Sukses

Khawatir Ciptakan Kesenjangan, WHO Kecam Vaksin Booster untuk Negara Kaya

Ilmuwan AS dan Israel mengatakan bahwa vaksin, meskipun efisien, akan kehilangan kekuatannya setelah berbulan-bulan, sehingga membuat individu rentan terhadap varian Delta.

, New York - Organisasi Kesehatan Dunia, WHO, mengecam negara-negara kaya karena menawarkan suntikan vaksin booster kepada warganya. Padahal hingga saat ini sejumlah negara miskin belum mendapatkan akses vaksin.

"Kita malah berencana untuk membagikan 'jaket pelampung' tambahan kepada orang-orang yang sudah memiliki perlindungan, sementara di saat yang sama kita juga membiarkan orang lain tenggelam," kata Direktur Darurat Kesehatan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Michael Ryan mengatakan kepada wartawan pada konferensi pers di Jenewa, Swiss, Rabu (18/08).

Ryan melontarkan sindiran tersebut sesaat sebelum Amerika Serikat (AS) mengumumkan akan menawarkan vaksin booster COVID-19 kepada semua warganya mulai 20 September mendatang.

"Rencana kami adalah untuk melindungi rakyat Amerika," demikian diumumkan Rochelle Walensky, Direktur Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) AS, dikutip dari laman DW Indonesia, Selasa (24/8/2021).

Ilmuwan AS dan Israel mengatakan bahwa vaksin, meskipun efisien, akan kehilangan kekuatannya setelah berbulan-bulan, sehingga membuat individu rentan terhadap varian Delta. Karena alasan itu, Israel telah mulai memberikan booster kepada semua warga negara berusia 50 tahun ke atas.

 

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

2 dari 3 halaman

WHO: Sains tidak mendukung teori booster

WHO belum sepenuhnya yakin bahwa suntikan booster dibutuhkan, dengan mengatakan bahwa sains belum memberikan bukti yang jelas tentang peningkatan kemanjuran.

Ilmuwan WHO Soumya Swaminathan mengatakan pada Rabu (18/08) di Jenewa: "Kami yakin data tidak menunjukkan bahwa booster diperlukan" untuk semua orang. Dia juga memperingatkan bahwa dunia bisa menghadapi "situasi yang bahkan lebih mengerikan" jika membiarkan miliaran orang di negara berkembang tidak divaksinasi.

Menggarisbawahi hal itu, Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus mengatakan: "Yang jelas adalah sangat penting untuk mendapatkan suntikan vaksin dosis pertama dan melindungi mereka yang paling rentan sebelum booster diluncurkan."

"Kesenjangan antara si kaya dan si miskin hanya akan tumbuh lebih besar jika produsen dan pemimpin negara kaya memprioritaskan suntikan booster, daripada memasok vaksin ke negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah," kata Tedros memperingatkan.

 

3 dari 3 halaman

Tuduhan 'vaksin apartheid' dilontarkan ke pabrikan J&J

Tedros juga mencerca produsen vaksin AS Johnson & Johnson (J&J) atas laporan bahwa perusahaan tersebut telah mengirimkan jutaan dosis yang dibuat di Afrika Selatan ke negara-negara Uni Eropa untuk digunakan sebagai booster. "Kami mendesak J&J untuk segera memprioritaskan distribusi vaksin mereka ke Afrika sebelum mempertimbangkan pasokan ke negara-negara kaya yang sudah memiliki akses yang memadai," katanya.

"Ketidakadilan vaksin adalah hal yang memalukan bagi seluruh umat manusia dan jika kita tidak mengatasinya bersama-sama, kita akan mengalami tahap akut pandemi yang lebih panjang selama bertahun-tahun, padahal seharusnya bisa berakhir dalam hitungan bulan," tegasnya.

Pada Selasa (17/08), Kepala WHO itu menyinggung para perusahaan vaksin melalui Twitter dengan mengatakan bahwa "rekor keuntungan" yang mereka posting ketika negara-negara kaya bersaing dalam hal vaksin booster sementara orang miskin tidak terlindungi, adalah tindakan yang "tidak masuk akal."

Kritik terhadap perusahaan AS juga telah disuarakan oleh kelompok-kelompok hak asasi manusia. "J&J terlibat dalam apartheid vaksin, mengalihkan dosis dari mereka yang benar-benar membutuhkannya ke negara-negara terkaya di dunia," kata Fatima Hassan dari Health Justice Initiative (HJI), sebuah LSM Afrika Selatan, kepada kantor berita AFP.

Sementara yang lain, ikut menyuarakan kritik serupa tentang siapa yang membuat keputusan hidup dan mati atas distribusi vaksin: "Alokasi vaksin global saat ini tidak dibuat oleh pejabat kesehatan masyarakat, tetapi oleh segelintir pejabat perusahaan, yang secara konsisten memprioritaskan orang Eropa dan Amerika Utara daripada orang Afrika," kata Matthew Kavanagh dari Health Law Institute di Georgetown University di AS.

Menurut Direktur Jenderal WHO Tedros, 10 negara telah memberikan 75% dari semua dosis vaksin yang dikeluarkan, sedangkan negara-negara berpenghasilan rendah sejauh ini hanya memvaksin hampir 2% dari penduduknya.