Liputan6.com, Washington, DC - Militer Amerika Serikat (AS) masih menjadi yang paling unggul di dunia. Anggaran pemerintah AS ke Kementerian Pertahanan juga yang tertinggi di dunia. Kekuatan AS ditopang oleh angkatan udara mereka.
Namun, China kini ikut memperkuat angkatan udara. Muncul spekulasi apakah kekuatan AU China sudah mengimbangi AS, atau mungkin siap lebih kuat?
Baca Juga
Dilaporkan VOA Indonesia, Sabtu (16/10/2021), Tentara Pembebasan Rakyat China (PLA) telah melakukan modernisasi terhadap angkatan udaranya. Pimpinan mereka dan para analis memperkirakan bahwa Washington mungkin tidak dapat lagi berbangga diri akan kekuatan yang dimiliki oleh angkatan udaranya.
Advertisement
Berbicara dalam Konferensi Asosiasi Angkatan Udara pada bulan lalu, Jenderal Charles Brown Jr., yang merupakan Kepala Staf Angkatan Udara AS, mengatakan bahwa PLA memiliki “armada udara terbesar di kawasan Pasifik” dan mereka telah membangun kekuatannya “tanpa sepengetahuan kita.” Brown memprediksi bahwa kekuatan angkatan udara China dapat melampaui AS pada 2035.
Dalam acara yang sama, Letnan Jenderal S. Clinton Hinote, Wakil Kepala Staf AU, memperingatkan bahwa Amerika tidak mengimbangi peningkatan kemampuan yang dilakukan oleh China. “Pada beberapa area yang penting, kita sudah ketinggalan - saat ini. Hal ini bukanlah masalah yang terjadi esok hari. Ini adalah masalah hari ini.”
Hinote mengatakan pada awak media bahwa sebagai orang yang sadar akan bukti bukti dari perkembangan yang terjadi, ia percaya bahwa China telah berada dalam posisi yang setara dalam hal kekuatan angkatan udaranya, dan ia juga memperingati bahwa “kondisi sekarang lebih cenderung pada merah (merujuk ke China).”
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Bertemu di Atas Awan
Pada minggu lalu, China mengirim hampir 150 pesawat tempurnya, termasuk jet tempur jenis terbaru J-16 dan pesawat pengangkut bom H-6, ke zona pertahanan udara Taiwan (ADIZ) dalam sebuah unjuk kebolehan kekuatan militernya.
“Mereka menerbangkan rombongan pesawat tempur J-16 dalam jumlah yang banyak. Itu menunjukkan kapasitas (AU) terbaru mereka,” kata Eric Heginbotham, peneliti hubungan internasional di Institut Teknologi Massachusetts (MIT).
“Mereka memperlihatkan armada yang lengkap. Mereka juga mengirim pesawat anti-serangan kapal selam. Jadi, mereka menunjukkan banyak hal dalam kesempatan tersebut.”
Menurut artikel yang terbit pada situs resmi Angkatan Udara AS, Sekretaris Angkatan Udara Frank Kendall menyebutkan China sebanyak 27 kali dalam pidatonya yang disampaikan dalam konferensi Angkatan Udara pada bulan lalu.
Sebagai perbandingan, ia hanya menyebut Rusia sebanyak satu kali dan Afghanistan sebanyak dua kali. Pada bulan Agustus lalu, Kendall, yang merupakan pemimpin sipil utama dalam angkatan udara AS, juga telah berjanji untuk mengembangkan lebih banyak teknologi terdepan untuk “menakuti China.”
Didorong oleh peningkatan kekuatan yang ditunjukan oleh angkatan Udara China, Wang Wei, pejabat senior dari AU China, merespon pernyataan “menakuti China” yang dilontarkan oleh Kendall dengan mengajak angkatan udara AS untuk bertemu di udara.
“Seorang rekan asing mengklaim bahwa mereka ingin membuat takut angkatan udara China. Jika memang mereka berani, mari bertemu di atas awan!”
Advertisement
Langit Taiwan
Penerbangan jet tempur China di dekat wilayah Taiwan pada pekan lalu telah menunjukkan peningkatan kapabilitas yang dimiliki oleh angkatan udara negara tersebut. Cristina Garafola, peneliti kebijakan di RAND Corporation, mengatakan dalam email yang ia tulis kepada VOA, ketika digabungkan dengan kekuatan angkatan darat China, “peningkatan kapabilitas dari AU China itu akan memperkeruh kerumitan dari operasi udara yang terjadi di wilayah Indo-Pasifik.”
Timothy Health, peneliti senior isu pertahanan di lembaga yang sama, mengatakan walaupun Angkatan Udara China masih tertinggal dalam hal kemampuan perang dana teknologi dari angkatan udara AS, jumlah tentara China yang cukup besar dapat menjadi ancaman bagi AS dalam upayanya mengintervensi konflik mengenai Taiwan.
Kepada VOA dia mengatakan karena jarak antara Taiwan dan China yang dekat, tentara China dapat menggunakan berbagai senjata pelengkap seperti rudal darat-ke-udara dan rudal balistik anti-kapal untuk menyerang pesawat-pesawat dan landasan udara Amerika Serikat. “Kapasitas perlawanan terhadap intervensi ini dapat membantu angkatan udara China sekecil apapun dalam pertempuran yang terjadi di dekat Taiwan.”
Para analis juga mengatakan bahwa jarak akan menjadi faktor penentu dalam setiap pertempuran udara yang terjadi di kawasan Pasifik. Taiwan hanya berjarak sekitar 161 kilometer dari tepi pantai China. Jarak tersebut jauh lebih dekat jika dibandingkan dengan pangkalan udara AS di Okinawa, Jepang, dan juga Guam yang masing-masing berada sekitar lebih dari 7000 kilometer dan 2.700 kilometer dari Taiwan.
“AS mungkin dapat mengontrol wilayah udara di Taiwan dalam jangka pendek, tetapi tampaknya akan terlalu jauh untuk mempertahankan kontrol tersebut lebih dari satu atau dua jama,” kata Peter Layton, akademisi dari Griffith Asia Institute di Brisbane, Australia, kepada VOA.
Dalam wawancara dengan Air Force Times pada bulan lalu, Kendall berujar bahwa mengatakan militer AS adalah kekuatan yang dominan hanyalah sebuah asumsi. “Kekuatan militer kami memang cukup dominan namun ketika (kami) berada sekitar 1.000 mil (1.610 kilometer) dari China, hal itu dapat berubah,” ia mengatakan.
Superioritas
Dalam beberapa tahun belakangan, beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa kekuatan Angkatan Udara AS mungkin akan segera terlampaui oleh China.
Pada 2015, sebuah penelitian yang dilakukan oleh lembaga think thank RAND Corporation yang berbasis California, di mana Heginbotham menjadi penulis utama dalam penelitian tersebut, menemukan bahwa sementara AS mempertahankan kapabilitas kekuatan angkatan udaranya yang tak tertandingi, “pengembangan yang terus menerus dilakukan oleh Angkatan Udara China membuat AS kesulitan untuk mempertahankan kejayaannya secara politis maupun secara operasional dalam kurun kurun waktu yang efektif, terutama pada skenario yang dekat dengan wilayah daratan China.”
Penelitian tentang subyek yang sama dari Departemen Pertahanan pada 2016 mencatat bahwa kemunculan dari kapasitas antar-udara maupun antara darat dan udara yang terintegrasi dan terhubung yang dimiliki oleh China “dapat mengancam kekuatan angkatan udara AS dalam mempertahankan kekuatannya pada waktu dan tempat yang dibutuhkan pada masa operasi di tahun 2030 dan setelahnya.”
“Penelitian tentang kekuatan angkatan udara AS pada 2016 menunjukkan bukti kuat bahwa AS akan kehilangan kejayaannya dalam pertempuran jarak jauh,” Layton mengatakan kepada VOA. “Angkatan Udara AS memiliki program modernisasi peralatan untuk menangani masalah ini, seperti jet pengebom B-21 dan jet tempur Air Dominance generasi terbaru, namun pembaharuan ini tampaknya tidak akan berpengaruh besar hingga 2030.”
Layton mengatakan dalam sebuah blog bahwa cara berpikir Angkatan Udara AS dalam mempertunjukkan kekuatannya telah berubah sejak Perang Dingin berakhir.
Ketika Washington telah melihat dirinya sebagai satu-satunya kekuatan terbesar di dunia, istilah yang sering muncul adalah “kejayaan di udara.” Saat ini, ketika ancaman dapat dikelola dalam waktu dan tempat tertentu, tujuan dari angkatan udara AS berubah menjadi “superioritas di udara."
Advertisement