Liputan6.com, Jakarta - Kawasan Asia berada di lini terdepan krisis iklim dengan kerugian terbesar yang disebabkan perubahan iklim mencapai US$ 4,7 triliun dalam PDB menurut analisis terbaru McKinsey. Sementara di Indonesia, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN) atau Bappenas memperkirakan kerugian ekonomi akibat dampak perubahan iklim bisa mencapai Rp 115 triliun pada 2024.
Selain berdasarkan sains, sektor keuangan juga telah mendeteksi peningkatan risiko terhadap banjir besar, topan, dan kemarau. Di tingkat global, investasi Environmental, Social and Corporate Governance (ESG) telah mengalami gelombang pertumbuhan di balik pandemi dan memiliki fokus baru pada keberlanjutan. Selain itu, aset ESG akan mencakup lebih dari sepertiga aset yang dikelola pada 2025 berdasarkan data Bloomberg.
Baca Juga
Di Asia Tenggara, model bisnis yang mengutamakan keberlanjutan, penilaian risiko iklim, dan investasi ESG masih terbilang baru, namun dampak dari perubahan iklim sudah terasa. Apakah bisnis di kawasan Asia siap menghadapi tantangan ini? Bagaimana langkah awal kita untuk mengurangi dampaknya? Apa sudah terlambat? Prof. John Sterman, Director, MIT Sloan Sustainability Initiative dan pembicara utama pada konferensi Leadership for Enterprise Sustainability Asia (LESA) 2021, berkeyakinan bahwa Asia masih memiliki harapan.
Advertisement
Sterman akan menjadi pembawa acara LESA, yang diselenggarakan Asia School of Business yang berlokasi di Kuala Lumpur, Malaysia. Acara ini akan menekankan pada urgensi Asia Tenggara dan bisnis dunia berkembang dalam mengambil langkah-langkah penting untuk mengurangi dampak perubahan iklim dan memetakan cara baru ke depannya.
Perwakilan dari organisasi Asia terkemuka termasuk Rukaiyah Rafik, Pengelola Sekolah Petani FORTASBI (Forum Petani Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia), Khoon Tee Tan, Senior Partner di McKinsey & Company Indonesia, Febriany Eddy, CEO & Presiden Direktur Vale Indonesia (INCO), dan lainnya, akan menjadi pembicara di LESA 2021.
Saat para pemimpin bisnis di kawasan ini bersiap menghadapi "next normal" bersamaan dengan Malaysia, Indonesia, Thailand, dan Singapura yang baru saja mengumumkan janji mereka untuk mencapai carbon neutral dalam beberapa dekade mendatang, LESA 2021 mengundang para pemimpin bisnis, pembuat kebijakan, pengusaha, dan individu untuk bergabung dalam diskusi, yang membicarakan tantangan maupun solusi yang didukung ilmu pengetahuan dan layak secara ekonomi, serta teknologi untuk beradaptasi dan menghadapi ekonomi perubahan iklim dalam basis Asia.
"Alih-alih membiarkan hal-hal tersebut dengan dalih 'wait and see', di mana individu mengandalkan bisnis, perusahaan kecil bergantung pada konglomerat besar untuk memimpin, dan pemerintah menunjuk pemerintah lain untuk menerapkan kebijakan, LESA 2021 memiliki tujuan untuk menyebarkan pesan bahwa setiap individu dan entity memiliki peran dan tanggung jawab masing-masing dalam menggerakkan kita ke arah yang benar sebelum konsekuensinya tidak dapat diubah lagi," ujar Prof. Charles H. Fine, (Ph.D. Stanford) CEO, President, dan Dekan di Asia School of Business.
Â
Memitigasi Perubahan Iklim
Setelah beberapa dekade mempelajari reaksi dan upaya masyarakat untuk memitigasi perubahan iklim, Sterman menegaskan bahwa masyarakat memang peduli dengan lingkungan. "Masalah utamanya adalah orang-orang kewalahan dengan kerumitan dan penundaan yang lama, terutama ketika kita sudah terbiasa dengan hasil yang instan."
Ketika orang-orang dihadapkan dengan konsekuensi yang tampak seperti bencana, besar banyak dan berlipat-lipat, serta tidak ada jalan keluarnya, Sterman mengatakan "kebanyakan orang cenderung meyakinkan diri mereka sendiri bahwa 'masalahnya tidak seburuk itu', 'pasar akan menyelesaikannya', atau 'pemerintah akan menanganinya'."
Untuk menantang gagasan ini dan mengajak orang untuk mengambil tindakan individu dan kolektif, Sterman mengembangkan simulasi En-ROADS and C-ROADS, yang menggunakan analogi bak mandi atau bathtub dan membuat simulasinya tersedia untuk masyarakat luas. Analogi bathtub adalah jumlah CO2 di udara sama dengan jumlah air di bathtub; jika kita terus mengisinya lebih cepat daripada habis, maka berdasarkan hukum fisika dasar, air tersebut akan naik sampai meluap. Sama seperti mempersiapkan pilot untuk kemungkinan kecelakaan, simulasi membantu mengajar dan melatih pilot sehingga mereka dapat membuat penyesuaian yang diperlukan untuk mencegah kecelakaan.
"Kesimpulan dari setiap simulasi selalu sama, yakni bahwa kita semua mempunyai peran, tidak ada peran yang tidak penting. Peserta selalu tampil dengan kekuatan," ujar Sterman yang telah menjalankan beberapa simulasi untuk tingkat pemerintahan, perusahaan, dan LSM di lebih dari 80 negara di seluruh dunia, serta para pelajar terutama di Asia School of Business.
Ide sederhana namun bermakna ini, bahwa efek kumulatif dari langkah-langkah kecil dapat memindahkan gunung, adalah pesan utama yang akan disampaikan Asia School of Business melalui konferensi LESA 2021.
"Asia memiliki peluang besar untuk memetakan langkah baru selanjutnya dalam mengelola risiko sosial, ekonomi dan iklim. Namun untuk memberdayakan kawasan baru, dibutuhkan ide-ide segar, pendekatan, keberanian, kelincahan (agility) dan pola pikir yang strategis," tambah Prof. Fine.
LESA yang saat ini memasuki tahun ke-9 akan diadakan secara virtual pada 15-18 November 2021. Konferensi mencangkup lebih dari 16 jam konten yang akan tersebar selama 4 hari. Para pemimpin bisnis terkemuka, pakar industri, akademisi dan praktisi keberlanjutan dari penjuru dunia akan tampil dan fokus pada wawasan serta pembelajaran tentang cara memulai keberlanjutan di Asia.
Konferensi ini juga akan menjadi puncak dari Iclif Leadership Awards (ILEA) yang disponsori oleh Maybank dan memberikan penghargaan kepada para individu yang berhasil menggunakan "Leadership Energy in Action" untuk menciptakan dampak positif dan berkelanjutan kepada organisasi atau komunitasnya. Konferensi ini juga didukung oleh Associate Sponsor Sarawak Energy.
Advertisement