Liputan6.com, Jakarta - Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) akan mulai menguji tiga obat COVID-19 yang sejauh ini digunakan untuk penyakit lain dalam waktu dekat. Salah satunya obat Kanker, Imatinib.
Badan PBB tersebut akan mencari tahu apakah ketiga obat itu dapat membantu pasien yang terinfeksi Virus Corona COVID-19.
Baca Juga
Dikutip dari VOA Indonesia, Kamis (12/8/2021), WHO mengatakan bahwa tiga obat yang saat ini sedang diteliti secara global akan dilanjutkan ke fase berikutnya. Fase itu akan mengidentifikasi kemungkinan ketiga obat itu untuk mengobati COVID-19.
Advertisement
Penelitian tersebut diumumkan oleh Direktur Jenderal WHO, Tedros Adhanom Ghebreyesus dalam pertemuan WHO di Jenewa. "Hari ini, kami dengan senang hati mengumumkan fase lanjutan uji coba solidaritas yang disebut Solidarity Plus. Dalam uji coba ini, tiga obat akan dites," kata Ghebreyesus.
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Obat Malaria Hingga Obat Gangguan Sistem Kekebalan
Ghebreyesus menjelaskan bahwa obat-obat yang sedang dites itu, dipilih oleh panel independen berdasarkan kemungkinan mereka mampu mencegah kematian pada orang yang dirawat di rumah sakit karena gejala serius COVID-19.
Ketiga obat itu adalah artesunate yang selama ini dikenal sebagai obat malaria, imatinib yang biasa digunakan untuk mengobati kanker, dan infliximab, yang digunakan pada pasien dengan gangguan sistem kekebalan.
"Kami memiliki banyak alat untuk mencegah, menguji, mengetes dan mengobati COVID-19, termasuk oksigen, deksametason, dan penghambat IL6, tetapi kami membutuhkan lebih banyak pasien dalam tahapan spektrum klinis, dari penyakit ringan hingga berat, dan kami membutuhkan pekerja kesehatan yang dilatih untuk menggunakannya dalam lingkungan yang aman," terang Ghebreyesus.
Di antara temuannya, WHO menetapkan bahwa obat remdesivir dan hydroxychloroquine tidak membantu pasien COVID-19 yang dirawat di rumah sakit. Ribuan peneliti dari ratusan rumah sakit di 52 negara pun ikut terlibat dalam penelitian WHO tersebut.
Advertisement