Liputan6.com, Riyadh - Amerika Serikat (AS) mengurangi kehadiran aset militer mereka di Arab Saudi. Aset yang dikurangi seperti jumlah pasukan, unit pertahanan udara, termasuk sistem anti-misil THAAD dari Arab Saudi.
Dilansir Arab News, Senin (21/6/2021), langkah ini diambil sebagaimana Presiden AS Joe Biden untuk meredakan ketegangan dengan Iran. Pemerintahan Biden mengambil langkah berbeda dari pendahulunya, Donald Trump, yang memberikan "tekanan maksimum" kepada Iran.
Advertisement
Baca Juga
Meski demikian, juru bicara koalisi AS-Saudi menegaskan Saudi tidak perlu khawatir. "Ini tidak akan berdampak kepada pertahanan-pertahanan udara Saudi," ujar jubir koalisi, Turki Al-Maliki.
Al-Maliki yang merupakan anggota Royal Saudi Air Force berkata negaranya memiliki pemahaman kuat dengan para sekutunya. Selain itu, Arab Saudi memiliki kapabilitas kuat untuk melindungi negaranya.
Seperti diketahui, pemerintahan Donald Trump pernah membunuh jenderal top Iran, Qasem Soleimani, yang dianggap berperan dalam terorisme di timur tengah pada Januari 2020. Iran berjanji untuk balas dendam, namun fokus dunia teralihkan oleh datangnya pandemi COVID-19, serta kalahnya Donald Trump pada pilpres AS.
Sistem Pertahanan Udara Arab Saudi Cegat 17 Drone Houthi
Negara-negara dan organisasi Arab mengecam serangan Houthi yang menargetkan Khamis Mushait dan Najran di Arab Saudi menggunakan drone bermuatan bahan peledak.
Pertahanan udara Arab Saudi menghancurkan 17 drone yang diluncurkan ke wilayah selatan Kerajaan tersebut pada Sabtu 19 Juni.Â
Sebuah pesawat tak berawak menargetkan Khamis Mushait pagi-pagi sekali sebelum tujuh drone selanjutnya menargetkan wilayah selatan tersebut, demikian dikutip dari laman Arab News.
Selanjutnya, Khamis Mushait kembali menjadi sasaran dua drone pada malam harinya.
Dewan Menteri Dalam Negeri Arab Saudi menyatakan kecaman keras dan penolakan mutlak terhadap serangan teroris.
"Sekretariat Jenderal Dewan mengutuk tindakan teroris pengecut di mana milisi ini mencoba untuk menargetkan warga dan objek sipil secara berkelanjutan dan sistematis, dan ini merupakan pelanggaran hukum internasional dan kejahatan perang dan pelakunya harus bertanggung jawab," katanya dalam sebuah pernyataan dari kantor pusatnya di Tunis.
Serangan-serangan itu adalah "bukti nyata dari kegigihan milisi ini dalam pelanggarannya yang terang-terangan dan penolakannya yang terus-menerus untuk mematuhi seruan perdamaian dan upaya yang dilakukan untuk mencoba mencapai solusi politik untuk krisis Yaman."
Â
Advertisement