Sukses

Saif al-Islam, Putra Diktator Moammar Khadafi Mencalonkan Diri Jadi Presiden Libya

Saif al-Islam, putra mendiang diktator Libya, Moammar Khadafi muncul untuk pertama kalinya dalam satu dekade pada Minggu 14 November 2021 untuk mendaftar sebagai calon presiden di negaranya.

Liputan6.com, Tripoli - Putra mantan penguasa Libya Moammar Khadafi, Saif al-Islam, mencalonkan diri sebagai presiden Libya.

Putra mendiang diktator Libya itu muncul untuk pertama kalinya dalam satu dekade pada Minggu 14 November 2021 untuk mendaftar sebagai calon presiden pada pemilihan yang bakal digelar Desember mendatang. Ia berencana membantu mengakhiri tahun-tahun kekacauan sejak ayahnya, Moammar Khadafi digulingkan.

Saif al-Islam, 49, muncul dalam video komisi pemilihan dengan jubah tradisional berwarna cokelat dan sorban, berjanggut abu-abu dan berkacamata. Ia terlihat menandatangani dokumen di pusat pemilihan di kota selatan Sebha.

Saif al-Islam adalah salah satu tokoh paling menonjol -- dan kontroversial -- yang diperkirakan akan mencalonkan diri sebagai presiden. Dalam daftar calon presiden Libya mencakup komandan militer timur Khalifa Haftar, Perdana Menteri Abdulhamid al-Dbeibah dan ketua parlemen Aguila Saleh.

Namun, meskipun namanya adalah salah satu yang paling terkenal di Libya, dan meskipun dia pernah memainkan peran utama dalam membentuk kebijakan sebelum pemberontakan yang didukung NATO 2011 dan menghancurkan rezim keluarganya, dia hampir tidak terlihat selama satu dekade.

Masuknya Saif al-Islam secara resmi ke dalam pemilihan yang aturannya masih diperebutkan oleh faksi-faksi Libya yang berselisih, juga dapat menimbulkan pertanyaan baru tentang kontes yang menampilkan kandidat yang dipandang di beberapa wilayah sebagai tidak dapat diterima. Terlepas dari dukungan publik dari sebagian besar faksi Libya dan kekuatan asing untuk pemilihan pada 24 Desember, pemungutan suara tetap diragukan karena entitas saingan masih meributkan tentang aturan dan jadwal.

Sebuah konferensi besar di Paris pada hari Jumat sepakat untuk memberikan sanksi kepada siapa pun yang mengganggu atau mencegah pemungutan suara, tetapi dengan waktu kurang dari enam minggu, masih belum ada kesepakatan tentang aturan untuk mengatur siapa yang harus dapat mencalonkan diri.

Sementara Saif al-Islam kemungkinan akan nostalgia pada era sebelum pemberontakan yang didukung NATO 2011 yang menyapu ayahnya dari tampuk kekuasaan dan mengantarkan satu dekade kekacauan dan kekerasan, para analis mengatakan dia mungkin tidak terbukti menjadi yang terdepan.

 

 

 

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

2 dari 3 halaman

Sosok Saif al-Islam

Era Moammar Khadafi masih dikenang oleh banyak orang Libya sebagai salah satu otokrasi yang keras, sementara Saif al-Islam dan tokoh-tokoh rezim sebelumnya telah keluar dari kekuasaan begitu lama sehingga mereka mungkin merasa sulit untuk memobilisasi dukungan sebanyak saingan utama.

Moammar Khadafi ditangkap di luar kampung halamannya di Sirte oleh oposisi pada Oktober 2011 dan ditembak. Saif al-Islam ditangkap beberapa hari kemudiandari wilayah pegunungan Zintan ketika ia mencoba melarikan diri dari Libya ke Niger.

Lebih dari satu dekade kemudian, Saif al-Islam sekarang menjadi semacam bukan siapa-siapa bagi orang Libya. Kelompok Zintan membuatnya selama bertahun-tahun tidak terlihat oleh publik dan pandangannya tentang krisis tidak diketahui.

Kendati demikian Saif al-Islam memberikan wawancara kepada New York Times awal tahun ini, tetapi belum membuat penampilan publik berbicara langsung ke Libya. Memperumit ambisi kepresidenannya, ia diadili secara in absentia pada tahun 2015 oleh pengadilan Tripoli di mana ia muncul melalui tautan video dari Zintan, dan yang menjatuhkan hukuman mati atas kejahatan perang termasuk membunuh pengunjuk rasa selama pemberontakan 2011.

Dia kemungkinan akan menghadapi penangkapan atau bahaya lain jika muncul di depan umum di ibu kota Tripoli. Dia juga dicari oleh Pengadilan Kriminal Internasional.

Saif al-Islam yang mengemban studi di London School of Economics dan fasih berbahasa Inggris,  pernah dilihat oleh banyak pemerintah sebagai wajah Libya yang dapat diterima dan ramah Barat, dan kemungkinan pewaris takhta. Tetapi ketika pemberontakan pecah pada tahun 2011 melawan pemerintahan panjang Moammar Khadhafi, ia segera memilih kesetiaan keluarga dan klan daripada banyak persahabatannya di Barat, mengatakan kepada televisi Reuters: "Kami berperang di sini di Libya; kami mati di sini di Libya."

3 dari 3 halaman

Infografis Olahraga Benteng Kedua Cegah COVID-19