Liputan6.com, Jakarta - Para menteri luar negeri negara-negara ASEAN yang menengahi krisis di Myanmar meminta para pejabat militer membebaskan tahanan dan memulai dialog politik yang disepakati.
Para menteri itu juga mengungkapkan kekecewaan mereka atas proses yang "sangat lambat" dalam menangani krisis kudeta di Myanmar sejauh ini.
Menteri Luar Negeri Singapura, Vivian Balakrishnan, mengatakan bahwa upaya diplomatik Asean "hanya masuk akal jika ada keinginan tulus di Myanmar sendiri untuk dialog dan negosiasi serta rekonsiliasi yang tulus".
Advertisement
"Sejujurnya, kami kecewa dengan kemajuan yang lambat – sangat, sangat lambat," kata Balakrishnan kepada media Singapura melalui panggilan telepon dari Chongqing, China, seperti dikutip dari AsiaOne, Selasa (8/6/2021).
Diketahui bahwa para menteri luar negeri negara-negara ASEAN melakukan pertemuan dengan rekan China mereka pada Senin (7/6).
"Indonesia sangat berharap bahwa implementasi lima poin konsensus perlu didorong setelah pertemuan ini dengan, sekali lagi, proses yang transparan," kata Menteri Luar Negeri RI, Retno Marsudi dalam konferensi pers.
Menteri Luar Negeri Malaysia, Hishammuddin Hussein juga menyampaikan bahwa ASEAN harus mengakui bahwa kemajuan dalam konsensus itu "sangat lambat".
"Komunitas internasional sedang menunggu tindakan Asean lebih lanjut," katanya di Twitter.
Dalam sambutan yang dibacakan pada pertemuan tersebut, Hishammuddin menyerukan agar ASEAN "bertindak lebih cepat untuk mengurangi ketegangan dan menghentikan kekerasan".
Militer Myanmar Tak Beri Banyak Respons
Junta militer di Myanmar telah menunjukkan sedikit respons dalam mengindahkan konsensus yang dicapai pada April 2021 di antara 10 negara ASEAN, termasuk Myanmar, yang menyerukan diakhirinya kekerasan, pembicaraan politik, serta penunjukan utusan khusus regional.
Junta militer di Myanmar telah berupaya mengendalikan situasi sejak melancarkan kudeta terhadap pemimpin sipil Aung San Suu Kyi, yang memicu gelombang kemarahan, protes serta pemogokan, dan upaya untuk membangun aliansi nasional untuk menggagalkan upaya militer untuk mengkonsolidasikan kekuasaan.
Aung San Suu Kyi (75) akan menghadiri sidang pekan depan dalam beberapa kasus pidana pertama yang dihadapinya.
Hal itu disampaikan oleh pengacara Aung San Suu Kyi, yang bertemu dengannya pada Senin (7/6) untuk sidang pengadilan.
Tuduhan yang dihadapi Aung San Suu Kti termasuk kepemilikan radio dua arah secara ilegal, pelanggaran protokol COVID-19, dan penyuapan.
Aung San Suu Kyi juga didakwa secara terpisah atas pelanggaran Undang-Undang Rahasia Resmi, yang dapat menghadapi hukuman hingga 14 tahun penjara.
Â
Advertisement