Sukses

8 Ribu Warga Myanmar Kabur ke India Usai Bentrok dengan Militer

Militer Myanmar merebut kekuasaan dalam kudeta pada Februari 2021 yang memicu protes besar dan pembentukan kelompok penentang.

Liputan6.com, Thantlang - Sekitar 8.000 penduduk di Thantlang Myanmar melarikan diri usai pertempuran terjadi antara tentara dan pasukan milisi yang menentang kudeta militer.

Sejumlah rumah di Thantlang, negara bagian Chin, Myanmar dibakar oleh militer selama pertempuran di akhir pekan.

Diperkirakan ribuan penduduk telah melarikan diri ke India melintasi perbatasan terdekat, demikian dikutip dari laman BBC, Kamis (23/9/2021).

Militer Myanmar merebut kekuasaan dalam kudeta pada Februari 2021 yang memicu protes besar dan pembentukan kelompok penentang.

Sekitar 20 rumah dibakar di Thantlang, menurut kantor berita Reuters.

Seorang pendeta dilaporkan telah ditembak mati oleh tentara ketika dia mencoba memadamkan sebuah rumah yang terbakar.

Salai Lian, juru bicara Komite Urusan Penempatan Thantlang, sebuah organisasi yang membantu orang-orang terlantar, mengklaim bahwa pasukan militer yang mulai "menembak rumah-rumah" di kota itu, menyebabkan orang-orang melarikan diri.

Seorang penduduk mengatakan kepada Myanmar Now: "Hampir 100 persen penduduk telah melarikan diri. Hanya pegawai pemerintah yang tidak berpartisipasi dalam gerakan pembangkangan sipil."

 

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

2 dari 2 halaman

Laporan PBB

Pelapor khusus PBB Thomas Andrews mengatakan situasi di Thantlang menunjukkan adanya wujud dari "neraka hidup". Di mana banyak orang bertahan di tangan militer Burma.

Pada Agustus 2021, Jenderal Min Aung Hliang mengangkat dirinya sebagai perdana menteri dan mengatakan keadaan darurat negara itu akan diperpanjang.

Demonstrasi menyebar ke seluruh negeri setelah kudeta Februari 2021. Pasukan keamanan menanggapi dengan tindakan keras brutal, menewaskan lebih dari 1.000 orang dan menahan lebih dari 6.000, menurut Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik.