Sukses

Ramai di Medsos bahwa Indonesia Tolak R2P Cegah Genosida, Begini Klarifikasi Kemlu

Ini penjelasan Kemlu soal Indonesia yang menolak R2P.

Liputan6.com, Jakarta - Belakangan ini, ramai di media sosial ketika Indonesia masuk dalam daftar negara yang menolak R2P. 

Indonesia memang telah menolak R2P (Responsibility to Protect), yang menjadi prinsip dan kesepakatan internasional dengan tujuan untuk mencegah genosida, kejahatan perang, pemusnahan etnis dan kejahatan terhadap kemanusiaan lainnya. 

Pemungutan suara terbaru telah dilakukan pada Selasa (18/5/2021) dalam sidang umum PBB

Pihak Kemlu pun akhirnya mengeluarkan klarifikasinya melalui press briefing bersama Dirjen Multilateral, Febrian Alphyanto Ruddyard pada Kamis (20/5). 

Febrian menjelaskan bahwa resolusi ini berawal ketika Kroasia mengusulkan agar ada pembahasan mengenai R2P untuk dapat dibahas dalam agenda tersendiri. 

Sementara itu, sambil menarik garis ke belakang, sebelumnya pada tahun 2005 tepatnya pada World Summit, resolusi mengenai R2P ini telah dibahas. Ketika itu, Indonesia menyatakan dukungannya terkait hal tersebut.

"Jadi sudah jelas kita tidak memiliki posisi yang berbeda dengan posisi negara-negara pada saat menerima konsep R2P," papar Febrian. 

2 dari 2 halaman

Bukan Tolak Substansi Pembahasan

Febrian menambahkan bahwa R2P sudah dibahas sejak tahun 2009 silam, di bawah mata agenda Outcome World Summit 2005. 

"Artinya R2P ini bukan barang baru, dan kita sudah terlibat dalam setiap pembahasan," tambah Febrian lagi.

Kemudian pada 2017, Australia bersama Ghana mengajukan permintaan agar pembahasan R2P masuk ke dalam agenda tambahan (supplementary agenda) hanya selama satu tahun. 

Satu tahun kemudian, pada 2018, kembali muncul permintaan akan adanya agenda tambahan. Hal itu pun kembali terulang di tahun 2019 dan tahun 2020.

Kemudian pada tahun 2021, muncullah permintaan untuk membuat agenda tersendiri. Di titik ini lah, Indonesia memiliki perbedaan pandangan. 

"Karena bagi Indonesia, sudah jelas yang namanya R2P ini adalah mandat atau amanah dari World Summit 2005 harus dibahas dan agendanya sudah ada," jelas Febrian. 

Ia menambahkan bahwa Indonesia menilai untuk lebih baik membahasnya dalam agenda yang sudah ada seperti sejak tahun 2019. 

"Bagi kita yang penting adalah penguatan dari diskusi ini, penguatan dari pembahasan R2P ini karena sangat luas pembahasannya," tambahnya lagi.