Liputan6.com, Jakarta - Banjir mematikan yang melanda China dan Jerman telah memperingatkan kita bahwa perubahan iklim membuat cuaca menjadi lebih ekstrem di seluruh dunia.
Sedikitnya 25 orang di Provinsi Henan, China tengah, tewas pada Selasa (20/7) termasuk belasan orang yang terjebak di kereta bawah tanah kota saat genangan air memenuhi ibu kota wilayah Zhengzhou, yang dpicu oleh hujan deras selama berhari-hari.
Di Jerman, banjir besar menewaskan setidaknya 160 orang dan 31 orang lainnya di Belgia pekan lalu. Bencana tersebut telah memperkuat pesan bahwa perubahan signifikan harus dilakukan untuk mempersiapkan peristiwa serupa kedepannya.
Advertisement
"Pemerintah pertama-tama harus menyadari bahwa infrastruktur yang telah mereka bangun di masa lalu atau bahkan yang baru-baru ini rentan terhadap peristiwa cuaca ekstrem," kata Eduardo Araral, profesor dan wakil direktur Institute of Water Policy di Lee Kuan Yew School of Public Policy di Singapura, seperti dikutip dari US News, Jumat (23/7/2021).
Di Eropa, perubahan iklim kemungkinan akan meningkatkan jumlah badai besar yang dapat bertahan lebih lama di satu area dan menimbulkan banjir seperti yang terlihat di Jerman dan Belgia, menurut sebuah penelitian yang diterbitkan pada 30 Juni dalam jurnal Geophysical Research Letters.
Saat atmosfer menghangat dengan perubahan iklim, ia juga menahan lebih banyak kelembaban, yang berarti bahwa ketika awan hujan muncul, lebih banyak hujan akan datang.
Pada akhir abad ini, badai seperti itu bisa 14 kali lebih sering terjadi, menurut para peneliti dalam sebuah penelitian yang menggunakan simulasi komputer.
Banjir yang merusak sebagian besar bangunan di Jerman barat dan selatan, dan banjir mematikan di China, kedua kasus tersebut menyoroti kerentanan daerah berpenduduk padat terhadap bencana banjir dan bencana alam lainnya.
Langkah-langkah yang Diperlukan
"Diperlukan langkah-langkah teknis, seperti memperkuat tanggul dan penghalang banjir. Tetapi kita juga perlu merombak kota-kota," imbuh Fred Hattermann, dari Potsdam Institute for Climate Impact Research.
Dikatakannya juga bahwa ada peningkatan fokus pada apa yang disebut tindakan "adaptasi hijau", seperti polder dan dataran yang berisiko, untuk menghentikan genangan air yang mengalir terlalu cepat.
"Tetapi ketika hujan benar-benar deras, semua itu mungkin tidak membantu, jadi kita harus belajar menghadapinya," jelasnya.
Di sisi lain, penguatan tanggul dan perumahan yang tahan iklim, termasuk jalan dan infrastruktur perkotaan akan memerlukan biaya yang tak sedikit.
Namun dengan banyaknya korban jiwa akibat banjir yang mematikan, biaya tersebut seharusnya tak menjadi tekanan.
"Ini mengejutkan dan saya harus mengatakan itu menakutkan," ungkap John Butschkowski, seorang pengemudi kendaraan Palang Merah yang terlibat dalam proses penyelamatan korban banjir di Jerman barat. "Ini seperti hantu, tidak ada orang di mana pun, hanya sampah. Dan tidak dapat dibayangkan bahwa ini terjadi di Jerman," tambahnya.
Perlunya Peninjau Menyeluruh Terhadap Sungai-Sistem Air di Daerah yang Rentan
Koh Tieh-Yong, seorang ilmuwan cuaca dan iklim di Singapore University of Social Sciences, mengatakan penilaian menyeluruh terhadap sungai dan sistem air akan diperlukan di daerah yang rentan terhadap perubahan iklim, termasuk kota dan lahan pertanian.
"Banjir biasanya terjadi karena dua faktor yang digabungkan: satu, curah hujan yang lebih tinggi dari biasanya dan dua, kapasitas sungai yang tidak mencukupi untuk mengalirkan air hujan tambahan yang terkumpul," bebernya,
Baik di China dan Eropa barat laut, bencana tersebut mengikuti periode hujan lebat yang tidak biasa, setara dalam kasus China dengan curah hujan selama satu tahun yang terjadi hanya dalam tiga hari, yang benar-benar mempengaruhi pertahanan banjir.
Setelah beberapa banjir parah dalam beberapa dekade terakhir, penyangga telah diperkuat di sepanjang sungai-sungai besar di Jerman seperti Rhine atau Elbe tetapi curah hujan ekstrem pekan lalu juga mengubah anak-anak sungai kecil seperti Ahr atau Swist menjadi aliran deras yang berbahaya.
Di China, para ilmuan menyebut, daerah perkotaan yang dibangun dengan evakuasi air yang tidak memadai dan bendungan besar yang mengubah debit alami dari lembah Sungai Kuning mungkin juga berkontribusi terhadap bencana tersebut.
Tetapi langkah-langkah seperti meningkatkan ketahanan bangunan dan meninggikan tepian sungai, juga memperbaiki drainase mungkin tidak cukup untuk mencegah dampak banjir yang parah. Sebagai upaya terakhir, sistem peringatan, yang dikritik di Jerman karena membuat orang tidak punya cukup waktu untuk bereaksi, harus diperbaiki.
"Ini benar-benar perlu ditanamkan dalam pengetahuan praktis yang dimiliki orang sehingga mereka tahu apa yang harus dilakukan," kata Christian Kuhlicke, kepala kelompok kerja risiko lingkungan dan bencana ekstrem di Helmholtz Centre for Environmental Research.
"Jika Anda tidak dapat menahan air kembali, jika Anda tidak dapat menyelamatkan bangunan Anda, maka setidaknya pastikan bahwa semua orang yang rentan dipindahkan dari tempat-tempat ini," jelasnya.
Advertisement