Liputan6.com, Jakarta - Ashgabat, Ibu kota Turkmenistan di Asia Tengah dinobatkan sebagai kota termahal di dunia bagi pekerja asing. Kota berpenduduk sekitar satu juta orang itu menduduki puncak survei biaya hidup tahun 2021 oleh perusahaan konsultan Mercer.
Dilansir BBC, Rabu (23/6/2021), peringkat tersebut menempatkan Ashgabat di atas kota termahal di dunia 2020, lalu Hong Kong yang berada di posisi kedua, diikuti oleh Beirut di Lebanon dan Tokyo di Jepang.
Baca Juga
Laporan tahunan memeringkat 209 kota berdasarkan biaya pengeluaran seperti perumahan, transportasi dan makanan.
Advertisement
Mercer mengatakan telah mengevaluasi lebih dari 200 barang dan jasa untuk laporan tersebut, yang dirancang untuk membantu perusahaan dan pemerintah di seluruh dunia menentukan berapa banyak mereka harus membayar karyawan asing.
Ekspatriat adalah orang-orang yang tinggal atau bekerja di luar negara asalnya.Â
Sebagian besar kota di 10 besar yang dicatat Mercer adalah pusat bisnis di mana pertumbuhan ekonomi telah menyebabkan kenaikan harga perumahan dan biaya hidup lainnya.Â
Akibat Inflasi
Jean-Philippe Sarra dari Mercer mengatakan kepada kantor berita AFP bahwa "inflasi lokal yang tinggi" menjelaskan kenaikan Ashgabat ke peringkat pertama dari kedua dalam survei tahun lalu.Â
Inflasi adalah tingkat kenaikan harga barang dan jasa dari waktu ke waktu.
Dikenal karena pemerintahannya yang otokratis dan cadangan gasnya yang besar, Turkmenistan telah bergulat dengan krisis ekonomi dalam jangka panjang yang telah menjerumuskan banyak warga ke dalam kemiskinan.Â
Dulunya bagian dari Uni Soviet, negara ini sangat bergantung pada ekspor gas alam ke Rusia.Â
Mengingat hal ini, gejolak ekonomi Turkmenistan sebagian didorong oleh harga gas yang rendah. Penurunan harga energi global pada tahun 2014 mendorong kenaikan inflasi dan harga pangan.
Pada bulan September tahun lalu, sebuah laporan oleh Human Rights Watch (HRW) mengatakan pandemi Covid-19 telah "secara drastis memperburuk krisis pangan yang sudah ada di Turkmenistan".
"Kekurangan makanan bersubsidi, yang dipercepat sejak 2016, telah memburuk, dengan orang-orang mengantri berjam-jam untuk mencoba membeli produk makanan yang lebih terjangkau, seringkali ditolak dengan tangan kosong,"Â kata laporan itu.Â
Advertisement