayah Palestina modern telah diperintah oleh beberapa kelompok, termasuk Yunani, Romawi, Kekaisaran Ottoman, dan Inggris setelah Perang Dunia I.

Dikutip dari laman worldpopulationreview, Senin (17/5/2021) ketika Inggris mengambil kendali pada tahun 1918, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengamanatkan bahwa Palestina perlu mendirikan negaranya.

Pada tahun 1947, Perserikatan Bangsa-Bangsa mengusulkan rencana untuk membagi Palestina menjadi dua bagian: negara Yahudi dan negara Arab.

Rencana ini akan memisahkan Yerusalem dari kedua negara, menjadikannya sebagai wilayah internasional.

Para pemimpin Arab menentang rencana tersebut, dengan alasan bahwa mereka mewakili mayoritas penduduk di wilayah tertentu dan harus diberi lebih banyak.

Israel menjadi negara pada Mei 1948 dan Inggris menarik diri dari Palestina.

Hampir seketika pada tahun yang sama, Perang Arab-Israel pecah antara Israel dan Yordania, Irak, Suriah, Mesir, dan Lebanon. Ini hanyalah awal dari beberapa dekade konflik.

Pada tahun 1988, Deklarasi Kemerdekaan Palestina memproklamasikan berdirinya Palestina.

Deklarasi tersebut diakui oleh beberapa negara tidak lama kemudian. Pada tahun 1993 dan 1995, Persetujuan Oslo ditandatangani oleh Israel dan Organisasi Pembebasan Palestina untuk menyelesaikan konflik keduanya yang sedang berlangsung.

Termasuk mendirikan Otoritas Nasional Palestina sebagai pemerintahan sementara yang berpemerintahan sendiri di wilayah Tepi Barat dan Jalur Gaza.

Saat ini, Palestina terus memperjuangkan negara resmi yang diakui secara resmi oleh semua negara.

Palestina menempati wilayah utama, termasuk Jalur Gaza dan Tepi Barat; namun, banyak orang Israel terus menetap di lokasi ini.

Para pemimpin Palestina di Hamas mempresentasikan dokumen pada tahun 2017 yang mengusulkan negara Palestina dengan Yerusalem sebagai ibukotanya dan perbatasan yang ditentukan, tetapi menolak untuk mengakui Israel sebagai sebuah negara dan ini ditolak oleh pemerintah Israel. Ketidakstabilan, pengungsian, dan kekerasan masih terjadi di seluruh wilayah.

Pada Juli 2019, 138 dari 193 anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah mengakui Palestina.

Negara yang tidak mengakui Palestina sebagai negara, seperti Amerika Serikat, Jerman, Inggris Raya, Prancis, Jepang, dan Kanada.

Sementara itu berikut yang mendukung Palestina:

Tahun 1988

1. Aljazair (15 November)

2. Bahrain (15 November)

3. Irak (15 November)

4. Kuwait (15 November)

5. Libya (15 November)

6. Malaysia (15 November)

7. Mauritania (15 November)

8. Maroko (15 November)

9. Somalia (15 November)

10. Tunisia (15 November)

11. Turki (15 November)

12. Yaman (15 November)

13. Afghanistan (16 November)

14. Bangladesh (16 November)

15. Kuba (16 November)

16. Indonesia (16 November)

17. Yordania (16 November)

18. Madagascar (16 November)

19. Malta (16 November)

20. Nikaragua (16 November)

21. Pakistan (16 November)

22. Qatar (16 November)

23. Arab Saudi (16 November)

24. Uni Emirat Arab (16 November)

25. Serbia (16 November)

26. Zambia (16 November)

27. Albania (17 November)

28. Brunei Darussalam (17 November)

29. Djibouti (17 November)

30. Sudan (17 November)

31. Republik Ceko (18 November)

32. Slowakia (18 November)

33. Mesir (18 November)

34. Gambia (18 November)

35. India (18 November)

36. Nigeria (18 November)

37. Seychelles (18 November)

38. Sri Lanka (18 November)

39. Siprus (18 November)

40. Belarusia (19 November)

41. Guinea (19 November)

42. Namibia (19 November)

43. Rusia (19 November)

44. Ukraina (19 November)

45. Vietnam (19 November)

46. Tiongkok (20 November)

47. Burkina Faso (21 November)

48. Komoro (21 November)

49. Guinea-Bissau (21 November)

50. Mali (21 November)

51. Kamboja (21 November)

52. Mongolia (22 November)

53. Senegal (22 November)

54. Hongaria (23 November)

55. Cape Verde (24 November)

56. Korea Utara (24 November)

57. Nigeria (24 November)

58. Rumania (24 November)

59. Tanzania (24 November)

60. Bulgaria (25 November)

61. Maladewa (28 November)

62. Ghana (29 November)

63. Ghana (29 November)

64. Zimbabwe (29 November)

65. Chad (1 Desember)

66. Laos (2 Desember)

67. Sierra Leone (3 Desember)

68. Uganda (3 Desember)

69. Republik Kongo (5 Desember)

70. Angola (6 Desember)

71. Mozambik (8 Desember)

77. São Tomé dan Principe (10 Desember)

78. Republik Demokratik Kongo (10 Desember)

79. Gabon (12 Desember)

80. Oman (13 Desember)

81. Polandia (14 Desember)

88. Botswana (19 Desember)

89. Nepal (19 Desember)

90. Burundi (22 Desember)

91. Republik Afrika Tengah (23 Desember)

92. Bhutan (25 Desember)

Tahun 1989

93. Rwanda (2 Januari)

94. Ethiopia (4 Februari)

95. Iran (4 Februari)

96. Benin (Mei atau sebelumnya)

97. Guinea Ekuatorial (Mei atau sebelumnya)

98. Kenya (Mei atau sebelumnya)

99. Vanuatu (21 Agustus)

100. Filipina (September)

Tahun 1991

101. Swaziland

Tahun 1992

102. Kazakhstan (6 April)

103. Azerbaijan (15 April)

104. Turkmenistan (17 April)

105. Georgia (25 April)

106. Bosnia dan Herzegovina (27 Mei)

107. Tajikistan (6 September)

Tahun 1994

108. Uzbekistan (25 September)

109. Papua Nugini (4 Oktober)

Tahun 1995

110. Kyrgyzstan (12 September)

Tahun 1998

111. Malawi (23 Oktober)

Tahun 2004

112. Timor Leste (1 Maret)

Tahun 2005

113. Paraguay (25 Maret)

Tahun 2006

114. Montenegro (24 Juli)

Tahun 2008

115. Kosta Rika (5 Februari)

116. Lebanon (30 November)

117. Côte d-Ivoire (1 Desember)

Tahun 2009

118. Venezuela (27 April)

119. Republik Dominika (14 Juli)

Tahun 2010

120. Brasil (1 Desember)

121. Argentina (6 Desember)

122. Bolivia (17 Desember)

123. Ekuador (24 Desember)

Tahun 2011

124. Chile (7 Januari)

125. Guyana (13 Januari)

126. Peru (24 Januari)

127. Suriname (1 Februari)

128. Uruguay (15 Maret)

129. Lesotho (6 Juni)

130. Sudan Selatan (9 Juli)

131. Suriah (18 Juli)

132. Liberia (19 Juli)

133. El Salvador (25 Agustus)

134. Honduras (26 Agustus)

135. Saint Vincent dan Grenadines (29 Agustus)

136. Belize (9 September)

137. Dominika (19 September)

138. Antigua dan Barbuda (22 September)

139. Grenada (25 September)

140. Islandia (15 Desember)

Tahun 2012

141. Thailand (18 Januari)

Tahun 2013

142. Guatemala (9 April)

143. Haiti (27 September)

Tahun 2014

144. Swedia (30 Oktober)

Tahun 2015

145. Saint Lucia (14 September)

Tahun 2018

146. Kolombia (3 Agustus)

Tahun 2019

147. Saint Kitts dan Nevis (30 Juli)