Sukses

Junta Militer Myanmar Batalkan Tuntutan Hukum Biksu Kontroversial Ashin Wirathu

Biksu ini didakwa junta militer melakukan penghasutan terhadap pemerintah sipil, yang sejak itu telah digulingkan dalam kudeta militer Februari 2021.

Liputan6.com, Yangon - Junta militer Myanmar telah membebaskan biksu Buddha kontroversial Ashin Wirathu, yang dikenal karena retorika nasionalis dan anti-Muslimnya.

Dia sebelumnya didakwa melakukan penghasutan terhadap pemerintah sipil, yang sejak itu telah digulingkan dalam kudeta militer Februari 2021.

Biksu ini terkenal karena pandangannya yang pro-militer, demikian dikutip dari laman BBC, Selasa (7/9/2021).

Dia telah dijuluki "Buddha Bin Laden" atas pidatonya yang menargetkan Muslim, khususnya Rohingya.

Dalam beberapa tahun terakhir dia muncul di demonstrasi pro-militer yang menyampaikan pidato nasionalis, dan mengkritik pemimpin Myanmar saat itu Aung San Suu Kyi dan pemerintah Liga Nasional untuk Demokrasi.

Pada 2019 ia didakwa menghasut "kebencian dan penghinaan" terhadap pemerintah sipil.

Wirathu kemudian melarikan diri, sebelum menyerah kepada pihak berwenang pada November tahun lalu. Dia telah menunggu persidangan sejak saat itu.

Pada Senin (6/9) pemerintah militer mengatakan bahwa semua tuduhan terhadapnya telah dibatalkan, tetapi tidak memberikan alasan apapun.

Ia menambahkan bahwa dia sedang mencari perawatan di rumah sakit militer Myanmar. Kondisi kesehatan Wirathu belum diketahui.

 

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

2 dari 2 halaman

Dituduh Picu Kekerasan

Wirathu telah dituduh memicu kekerasan terhadap Muslim dan Rohingya di Myanmar, dan merupakan salah satu wajah paling menonjol dari gerakan 969.

969 merupakan sebuah gerakan nasionalis Buddha yang menyerukan umat Buddha untuk berbelanja, menjual properti, dan menikah dalam agama mereka sendiri.

Pada puncak popularitasnya, ia memiliki puluhan ribu pengikut online yang menonton khotbahnya di media sosial atau menghadiri rapat umum.

Dia masuk dalam pusaran pandangan publik lataran pidatonya pada tahun 2012, ketika kekerasan mematikan pecah di negara bagian Rakhine antara Muslim, terutama Rohingya, dan Buddha.

Tahun berikutnya, majalah Time menempatkannya di sampul depan mereka dengan tajuk utama: The Face of Buddhist Terror?

Pada 2017 ia dilarang berkhotbah selama satu tahun oleh otoritas Buddha tertinggi Myanmar, dan pada 2018, Facebook menghapus halamannya karena ujaran kebencian.