Liputan6.com, Jakarta - Kekerasan dalam pekerjaan seringkali menghantui pekerja dalam menjalankan tugasnya, baik kekerasan seksual, pelecehan online, dan kekerasan lainnya. Kekerasan itu sendiri dapat terjadi di mana saja, kapan saja, dan terhadap siapa saja.
Dalam rangka memperingati 'Hari Internasional Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan' yang jatuh pada 25 November 2021, Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta menggelar diskusi yang mengusung tema “Ending Violence against Women Journalists” pada Rabu 24 November 2021.
Baca Juga
Menghadirkan pembicara yang berpengalaman dalam dunia jurnalistik, seperti Kepala Biro VOA untuk Afghanistan dan Pakistan, Ayesha Tanzeem, Ketua Divisi Gender, Anak, dan Kelompok Marjinal Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, Nani Afrida, dan mahasiswa doctoral bidang junalistik di Ohio University, Ratna Ariyanti.
Advertisement
Menurut laporan Federasi Jurnalis Internasional, Nick Geisenger – Pejabat Diplomasi Publik Dubes AS di Indonesia - mengatakan bahwa 2/3 jurnalis perempuan pernah mengalami kekerasan seksual berbasis gender, baik dilingkup pekerjaan, pelecehan online dan lainnya.
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Perempuan Ragu untuk Menceritakan
Berdasarkan survei AJI pada 2020, Nani menyampaikan bahwa 25/34 jurnalis pernah mengalami kekerasan seksual, baik jurnalis perempuan maupun jurnalis laki-laki.
“Kasus kekerasan seksual jarang dilaporkan, terlebih jika pelakunya memiliki jabatan yang tinggi,” kata Nani.
Jurnalis perempuan bercerita kepada Nani, dia mengatakan pernah melaporkan kepada editornya kalua dia dipegang oleh rekan laki-laki, tetapi jawaban dari editor mengejutkan, “Kalau kamu tidak diperkosa, itu bukan berarti pelecehan, siapa tahu dia hanya perhatian terhadap kamu”.
Meskipun kekerasan seksual dapat terjadi terhadap perempuan atau laki-laki, perempuan lebih menjadi target kekerasan seksual.
Ayesha Tanzeem mengatakan ada hal yang membuat perempuan menjadi ragu untuk melaporkan kejadian yang menimpanya.
“Perempuan sudah merasa tidak diberi tugas penting, nanti [jika bercerita] jadi tidak dikirim ke lapangan untuk liputan, bahkan yang lebih ekstrem, mereka mungkin dapat kehilangan pekerjaannya,” ucap Ayesha.
Lalu, adanya tekanan budaya jika mereka berbicara di masyarakat. Tekanan sosial itu bukan pada pelaku, melainkan pada korban. Seringkali masyarakat malah menyalahkan pekerjaan korban dan menyuruhnya untuk berhenti dari pekerjaan tersebut.
Advertisement
Antisipasi dan Langkah Menghentikan Kekerasan
Berbicara tentang kasus kekerasan terhadap jurnalis perempuan atau siapa saja tidak aka nada habisnya. Begitu juga dengan tantangan yang dihadapi jurnalis perempuan dalam lapangan atau ruang redaksi.
Namun, Ratna Ariyanti memberikan beberapa rekomendasi yang dapat dilakukan untuk meminimalisir kekerasan dengan memperluas solidaritas seperti mendukung perempuan untuk membangun dan membentuk serikat pekerja.
Menurut Ratna, juga dengan mempromosikan kesetaraan gender di media, dan memberikan pelatihan untuk jurnalis perempuan, serta mengakhiri impunitas.
Ayesha menambahkan: “Kasus kekerasan perlu ditangani, bukan membatasi perempuan di ruang redaksi”.
Reporter: Cindy Damara
Infografis Kasus Kekerasan terhadap Perempuan di Indonesia
Advertisement