Sukses

HEADLINE: Taliban Kembali Kuasai Afghanistan, Salah Siapa?

Mengejutkan dunia. Hanya dalam sepekan, Taliban kembali menguasai Afghanistan.

Liputan6.com, Jakarta - Mengejutkan dunia. Hanya dalam sepekan, Taliban kembali menguasai Afghanistan. Ibu Kota Kabul tumbang tanpa perlawanan.

Presiden Afghanistan Ashraf Ghani pun mengambil langkah seribu. Ia mengakui kemenangan Taliban, setelah kabur entah ke mana.

"Taliban telah menang dengan penghakiman pedang dan senjata mereka, dan sekarang bertanggung jawab atas kehormatan, properti, dan pertahanan diri warga negara mereka," kata Ghani.

"Mereka sekarang menghadapi ujian sejarah baru. Entah mereka akan mempertahankan nama dan kehormatan Afghanistan atau mereka akan memprioritaskan tempat dan jaringan lain," imbuhnya.

Ghani mengaku telah meninggalkan Afghanistan pada Minggu 15 Agustus untuk "mencegah pertumpahan darah," ketika Taliban memasuki wilayah Ibu Kota Kabul. Ia percaya "patriot yang tak terhitung jumlahnya akan menjadi martir dan kota Kabul akan hancur" jika dia tetap berada di sana.

Ghani tidak mengungkap lokasi keberadaannya saat ini, tetapi sebuah media terkemuka Afghanistan, Tolo News, menyebut dia pergi ke Tajikistan.

Taliban memasuki wilayah Ibu Kota Kabul pada Minggu 15 Agustus waktu setempat. Stasiun televisi Al Jazeera kemudian menunjukkan cuplikan terkait keberadaan Taliban di Istana Kepresidenan, dengan puluhan milisi bersenjata.

Taliban juga mengatakan mereka telah menguasai sebagian besar distrik di sekitar pinggiran ibu kota, seperti dikutip dari laman Nikkei Asia, Senin (16/8/2021). Laporan stasiun televisi lokal Afghanistan, 1TV menyebutkan beberapa ledakan terdengar di Kabul, yang sebagian besar sepi pada hari sebelumnya.

Laporan itu juga menyebut ada tembakan terdengar di dekat bandara, di mana diplomat asing, pejabat, dan warga Afghanistan lainnya tengah berusaha meninggalkan negara itu. Kelompok bantuan Darurat mengatakan 80 orang yang terluka telah dibawa ke rumah sakit di Kabul, yang telah memenuhi kapasitas, dan membatasi masuknya orang-orang dengan luka yang tidak serius.

Langkah Taliban ini membuat Gedung Putih bungkam. Padahal, Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden sebelumnya meyakini pasukan Afghanistan bisa bertahan dari gempuran Taliban setelah lama dilatih tentara AS. Tapi Joe Biden ternyata salah.

 

Pakar Timur Tengah dari Universitas Indonesia, Yon Mahmud, menilai langkah Joe Biden terlalu cepat dalam menarik mundur pasukan AS. Sebab, masih ada masalah antara pemerintah sah Afghanistan dan Taliban yang belum selesai. 

"Saya kira faktor yang terpenting adalah keputusan Amerika untuk meninggalkan Afghanistan di saat kondisi Afghanistan belum mengalami stabilitas dan rekonsiliasi antara pemerintah yang berkuasa dengan Taliban itu belum mencapai kesepakatan," kata Yon kepada Liputan6.com, Senin (16/5/2021).

Menurutnya, kesalahan yang membuat situasi Afghanistan seperti ini adalah alasan Amerika secepat itu meninggalkan Afghanistan. Ia menduga alasan Amerika menarik pasukannya karena misinya perang melawan terorisme telah selesai, sebab Afghanistan dianggap telah bebas dari kelompok Al-Qaeda maupun ISIS.

"Tapi yang terjadi, Taliban hampir secara total menguasai Afghanistan."

Selain itu, ia menilai AS dan koalisinya seperti NATO dan Uni Eropa, mungkin tidak berniat lagi kembali ke Afghanistan karena situasi yang sudah semakin parah. 

Model Pemerintahan

Ini bukan pertama kalinya Taliban berkuasa di Afghanistan. Taliban sempat berkuasa pada 1996 dan 2001. Seperti apa model pemerintahan Afghanistan di tangan Taliban? Yon Machmudi menilai akan muncul Negara Islam Afghanistan. 

"Kalau melihat dari sejarahnya Taliban, kemudian ketika berkuasa, mereka mendirikan Republik Islam Afghanistan, nampaknya ide untuk mendirikan negara Islam Afghanistan akan tetap dilakukan," jelasnya. 

"Hanya saja, mereka mengatakan ada perbedaan, semacam reformasi terjadi dalam kubu Taliban. Mereka mengatakan akan lebih inklusif, memperhatikan hak asasi manusia, kemudian juga perlakukan terhadap wanita." 

Namun, Yon Machmudi menilai janji Taliban masih butuh pembuktian. Masalah lainnya adalah rakyat Afghanistan kini tak punya pilihan. Dulu hidup mereka sengsara ketika masih ada bantuan Amerika Serikat, kini pun di bawah Taliban mereka tak punya kejelasan.

Tak Ada Perang Saudara

Wakil Presiden ke-10 dan ke-12 RI Jusuf Kalla meyakini tidak akan terjadi perang saudara di Afghanistan setelah kelompok gerilyawan Taliban mengepung ibu kota Kabul dan menyebabkan Presiden Ashraf Ghani meninggalkan negara tersebut.

"Baik Taliban maupun Pemerintah Afghanistan sama-sama meyakini bahwa mereka bersaudara dan tidak akan memerangi negara yang sudah ditinggalkan oleh tentara Amerika Serikat tersebut," kata JK dalam keterangannya di Jakarta, Senin (16/8/2021).

JK yang mengenal baik Ashraf Ghani dan pimpinan Taliban Mullah Abdul Ghani Baradar mengatakan, keduanya selalu berupaya untuk menyelesaikan konflik di Afghanistan secara damai. "Mereka akan berupaya menyelesaikan secara damai konflik di Afghanistan yang sudah berjalan hampir 30 tahun."

Pada Desember 2020, JK berkunjung ke Afghanistan dan bertemu dengan Ashraf Ghani di Kabul. Selanjutnya pada Januari 2021, JK juga melakukan pertemuan dengan Mullah Baradar di Qatar.

Dalam pertemuan dengan kelompok Taliban tersebut, Mullah menyampaikan kepada JK untuk tidak akan mengusik kantor-kantor kedutaan besar negara asing di Afghanistan, termasuk Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Afghanistan.

Dengan kondisi saat ini di mana kelompok Taliban menguasai Kabul, JK berharap Afghanistan menjadi terbuka dengan negara-negara asing, khususnya di bidang ekonomi. "Saya harap Afghanistan terbuka dengan kerja sama dengan negara-negara lain yang tidak punya kepentingan politik, tetapi kerja sama perekonomian," tuturnya.

 

2 dari 4 halaman

Rakyat Sengsara

Saat ini ada berbagai masalah di Afghanistan seperti korupsi, bahaya serangan, hingga pembangunan yang macet. Hal itu ditenggarai menjadi salah satu penyebab Amerika akhirnya angkat kaki.

"Afghanistan itu termasuk negara kalau dari sisi indeks kebahagiaan dunia itu paling bawah," jelas Yon Machmudi. Masalah-masalah yang mereka hadapi seperti kemiskinan, kelaparan, kemudian juga orang-orang mengungsi karena ketidakstabilan kondisi sewaktu-waktu belum lagi ancaman bom.

Jadi secara umum, sambungnya, pembangunan tidak berjalan sama sekali di Afghanistan ditambah juga korupsi yang cukup besar di kalangan pemerintah dan militer. Ini mungkin juga yang menjadikan Amerika menyerah, karena militer yang sudah dibiayai berbagai bantuan tidak memberi perubahan apa-apa, dan justru Amerika mengalami kerugian yang besar.

"Maka mungkin tak bisa terus menerus dilakukan. Dan ini terbukti begitu ditinggal, dalam waktu yang cepat, mereka usdah meneyrah kepada pasukan Taliban."

Dampak ke Jazirah Arab, Iran, dan China

Yon Machmudi turut membahas bagaimana pemerintahan Taliban membawa pengaruh regional. Ia pun menjelaskan siapa saja yang ada di belakang Taliban. 

"Taliban ini kan mendapatkan dukungan dari Qatar, kemudian Iran juga mendukung masuknya kembali Taliban," ujar Machmudi.

Tak hanya itu, China juga disebut akan mengambil untung.

"China saya kira juga memberikan dukungan, karena China punya konsesi terhadap pengembangan industri lithium yang sangat besar di sana, dan bersamalah di sana, dan bermasalah ketika pemerintahan penguasa Ashraf Ghani," jelas Machmudi.

"Dengan masuknya Taliban maka China akan memberikan support itu."

Meski demikian, kedudukan Taliban di mata dunia internasional belum jelas apakah PBB akan memberikan pengakuan. 

"Afghanistan yang awalnya sangat dekat dengan Amerika akan bergeser sebenarnya, lebih dekat ke Iran mungkin, agak dekat dengan Qatar, bahkan China maupun Rusia. Mungkin ini keseimbangan di kawasan akan mengalami perubahan," ucap Machmudi.

Peran Indonesia

Terkait Indonesia, Yon Machmudi menyorot bahwa Indonesia memiliki kontak dengan Taliban sehingga masih bisa memberikan pengaruh kepada Taliban. 

Sebelumnya, mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla memang pernah mengundang Taliban ke Indonesia. Ia berkata melakukan itu untuk menunjukkan Islam moderat. 

"Saya kira Indonesia harus tetap memerankan fungsi awalnya untuk menjaga perdamaian di kawasan Afghanistan," jelas Yon Machmudi.

"Tentu dengan kontak yang dimiliki, bisa mencoba dan meyakinkan agar proses transisi kekuasaan berjalan damai, dan demokrasi bisa ditegakkan untuk menjamin hak-hak masyarakat termasuk kelompok minoritas yang ada di sana."

Selain itu, Yon Machmudi berkata model demokrasi di Indonesia dinilai dapat menjadi contoh demokrasi bagi situasi di Afghanistan. "Dan Indonesia mungkin bisa jadi salah satu model yang bisa mereka jadikan untuk bisa diterapkan atau diikuti," ucapnya. 

Sementara itu, secara resmi pemerintah Indonesia melalui Kementerian Luar Negeri telah mengeluarkan keterangan terkait perkembangan situasi di Afghanistan. Dikutip dari laman Kemlu.go.id, Senin (16/8/2021), Indonesia memantau secara dekat perkembangan yang sangat cepat yang terjadi di Afghanistan.

"Indonesia berharap penyelesaian politik tetap dapat dilakukan, melalui Afghan-owned, Afghan-led. Perdamaian dan stabilitas tentunya sangat diharapkan oleh masyarakat Afghanistan dan dunia internasional."

Indonesia juga terus melakukan komunikasi dengan semua pihak di Afghanistan dan juga dengan Perwakilan PBB dan Perwakilan Asing di Afghanistan. "Keselamatan WNI, termasuk staf KBRI Kabul, merupakan prioritas pemerintah Indonesia."

Disampaikan juga bahwa persiapan evakuasi terus dimatangkan, antara lain melalui komunikasi dengan berbagai pihak terkait di lapangan. Sementara itu, "Misi KBRI Kabul akan tetap dijalankan dengan tim esensial terbatas, sambil terus dilakukan pemantauan situasi keamanan di Afghanistan."

3 dari 4 halaman

Kronologi Taliban Kembali Kuasai Afghanistan

Taliban kini telah memasuki dan menguasai istana kepresidenan Afghanistan, dan wilayah Ibu Kota Kabul.

Kronologi bagaimana kelompok militan tersebut menguasai Afghanistan dalam waktu yang cepat telah menjadi sorotan publik luas.

Dikutip dari CNN, Senin (16/8/2021),  kurang dari sebulan setelah teroris yang terkait dengan al Qaeda melakukan serangan 9/11 pada 2001, pasukan Amerika Serikat dan sekutu memulai invasi ke Afghanistan yang disebut sebagai Operation Enduring Freedom, dalam upaya menghentikan Taliban menyediakan tempat yang aman bagi al Qaeda dan untuk menghentikan serangan.

Pada 7 Desember 2001, Taliban kehilangan benteng besar terakhirnya saat kota Kandahar jatuh. Sejak itu, kelompok tersebut telah berusaha untuk mendapatkan wilayah di Afghanistan selama pasukan AS berada di sana dan melalui berbagai pemerintaha.

Kemudian pada Januari 2017, Taliban mengirim surat terbuka kepada Donald Trump, yang pada saat itu baru terpilih menjadi presiden AS -  memintanya untuk menarik pasukan AS dari Afghanistan.

Antara 2017 hingga 2019, sempat ada upaya pembicaraan damai antara AS dan Taliban yang tidak pernah berujung menjadi kesepakatan.

Selama perjalanannya ke Afghanistan pada November 2019 - untuk kunjungan dalam rangka sambutan Thanksgiving dengan pasukan AS, Trump mengumumkan bahwa pembicaraan damai dengan Taliban dimulai kembali.

Pembicaraan damai pun dilanjutkan di Doha, Qatar, pada bulan Desember tahun itu.

AS dan Taliban menandatangani perjanjian bersejarah pada Februari 2020, yang menggerakkan potensi penarikan penuh pasukan AS dari Afghanistan.

"Perjanjian untuk Membawa Perdamaian ke Afghanistan" menguraikan serangkaian komitmen dari AS dan Taliban terkait dengan tingkat pasukan, kontra terorisme, dan dialog intra-Afghanistan yang bertujuan untuk mewujudkan "gencatan senjata secara permanen dan komprehensif."

Kesepakatan Pembebasan Tahanan

Beberapa bulan setelah penandatanganan kesepakatan damai pemerintahan Trump dengan Taliban, kelompok militan itu meningkatkan serangannya terhadap sekutu Afghanistan dan AS ke tingkat yang lebih tinggi dari biasanya, menurut data yang diberikan kepada Pentagon's Special Inspector General for Afghanistan Reconstruction.

Pada Agustus 2020, majelis besar tetua Afghanistan, konsultatif Loya Jirga, mengeluarkan resolusi yang menyerukan pembebasan sekitar 5.000 tahanan Taliban, membuka jalan bagi pembicaraan damai langsung dengan kelompok itu untuk mengakhiri perang yang terjadi hampir dua dekade lamanya. 

Pembebasan 400 tahanan adalah bagian dari perjanjian yang ditandatangani oleh AS dan Taliban pada Februari 2021.

Pada Maret 2021, Presiden Ashraf Ghani dan pemerintahan Presiden AS Joe Biden mengusulkan kepada pemerintah Afghanistan agar mereka menandatangani perjanjian pembagian kekuasaan sementara dengan Taliban.

Pada April 2021, Presiden Biden mengumumkan bahwa AS akan menarik pasukan dari Afghanistan pada September 2021.

Kemudian pada Agustus 2021, hanya beberapa bulan setelah AS mulai menarik pasukan, pemerintahan Biden mengirim 5.000 tentara ke Afghanistan setelah Taliban mulai menguasai negara itu.

Pada 15 Agustus 2021, setelah Taliban menguasai setiap kota besar di Afghanistan, selain Kabul, hanya dalam dua pekan - mereka terlibat dalam pembicaraan dengan pemerintah di ibu kota mengenai pihak mana yang akan memerintah negara itu.

Taliban sekarang semakin dekat untuk mengambil kendali penuh atas Afghanistan dan telah merebut istana kepresidenan di Kabul setelah Presiden Ghani meninggalkan negara itu. Pembicaraan sebelumnya untuk membentuk pemerintahan transisi tampaknya telah digagalkan oleh kepergian Ghani ke luar negeri.

4 dari 4 halaman

Sejarah dan Kiprah Taliban

Taliban adalah kelompok militan yang pernah berkuasa di Afghanistan dan digulingkan pasukan pimpinan AS pada 2001. Tetapi kelompok itu telah melakukan serangan dalam beberapa bulan terakhir dan sekarang di ambang perebutan kekuasaan lagi.

Saat AS bersiap untuk menyelesaikan penarikannya pada 11 September, setelah dua dekade perang, para milisi Taliban merebut kota-kota besar dan kini telah mencapai Ibu Kota Kabul.

Seperti dilansir BBC, Senin (16/8/2021), Taliban memasuki pembicaraan langsung dengan AS pada 2018, dan pada Februari 2020 kedua belah pihak mencapai kesepakatan damai di Doha yang mengikat AS untuk mundur dan Taliban untuk mencegah serangan terhadap pasukan AS. 

Janji-janji lainnya termasuk tidak mengizinkan al-Qaeda atau gerilyawan lain beroperasi di daerah-daerah yang dikuasainya dan melanjutkan pembicaraan damai nasional. Tetapi pada tahun berikutnya, Taliban terus menargetkan pasukan keamanan dan warga sipil Afghanistan, dan maju pesat di seluruh negeri.

Muncul Sejak 1990-an

Taliban, atau "mahasiswa" dalam bahasa Pashto, muncul pada awal 1990-an di Pakistan utara setelah penarikan pasukan Soviet dari Afghanistan. Diyakini gerakan yang didominasi Pashtun pertama kali muncul di seminari-seminari keagamaan - sebagian besar dibayar dengan uang dari Arab Saudi - yang mengajarkan bentuk garis keras Islam Sunni.

Janji yang dibuat Taliban - di daerah Pashtun yang meliputi Pakistan dan Afghanistan - adalah untuk memulihkan perdamaian dan keamanan dan menegakkan versi mereka sendiri dari Syariah, atau hukum Islam, setelah berkuasa.  

Dari Afghanistan barat daya, Taliban dengan cepat memperluas pengaruh mereka. 

Pada September 1995 mereka merebut provinsi Herat, berbatasan dengan Iran, dan tepat satu tahun kemudian mereka merebut Ibu Kota Afghanistan, Kabul, menggulingkan rezim Presiden Burhanuddin Rabbani - salah satu bapak pendiri mujahidin Afghanistan yang menentang pendudukan Soviet. 

Pada  1998, Taliban menguasai hampir 90% wilayah Afghanistan. Orang-orang Afghanistan, yang lelah dengan ekses mujahidin dan pertikaian setelah Soviet diusir, umumnya menyambut Taliban ketika mereka pertama kali muncul. 

Popularitas awal mereka sebagian besar disebabkan keberhasilan mereka dalam memberantas korupsi, membatasi pelanggaran hukum dan membuat jalan-jalan dan daerah-daerah di bawah kendali mereka aman untuk perdagangan berkembang.

Aturan Hukum Taliban

Tetapi Taliban juga memperkenalkan atau mendukung hukuman sesuai dengan interpretasi ketat mereka terhadap hukum Syariah - seperti eksekusi publik terhadap pembunuh dan pezina yang dihukum, dan amputasi bagi mereka yang terbukti bersalah melakukan pencurian. 

Laki-laki diharuskan menumbuhkan janggut dan perempuan harus mengenakan burka yang menutupi seluruh tubuh. Taliban juga melarang penggunaan televisi, musik dan bioskop, dan tidak menyetujui anak perempuan berusia 10 tahun ke atas pergi ke sekolah. 

Mereka dituduh melakukan berbagai pelanggaran hak asasi manusia dan budaya. Salah satu contoh terkenal adalah pada tahun 2001, ketika Taliban melanjutkan penghancuran patung Buddha Bamiyan yang terkenal di Afghanistan tengah, meskipun ada kemarahan internasional.

Pakistan telah berulang kali menyangkal bahwa itu adalah arsitek dari perusahaan Taliban, tetapi ada sedikit keraguan bahwa banyak orang Afghanistan yang awalnya bergabung dengan gerakan itu dididik di madrasah (sekolah agama) di Pakistan.

Pakistan juga salah satu dari hanya tiga negara, bersama dengan Arab Saudi dan Uni Emirat Arab (UEA), yang mengakui Taliban ketika mereka berkuasa di Afghanistan. Itu juga negara terakhir yang memutuskan hubungan diplomatik dengan kelompok itu. 

Pada satu titik, Taliban mengancam akan mengacaukan Pakistan dari daerah-daerah yang mereka kuasai di barat laut. Salah satu yang paling terkenal dan dikutuk secara internasional dari semua serangan Taliban Pakistan terjadi pada Oktober 2012, ketika siswi Malala Yousafzai ditembak dalam perjalanan pulang di kota Mingora. 

Serangan militer besar-besaran dua tahun kemudian setelah pembantaian sekolah Peshawar sangat mengurangi pengaruh kelompok itu di Pakistan. Setidaknya tiga tokoh kunci Taliban Pakistan telah tewas dalam serangan pesawat tak berawak AS pada 2013, termasuk pemimpin kelompok itu, Hakimullah Mehsud.

Setelah 9/11

Perhatian dunia tertuju pada Taliban di Afghanistan setelah serangan World Trade Center 11 September 2001 di New York. Taliban dituduh menyediakan perlindungan bagi tersangka utama - Osama Bin Laden dan gerakan al-Qaeda-nya.

Pada 7 Oktober 2001, koalisi militer pimpinan AS melancarkan serangan di Afghanistan, dan pada minggu pertama bulan Desember rezim Taliban telah runtuh. 

Pemimpin kelompok itu, Mullah Mohammad Omar, dan tokoh senior lainnya, termasuk Bin Laden, menghindari penangkapan meskipun salah satu perburuan terbesar di dunia.

Banyak pemimpin senior Taliban dilaporkan berlindung di kota Quetta, Pakistan, dari mana mereka membimbing Taliban. Namun keberadaan apa yang dijuluki "Quetta Syura" dibantah oleh Islamabad.

Terlepas dari jumlah pasukan asing yang semakin tinggi, Taliban secara bertahap mendapatkan kembali dan kemudian memperluas pengaruh mereka di Afghanistan, membuat wilayah yang luas di negara itu tidak aman, dan kekerasan di negara itu kembali ke tingkat yang tidak terlihat sejak 2001. 

Ada banyak serangan Taliban di Kabul dan, pada September 2012, kelompok itu melakukan serangan tingkat tinggi di markas Bastion Camp NATO.

Harapan perdamaian yang dinegosiasikan muncul pada tahun 2013, ketika Taliban mengumumkan rencana untuk membuka kantor di Qatar. Namun ketidakpercayaan di semua pihak tetap tinggi dan kekerasan terus berlanjut.

Pada Agustus 2015, Taliban mengakui bahwa mereka telah menutupi kematian Mullah Omar - yang dilaporkan karena masalah kesehatan di sebuah rumah sakit di Pakistan - selama lebih dari dua tahun. 

Bulan berikutnya, kelompok itu mengatakan telah mengesampingkan pertikaian selama berminggu-minggu dan berkumpul di sekitar pemimpin baru dalam bentuk Mullah Mansour, yang pernah menjadi wakil Mullah Omar.

Pada waktu yang hampir bersamaan, Taliban menguasai ibu kota provinsi untuk pertama kalinya sejak kekalahan mereka pada tahun 2001, mengambil alih kota Kunduz yang strategis dan penting.

Mullah Mansour tewas dalam serangan pesawat tak berawak AS pada Mei 2016 dan digantikan oleh wakilnya Mawlawi Hibatullah Akhundzada, yang tetap mengendalikan kelompok tersebut.

Penarikan Pasukan AS

Pada tahun setelah kesepakatan damai AS-Taliban pada Februari 2020 - yang merupakan puncak dari pembicaraan langsung yang panjang - Taliban tampaknya mengubah taktiknya dari serangan kompleks di kota-kota dan pos-pos militer ke gelombang pembunuhan yang ditargetkan yang meneror. warga sipil Afghanistan.

Target - jurnalis, hakim, aktivis perdamaian, perempuan dalam posisi kekuasaan - tampaknya menunjukkan bahwa Taliban tidak mengubah ideologi ekstremis mereka, hanya strategi mereka.

Meskipun ada kekhawatiran serius dari para pejabat Afghanistan atas kerentanan pemerintah terhadap Taliban tanpa dukungan internasional, presiden AS yang baru, Joe Biden, mengumumkan pada April 2021 bahwa semua pasukan Amerika akan meninggalkan negara itu pada 11 September - dua dekade sejak jatuhnya Pusat Perdagangan Dunia.

Setelah mengalahkan negara adidaya melalui perang selama dua dekade, Taliban mulai merebut sebagian besar wilayah, mengancam untuk sekali lagi menggulingkan pemerintah di Kabul setelah penarikan kekuatan asing.

Kelompok itu sekarang dianggap lebih kuat dalam jumlah daripada kapan pun sejak mereka digulingkan pada tahun 2001 - dengan hingga 85.000 pejuang penuh waktu, menurut perkiraan NATO baru-baru ini.

Kemajuannya lebih cepat daripada yang dikhawatirkan banyak orang. Jenderal Austin Miller, komandan misi pimpinan AS di Afghanistan, memperingatkan pada Juni bahwa negara itu bisa berada di jalur menuju perang saudara yang kacau, yang ia sebut sebagai "keprihatinan bagi dunia".

Namun, dalam banyak kasus Taliban mampu mengambil alih kota-kota besar tanpa perlawanan, karena pasukan pemerintah menyerah untuk menghindari korban sipil.

Sebuah penilaian intelijen AS pada bulan yang sama dilaporkan menyimpulkan bahwa pemerintah Afghanistan bisa jatuh dalam waktu enam bulan setelah keberangkatan militer Amerika.