Liputan6.com, Jakarta - Brian Lee Hitchens tidak percaya COVID-19, seperti halnya banyak orang di Amerika Serikat dan di seluruh dunia. Ia mengira, itu rekayasa belaka. Penyakit yang dipicu virus SARS-CoV-2 dianggap flu biasa.
"Kami pikir, pemerintah menggunakannya (isu COVID-19) untuk mengalihkan perhatian kami," kata dia, kepada BBC, Mei 2020 lalu.
Pengemudi taksi itu juga termakan teori konspirasi yang mengaitkan pandemi yang terjadi dengan teknologi 5G. "Jadi, kami tak mengikuti aturan atau mencari bantuan lebih cepat."
Advertisement
Keyakinannya itu runtuh pada awal Mei 2020. Ia dan istrinya, Erin, positif COVID-19 dan harus dirawat di rumah sakit. Kondisi Brian jauh lebih mendingan daripada pasangannya. Setidaknya ia masih bisa bicara lewat telepon.Â
Sang istri dalam kondisi kritis, tak sadarkan diri, menggunakan ventilator. Paru-parunya meradang, sementara tubuh pasien tak merespons upaya yang dilakukan paramedis.
"Dan kini aku menyadari, virus corona bukan hal palsu," kata Brian, dengan napas tersenggal. "Itu nyata dan sedang menyebar."
Pada Agustus 2020, Brian harus menghadapi kenyataan pahit. Ia selamat, namun istrinya meninggal dunia.
Brian mengaku mendapatkan kabar-kabar palsu soal COVID-19 lewat Facebook. Belakangan, ia menggunakan sosial media tersebut untuk menyadarkan banyak orang.Â
Â
Termakan 'Nasihat' Donald Trump
Hydroxychloroquine adalah obat untuk mencegah dan mengobati penyakit malaria. Di tengah pandemi, produk itu naik daun, diklaim berpotensi melawan virus pemicu COVID-19, meski tanpa dasar hasil penelitian yang sahih.Â
Spekulasi soal hydroxychloroquine mulai berseliweran di media sosial China pada Januari 2020.
Pernyataan dari banyak tokoh, seperti Bos Tesla, Elon Musk dan Presiden Brasil Jair Bolsonaro kian bikin orang penasaran.
Hydroxychloroquine juga disebut-sebut di konferensi pers di Gedung Putih dan cuitan Donald Trump di Twitter. Saat itu, miliarder nyentrik itu masih berkuasa. Orang-orang pun kian yakin dibuatnya.
Â
Masalahnya mereka menggunakan obat itu sembarang. Akibatnya bisa fatal. Di Nigeria, banyak orang dilarikan ke rumah sakit akibat keracunan hydroxychloroquine. Pihak berwenang pun segera mengeluarkan peringatan ke masyarakat.
Sementara, pada awal Maret 2020, seorang pria 43 tahun di Vietnam mengonsumsi chloroquine dalam dosis besar. Sontak, wajah dan badannya memerah, gemetar, dan tak bisa melihat dengan jelas.
Direktur klinik yang merawat korban, Dr Nguyen Trung Nguyen, mengatakan bahwa pasien itu beruntung segera mendapatkan perawatan dengan cepat. Jika tidak, nyawanya mungkin melayang.
Â
Â
Gary Lenius dan istrinya, Wanda juga jadi korban hoaks. Keduanya menenggak sejumlah bahan kimia berbeda yang berfungsi sebagai disinfektan.
Efeknya bahaya. Dalam beberapa menit keduanya mengalami pusing hebat, badan panas. Lalu, mereka muntah-muntah dan sulit bernapas.
Gary, yang sehari-hari bekerja sebagai petugas bersih-bersih meninggal dunia. Hanya Wanda yang lolos dari maut.
Perempuan itu mengungkapkan alasan mengapa mereka menenggak cairan pembersih. "Trump terus mengatakan bahwa itu bisa menyembuhkan," kata dia seperti dikutip dari BBC.
Tak hanya mereka yang termakan 'nasihat' Donald Trump. Sejumlah orang dilarikan ke rumah sakit setelah mengonsumsi disinfektan.
Advertisement
Keracunan Alkohol di Iran
Iran menjadi salah satu negara paling terdampak COVID-19. Sejak awal teori konspirasi menyebar di sana.
Hamad Jalali Kashani, aktivis sosial media sekaligus pembuat film dokumenter mengklaim bahwa COVID-19 sengaja digunakan untuk menakut-nakuti warga agar tak memberikan suara di pemilu. Belakangan, ia positif COVID-19 dan meninggal dunia pada Februari 2020.
Pimpinan Garda Revolusi Iran, Hossein Salami menunjuk Amerika Serikat sebagai dalang. "Kami akan menang dalam perang melawan virus, yang mungkin merupakan produk dari invasi biologis Amerika, yang pertama kali menyebar ke China dan kemudian ke Iran dan seluruh dunia," kata dia, tanpa memberikan bukti apapun, seperti dikutip dari DW.
Hoaks soal pengobatan COVID-19 juga makan korban dalam jumlah besar. Kali itu, alkohol, minuman yang dilarang di Iran, yang disebut-sebut bisa melawan virus corona, demikian seperti dikutip dari Al Jazeera.Â
Antara 20 Februari hingga 7 April 2020, ada 728 orang meninggal dunia akibat keracunan alkohol. Jumlah itu 10 kali lipat dari tahun sebelumnya.
Juru bicara Kementerian Kesehatan Iran, Kianoush Jahanpour menyebut, 5.011 orang lainnya mengalami masalah kesehatan akibat hal yang sama, 90 di antaranya kehilangan penglihatan atau atau mengalami kerusakan pada mata.
Investigasi BBC menemukan, klaim bahwa alkohol bisa menyembuhkan COVID-19 beredar di aplikasi Telegram.
Dalam sebuah kasus terverifikasi, anak berusia 5 tahun tak lagi bisa melihat setelah diberi minuman alkohol oleh orangtuanya. Mereka termakan hoaks.
Hoaks Menyebar Secepat Virus
Hingga kini belum ada data teranyar soal berapa orang yang dilarikan ke rumah sakit atau bahkan meninggal akibat hoaks COVID-19.
Pada Agustus 2020, penelitian yang dimuat American Journal of Tropical Medicine and Hygiene memperkirakan setidaknya 5.800 orang dilarikan ke rumah sakit akibat termakan hoaks COVID-19. Kasus kematian akibat keracunan alkohol mendominasi.
Â
Â
Badan Kesehatan Dunia (WHO) sebelumnya mengatakan bahwa 'infodemik' seputar COVID-19 menyebar secepat virus itu sendiri. Teori konspirasi, desas-desus, dan stigma budaya, dan lain-lain berkontribusi pada kematian dan cedera.
Rumor di internet memicu penghakiman massa di India dan keracunan massal di Iran. Insinyur telekomunikasi diancam, diserang. Pun dengan tiang-tiang telepon yang dibakar gara-gara isu 5G.
Sosial media juga digunakan para penipu menjual produk yang diklaim sebagai obat COVID-19 atau ramuan yang konon bisa mencegahnya.
(Ein)
Advertisement