Liputan6.com, Jakarta - Mantan Menteri Luar Negeri Dino Patti Djalal menolak wacana dari pasal Penghinaan Presiden. Ia mengkhawatirkan potensi penyalahgunaan kekuasaan jika RUU itu diloloskan.
Dino menilai RUU itu bisa mengancam demokrasi Indonesia. Ia pun parlemen untuk bersikap bijaksana dan berpikiran ke depan dalam menangani RUU Penghinaan Presiden.
Advertisement
Baca Juga
RUU Penghinaan Presiden, pandangan saya sebaiknya jangan diloloskan. Sekali jadi UU, akan jadi permanen. Saya khawatir UU ini akan disalahgunakan presiden-presiden berikutnya yang kita tidak tahu siapa, dan akibatkan abuse of power yang ancam demokrasi Indonesia," ujar Dino melalui Twitternya, dikutip Minggu (13/6/2021).
"Semoga DPR arif dan bijaksana," ucap Dino.
Re RUU Penghinaan Presiden, pandangan sy sebaiknya JANGAN diloloskan. Sekali jadi UU, akan jadi permanen. Sy khawatir UU ini akan disalahgunakan Presiden2 berikutnya yg kita tidak tahu siapa, dan akibatkan abuse of power yg ancam demokrasi 🇮🇩. Semoga DPR arif dan bijaksana
— Dino Patti Djalal (@dinopattidjalal) June 12, 2021
Sebelumnya, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham), Yasonna Laoly menegaskan bahwa pasal penghinaan presiden yang tercantum dalam draf RKUHP dengan yang ditiadakan Mahkamah Konstitusi (MK) merupakan dua hal berbeda. Menurut Yasonna hadirnya pasal penghinaan presiden dalam draf RKUHP merupakan jawaban atas kondisi masyarakat yang dianggapnya terlalu bebas untuk melontarkan hinaan terhadap pemimpin negara.
"Saya kira kita menjadi sangat liberal kalau kita membiarkan. Tadi dikatakan, kalau di Thailand malah lebih parah, jangan coba-coba menghina raja itu urusannya berat. Bahkan di Jepang sendiri atau beberapa negara hal yang lumrah," kata Yasonna di hadapan anggota Komisi III DPR RI dalam Rapat Kerja di Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (9/6).
Yasonna berkata pasal penghinaan presiden dalam RKUHP merupakan delik aduan. Yasonna menyebut, pasal itu ditujukan bagi mereka yang menyerang harkat dan martabat presiden. Bukan mereka yang tengah melancarkan kritik.
"Kalau saya dikritik, Menkumham tak becus, lapas, imigrasi that's fine with me, tapi kalau sekali menyerang harkat dan martabat saya. Misalnya saya dikatakan anak haram, wah itu di kampung saya gak bisa itu. Anak PKI-lah, tunjukan pada saya kalau saya anak PKI, kalau gak bisa gua jorokkin lu," ujar Yasonna.
Beda dengan yang Dicabut MK?
Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej mengatakan, pasal penghinaan terhadap martabat presiden dan wakil presiden berbeda dalam RUU KUHP berbeda pasal yang sudah dicabut oleh Mahkamah Konstitusi. Perbedaannya jenis delik pasal tersebut.
"Pasal penghinaan itu adalah pasal penghinaan terhadap kepala negara, yang pertama, itu berbeda dengan yang sudah dicabut oleh Mahkamah Konstitusi," ujar Edward di Gedung DPR, Jakarta, Rabu (9/6/2021).
Delik pasal penghinaan presiden dalam RUU KUHP yang baru merupakan delik aduan, hanya presiden atau wakil presiden yang bisa melaporkan. Mahkamah Konstitusi sebelumnya mencabut pasal penghinaan yang merupakan delik biasa.
"Kalau dalam pembagian delik, pasal penghinaan yang dicabut oleh Mahkamah Konstitusi itu merupakan delik biasa. Sementara dalam RUU KHUP itu merupakan delik aduan," kata Edward.
"Kalau delik aduan, itu yang harus melapor sendiri adalah Presiden atau Wakil Presiden," sambungnya.
Advertisement