Liputan6.com, Tepi Barat - Pekerja Palestina di wilayah Tepi Barat yang diduduki Israel, memberikan sentuhan akhir pada pesawat Boeing 707 yang sudah dinonaktifkan.
Dua saudara kembar, Ata dan Khamis al-Sairafi (60) menyulap pesawat itu menjadi restoran.
Baca Juga
Keduanya pun berharap bisa segera menyambut pelanggan pertama mereka dalam beberapa pekan mendatang di restoran pesawat yang berlokasi di daerah pegunungan terpencil dekat Nablus, seperti dikutip dari AFP, Jumat (9/7/2021).
Advertisement
Di dalam kabin pesawat tua itu, kursi-kursi penumpang dan kaca jendela sudah dicopot.
Meja makan untuk calon pelanggan mereka pun akan segera ditempatkan di dalam pesawat - yang telah dicat putih dengan lantai kayu laminasi.
Ata dan Khamis, berencana untuk menamai restoran bertema penerbangan mereka - yang dihiasi dengan bendera Palestina dan Yordania - sebagai "The Palestinian-Jordanian Airline Restaurant and Coffee Shop Al-Sairafi Nablus".
"Kami akan mulai dengan menyediakan hookah," kata Khamis.
"Area kokpit akan menjadi tempat yang cocok untuk pengantin baru yang datang kesini untuk acara pernikahan mereka," bebernya.
Sairafi bersaudara, dikenal karena minat mereka pada inisiatif yang tidak biasa.
Ata mengatakan dia dan saudara kembarnya bekerja sebagai pedagang besi tua dua puluh tahun lalu ketika dia mengetahui ada pesawat penumpang era 1980-an yang parkir di dekat Kiryat Shmona di Israel utara.
Mereka membeli pesawat tersebut pada tahun 1999, ketika tidak ada bandara di Wilayah Palestina, yang biasanya membuat penduduk yang ingin terbang ke luar negeri melakukan perjalanan melalui Yordania.
Proses yang Tak Mudah
Kedua saudara itu bernegosiasi dengan pemilik asal Israel, ketika hendak membeli pesawat tersebut, yang kemudian mereka dapatkan seharga $ 100.000, dengan mesin yang sudah dilepas.
"Setelah kami membelinya, kami harus memindahkannya dari Israel ... yang merupakan proses yang rumit," kata Ata.
Ata dan Khamis membayar perusahaan Israelsebesar $ 20.000 untuk memindahkan pesawat itu ke Tepi Barat, yang telah diduduki Israel.
Keduanya mengatakan, pengangkutan pesawat tersebut memakan waktu hingga 13 jam - dikoordinasikan antara pihak Israel dan Palestina.
"Banyak media meliputnya, dan polisi Israel turun tangan untuk mengatur pemindahan itu," kenang Khamis.
"Kami menerima pesawat, yang berasal dari tahun 1980-an, tanpa peralatan apa pun yang memungkinkannya untuk terbang," terang Ata.
Ata dan Khamis mengatakan mereka sudah memiliki niat untuk menjalankan sebuah restoran di luar pesawat itu sejak sekitar tahun 2000, tetapi prosesnya sempat tersendat karena pecahnya intifada Palestina kedua, atau pemberontakan.
"Peristiwa di wilayah Palestina pada waktu itu menghambat penyelesaian proyek kami, dan kami berpikir untuk melanjutkannya kembali dua tahun lalu, tetapi penyebaran Virus Corona juga menghalangi kami untuk melakukannya," ungkap Khamis.
Saat mereka kembali melanjutkan proyek yang telah lama tertunda, Ata dan Khamis membeli sebuah gang tua yang sudah tua dari Bandara Ben Gurion - namanya masih terlihat dalam bahasa Ibrani dan Inggris.
Adapun tantangan lingkungan yang dihadapi dalam proses pembuatan restoran ini.
Diketahui, pesawat itu berada di area yang berbatasan dengan stasiun pemilahan sampah - di mana Ata dan Khamis berusaha meyakinkan pihak berwenang setempat untuk pindah ke tempat lain.
Pada akhirnya, proses penyelesaian restoran itu akhirnya kian maju, setelah dihentikan selama hampir 25 tahun.
"Memiliki pesawat terbang di wilayah Palestina, adalah ide yang aneh sehingga saya yakin proyek itu akan sukses," imbuh Khamis.
Advertisement