Sukses

Bank Dunia Tangguhkan Bantuan ke Sudan Pasca-Kudeta Militer

Bank Dunia tangguhkan bantuan untuk Sudan setelah pemeritahan direbut militer, membut kejatuhan ekonomi di Sudan yang baru mulai pulih.

Liputan6.com, Khartum - Bank Dunia telah menangguhkan bantuannya ke Sudan setelah pihak militer melakukan kudeta terhadap pemerintahan sipil.

Para pemimpin politik ditahan pada hari Senin, dan memicu protes nasional dan kecaman internasional.

Dilansir dari laman BBC, Kamis (28/10/2021), Uni Afrika juga telah menangguhkan Sudan dari blok tersebut karena perebutan kekuasaan yang "tidak konstitusional".

Sementara itu, AS telah membekukan bantuan senilai $700 juta atau sekitar 9,9, triliun rupiah.

Para pemimpin sipil dan militer Sudan telah terikat dengan perjanjian pembagian kekuasaan yang rapuh selama dua tahun terakhir.

Pemotongan bantuan yang tiba-tiba memungkinkan konsekuensi yang mengerikan bagi ekonomi Sudan yang sudah babak belur, ketika baru mulai bangkit kembali.

Langkah Bank Dunia dan Uni Afrika memberikan tekanan lebih lanjut pada pemimpin kudeta, Jenderal Abdel Fattah Burhan, untuk mengembalikan pemerintahan sipil.

Jenderal Burhan bertanggung jawab atas perjanjian pembagian kekuasaan, dan mengatakan kudeta diperlukan untuk menghindari "perang saudara".

Ia bersikeras bahwa Sudan masih bergerak menuju demokrasi dan pemilihan umum tahun 2023 – tetapi alasannya dan pengambilalihan yang mendadak telah ditolak secara luas.

Presiden Bank Dunia, David Malpass, mengatakan dalam sebuah pernyataan: "Saya sangat prihatin dengan peristiwa baru-baru ini di Sudan, dan saya khawatir dampak dramatis ini dapat terjadi pada pemulihan dan pembangunan sosial dan ekonomi negara itu."

Pada bulan Maret, Sudan dapat mengakses miliaran dolar hibah dari Bank Dunia untuk pertama kalinya dalam hampir 30 tahun, setelah melunasi tunggakannya.

Pada saat itu, Malpass mengatakan bahwa negara itu membuat beberapa kemajuan ekonomi, setelah bertahun-tahun berada dalam krisis yang parah.

Bank Dunia telah menyumbangkan sekitar $3 miliar atau setara dengan 42 triliun rupiah bantuan ke Sudan untuk mendukung pertanian, transportasi, perawatan kesehatan dan pendidikan, menurut Perdana Menteri Abdalla Hamdok.

Dalam pidato bulan lalu kepada Bank Dunia, ia mengatakan bahwa perubahan pendanaan “mulai membuahkan hasil” karena ekonomi menunjukkan tanda-tanda stabil.

Saat ini, ekonomi Sudan kembali beresiko.

 

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

2 dari 2 halaman

Perjanjian Antara Pemimpin Sipil dan Militer yang Rapuh

Uni Afrika mencuit bahwa meskipun menyambut pembebasan perdana menteri, yang ditahan pada hari Senin, Sudan akan tetap ditangguhkan dari kegiatannya sampai pemerintah sipil dipulihkan.

Menteri Luar Negeri AS, Antony Blinken, mengatakan bahwa ia telah berbicara dengan Menteri Luar Negeri sekutu sipil Sudan, Mariam Sadiq al-Mahdi dan menjanjikan dukungannya untuk mengembalikan "transisi yang dipimpin pemerintahan sipil menuju demokrasi".

Pada Rabu malam, media pemerintah melaporkan bahwa enam duta besar Sudan telah dicopot dari jabatan mereka oleh militer.

Duta besar yang dicabut masa jabatannya termasuk perwakilan negara untuk AS, Uni Eropa dan Cina, yang semuanya mengutuki pengambilalihan oleh militer.

Protes di jalanan berlanjut selama tiga hari, dengan setidaknya 10 orang tewas setelah militer melepas tembakan ke kerumunan.

Militer dilaporkan berjalan dari rumah ke rumah di Khartoum untuk menangkap penyelenggara protes lokal.

Serikat pekerja yang mewakili dokter dan pekerja minyak mengatakan mereka bergabung dengan demonstrasi, seperti yang dilakukan staf di Asosiasi Perbankan Sudan.

"Kami berdiri teguh menentang setiap tindakan militer dan segala bentuk kediktatoran," kata juru bicara asosiasi tersebut, Abdul Rashid Khalifa, kepada BBC.

Perjanjian antara pemimpin sipil dan militer ditandatangani pada 2019 setelah penguasa lama, Omar al-Bashir digulingkan.

Pembagian kekuasaan dirancang untuk mengarahkan Sudan menuju demokrasi tetapi telah terbukti rapuh dengan sejumlah upaya kudeta sebelumnya, yang terakhir lebih dari sebulan yang lalu.

 

Reporter: Ielyfia Prasetio