Sukses

Review The Furnace: Melihat Sejarah Australia dari Mata Pemuda Afganistan

Film The Furnace di ajang FSAI 2021 mengajak penonton melihat sejarah Australia lewat mata pemuda Afganistan bernama Hanif.

Liputan6.com, Jakarta - Butuh enam tahun bagi sutradara milenial Roderick MacKay untuk membuat film perdananya The Furnace. Mayoritas dari waktu tersebut ia gunakan untuk melakukan penelitian dari faktor historis dan budaya agar memastikan karyanya tepat sasaran dalam mewakili sejarah Australia.

The Furnace adalah satu-satunya perwakilan film Australia di Venice Film Festival 2020. Genre dari film ini adalah fiksi sejarah yang melibatkan dramatis personae dari berbagai latar belakang: Afganistan, Sikh, Tiongkok, suku asli Australia, dan tentunya kolonial Inggris.

Para tokoh yang beraneka ragam itu tidak hanya berperan sebagai pelengkap cerita melainkan memegang kunci-kunci di dalam plot. Mereka juga tidak sepenuhnya rekaan, melainkan terinspirasi dari orang-orang yang datang ke Australia selama gold rush (perburuan emas) terjadi di akhir abad ke-19.

Penonton akan diajak memahami dinamika masyarakat Australia di era gold rush bersama Hanif (diperankan aktor muda Mesir, Ahmed Malek) yang memiliki teman dari berbagai latar belakang. Ia berperan mengantar seorang kolonial pencuri emas bernama Mal (David Wenham) ke sebuah tempat rahasia untuk melebur emas agar tak ketahuan barang curian dari tambang Kekaisaran Inggris.

Motivasi Hanif mungkin terdampak oleh dorongannya agar sukses dan pulang ke negerinya, sebab warga Afgan seperti dirinya dulu tak boleh punya tambang emas. Sebagai cameeler (pelaku transportasi dengan unta) posisi sosial mereka tidak setara dengan para pemukim kulit putih.

"Dulu sebetulnya ilegal bagi cameleers untuk memiliki hak penambang untuk menambang emas karena kamu bisa mengubah posisimu dalam masyarakat melalui emas. Para cameelers tak diizinkan tidur di kota pemukim kulit putih. Mereka harus pergi saat malam," jelas Roderick MacKay saat diskusi film eksklusif bersama Kedutaan Besar Australia sebelum tayang perdana The Furnace di Festival Sinema Australia Indonesia (FSAI) 2021.

Era gold rush terjadi di Australia dan Selandia Baru di akhir abad ke-19. Pada 2013, novelis muda Eleanor Catton dari Selandia Baru juga menulis kisah berlatar gold rush di novelnya berjudul The Luminaries.

Novel terpanjang yang meraih Man Booker Prize itu berkisah di West Coast ketika era gold rush. Pada novelnya, Eleanor juga menuliskan tokoh-tokoh dari Asia Timur yang ternyata sudah ada di Selandia Baru pada abad ke-19.

Eleanor berkata tertarik dengan era gold rush karena terkesima melihat trik-trik yang digunakan para penyelundup emas, salah satunya dengan cara menjahitkan emas di gaun perempuan, sebab perempuan kemungkinan besar tidak digeledah.

Meski demikian, The Luminaries tak berkisah tentang penggalian emas, melainkan konspirasi pembunuhan dan kisah cinta yang berada dalam struktur astrologi (luminaries berarti bulan dan matahari). Berkat novelnya, Eleanor Catton menjadi penulis termuda yang mendapat Man Booker Prize pada usia 28 tahun.

Trik para penyelundup emas juga sempat disinggung di The Furnace ketika tokoh Hanif melihat emas yang dimasukan ke dalam tubuh mayat seorang laki-laki. Namun, The Furnace juga tak berkisah tentang penggalian emas, melainkan nuansa relasi antara ras yang berbeda dan posisi mereka di tengah kolonialisme. 

Sepintas, tokoh polisi antagonis di film ini mirip dengan Inspektur Javert di Les Miserables yang tak mau berkompromi, tetapi The Furnace berhasil menampilkan dilema moral di pihak kepolisian, sehingga konflik yang terjadi tak sebatas hitam-putih.

 

2 dari 2 halaman

Menghadapi Sejarah

Pada awal film, tokoh Hanif tampak sedang membasuh tangan dan kakinya, kemudian seorang pemukim kulit putih marah-marah karena merasa air di gurun seharusnya tak dipakai untuk membasuh tangan dan kaki (berwudhu?). Roderick MacKay berkata sejarah seperti itu benar terjadi ketika ada penunggang unta Muslim yang ditembak karena melakukan hal serupa.

Hanif memang tokoh rekaan, tetapi fakta sejarah mencatat komunitas Afganistan memang sudah lama hadir di Australia sebagai cameleer. Sutradara Roderick MacKay mengakui bahwa detail sejarah saat gold rush belum banyak dikenal warga Australia, sehingga ia termotivasi untuk menampilkan kisah fiksi sejarah ini.

Komunitas cameleer dulu dipanggil "Ghan" oleh warga Australia, namun Roderick MacKay berkata istilah itu rasis sebab para penunggang unta itu bukan dari Afghanistan saja. Persahabatan antara Hanif dengan tokoh dari suku Badimaya menjadi representasi ikatan historis kelompok-kelompok yang saat itu termarjinalkan oleh komunitas Anglo-European yang berkuasa.

"Saya ingin membuat sejarah lebih aksesibel melalui kisah yang menarik," jelas Roderick MacKay.

Penelitian yang mumpuni membuat Roderick MacKay dapat membangkitkan kembali era gold rush di Australia Barat yang wholesome. Konflik yang disajikan tidak sekadar kejar-kejaran dengan aparat. Dan di tengah gersangnya gurun Australia, penonton dapat menikmati humor kering dari Mal si pencuri, serta sikap Hanif yang naif.

Hal yang tak kalah menarik lagi adalah bagaimana Roderick MacKay menghadirkan para pemuda dari berbagai pihak, baik dari sisi Afganistan (Hanif), suku Badimaya, Sikh, kepolisian, dan komunitas Tiongkok. Terlihat potensi bagaimana para pemuda selalu bisa berperan untuk membawa perbedaan (atau justru terseret) di tengah konflik dan kesalahpahaman yang dimunculkan oleh para boomer di tiap zaman.

Â