Liputan6.com, Charleston - Pada malam 17 Juni 2015, seorang penembak massal merenggut nyawa sembilan orang Afrika-Amerika di sebuah pelajaran Alkitab di Gereja Episkopal Metodis Afrika Emanuel di Charleston, Carolina Selatan.Â
Pembantaian di gereja kulit hitam yang bersejarah sangat mengguncang negara yang sudah letih oleh kekerasan senjata yang sering terjadi dan menandai kembalinya nasionalisme kulit putih yang kejam di Amerika.
Melansir History, Kamis (16/6/2021) di antara para korban terdapat aktivis dan senator negara bagian, Rev Clementa Pinckney - pendeta senior gereja.Â
Advertisement
Penembak, Dylann Roof yang berusia 21 tahun, bergabung dengan Pinckney dan anggota jemaatnya untuk sesi pelajaran Alkitab pada malam 17 Juni, sebelum menodongkan senjata, memberi tahu yang lain bahwa orang Afrika-Amerika "mengambil alih negara itu," dan membuka api.Â
Â
Melarikan Diri Setelah Gagal Bunuh Diri
Menurut salah satu korban selamat, Roof mencoba menembak dirinya sendiri tetapi kehabisan amunisi dan malah melarikan diri.Â
Dia ditangkap keesokan paginya di North Carolina dan, setelah penyelidikan dan pengadilan yang mengungkap radikalisasi dan keyakinan supremasi kulit putihnya yang intens, dijatuhi hukuman mati.
Penembakan massal biasa terjadi di Amerika Serikat pada tahun 2015, tetapi pembantaian Charleston adalah tindakan yang jelas dari kekerasan supremasi kulit putih yang terjadi ketika negara itu perlahan menyadari masalah rasismenya semakin buruk, bukan lebih baik.Â
Presiden Barack Obama saat itu, yang mengenal Pinckney, menyampaikan pidato di pemakamannya, memimpin majelis dalam menyanyikan "Amazing Grace."
Beberapa tahun berikutnya akan ditandai dengan kekerasan nasionalis kulit putih yang lebih mengerikan di Amerika, termasuk pembunuhan Heather Heyer selama rapat umum sayap kanan di Charlottesville, Virginia pada 2017 dan penembakan 2018 di Sinagog Tree of Life Pittsburgh yang merenggut sebelas nyawa.
Â
Reporter: Lianna Leticia
Advertisement