Liputan6.com, Jakarta - Diskusi viral muncul di Twitter setelah dua tokoh dari aplikasi pendidikan Zenius membahas hubungan cuaca dan kemajuan negara di khatulistiwa yang salah satunya adalah Indonesia.Â
"Hampir ga ada negara maju di belt katulistiwa, mungkin genes played a big part there," ucap co-founder Zenius, Sabda P.S., dikutip Sabtu (27/11/2021).Â
Baca Juga
Sabda membahas hal itu ketika merespons ucapan rekannya di Zenius tentang orang yang tinggal di daerah cuaca dingin dan kaitannya dengan genetika.Â
Advertisement
Di musim dingin, selection pressure besar utk:Work smart & hard spy punya sandang pangan papan utk bertahan di winter.Konsekuensinya bisa jadi traits yg kyk gini jadi lbh prevalent:1. Planner & long term thinking2. Logical & mampu memprediksi kausalitas lbh akurat3. Rajin
— Sabda PS 🇮🇩 (@sabdaps) November 26, 2021
Pandangan seperti itu memang ramai di kalangan "intelek" lokal berkat popularitas buku Jared Diamond. Salah satu pendapatnya adalah kemajuan suatu peradaban adalah karena geografis.
Bila membaca sejarah dan ekonomi, tak sulit mematahkan argumen seperti itu. Pasalnya, beberapa dekade lalu masih banyak negara maju yang bermusim dingin, tetapi miskin.Â
Ahli ekonomi dari Universitas Stanford, Thomas Sowell, mengingatkan bahwa Jepang (cuaca dingin) pernah sangat miskin dan tertinggal, produknya pun kualitas rendah. Sementara, Argentina (cuaca tropis) pernah lebih sejahtera dari Prancis dan Jerman.Â
Korea Selatan (cuaca dingin) juga masih miskin pada tahun 1960-an.
Jadi apa penyebab negara maju? Faktor cuaca? Ras? Atau genetika? Berikut penjelasannya.
Â
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Jawabannya Bukan Musim Dingin
Pandangan Jared Diamond telah dibantah oleh ekonom Daren Acemoglu, James Robinson, dan terutama Deirdre McCloskey, profesor (emerita) di bidang ekonomi, sejarah, sastra, filsafat, dan komunikasi, dari University of Illinois Chicago.
Dalam bukunya berjudul Bourgeois Dignity, Deirdre menegaskan kemajuan suatu negara tak terkait geografis, dan Jared Diamond salah kaprah.Â
Pasalnya, Kekaisaran China dan Romawi selama ribuan tahun juga memiliki udara yang sejuk, tetapi berhasil disalip oleh negara-negara Eropa Barat Laut yang meraih kemajuan pesat berkat Revolusi Industri.Â
Negeri-negeri di daerah Bulan Sabit Subur juga tak mengalami kemajuan pesat seperti Revolusi Industri yang membuat ekonomi Eropa meroket.
Pada saat yang sama dengan Revolusi Industri, kondisi Jepang (cuaca dingin) justru sangat parah akibat kebijakan Tokugawa yang menutup diri dari luar negeri.
Selain itu, sejarawan Frank Dikötter menjelaskan bahwa kondisi ekonomi China (cuaca dingin) sangatlah mengenaskan di pertengahan 1900-an.Â
Saat ini, China dan India memiliki kemajuan ekonomi yang besar, meski iklim dua negara itu sangat berbeda. Faktor geografi dan cuaca terbukti tidak bisa menjadi penjelasan kemajuan negara.
Perlu diingat pula bahwa dulu Timur Tengah (cuaca panas) memiliki peradaban yang maju di zaman keemasan.
Dalam bukunya Economic Facts and Fallacies, ekonom Thomas Sowell mencatat bagaimana cendekiawan Muslim dari 1.000 tahun lalu melihat kondisi orang Eropa, yang semakin utara (semakin dingin) justru semakin bodoh dan jorok.
Â
Advertisement
Juga Bukan Ras atau Genetika
Pada acara Global Town Hall 2021, pakar geopolitik Kishore Mahbubani dari National University of Singapore berkata negeri-negeri yang dulu maju selama seribu tahun lebih bukanlah negara barat, melainkan China dan India.
Namun, kemajuan China, India, maupun Romawi tempo dulu memang tak sepesat kawasan Eropa seperti Inggris berkat Revolusi Industri.
Argumen ras (atau genetik) jelas tak bisa dipakai. Hingga kini pun ada negara mayoritas kulit putih yang ekonominya tak terlalu maju, seperti di Eropa Timur.
Deirdre McCloskey juga menegaskan bahwa argumen genetik adalah hal yang rasis dan tak bisa dipakai untuk menjelaskan kemajuan. Nenek moyang dari warga negara maju juga banyak yang miskin dan tidak pintar.
"Norwegia dan Jepang, pernah menjadi luar biasa miskin," tulis Deirdre saat membahas tahun 1800-an.
"Leluhur dari para profesor yang cerdas ... Easterlin, Frank, Schor, Veblen, Frey, Layard, Chekola, Nozick, Schmidtz, McCloskey, Nussbaum, Sen, adalah para orang-orang desa yang buta huruf atau pembuat sepatu yang miskin," lanjutnya di Bourgeois Dignity.
Selain itu, Deirdre juga membantah argumen Jared Diamond bahwa Eropa maju karena kolonialisme ("steel"). Dalam bukunya, Diamond bercerita tentang Francisco Pizarro yang menjajah Inka pada abad ke-16 dan mendapatkan banyak emas.
"Namun pada 1800 Spanyol masih termasuk negara yang paling miskin di Eropa," jelas Deirdre.
Deirdre berpendapat kolonialisme juga merugikan masyarakat negara kolonial, karena ujung-ujungnya rakyat yang harus menanggung pajak demi imperialisme, tapi yang kaya raya hanya segelintir orang.
Ia mencontohkan Inggris ketika setengah anggaran maritim dipakai untuk pertahanan imperialis pada 1877-1948.
"Imperialisme adalah hal yang bodoh secara ekonomi," ujar Deirdre.
Berbagai Teori
Ada banyak teori menarik tentang kemajuan suatu negara. Buku lain yang terkenal di Indonesia adalah Why Nations Fail tulisan Acemoglu dan Robinson.Â
Pada bukunya itu, Acemoglu dan Robinson fokus kepada pentingnya institusi terhadap kemajuan negara. Keduanya juga membantah argumen geografis Jared Diamond dengan memberi contoh Korea Utara dan Korea Selatan.Â
Deirdre memiliki pandangan lain. Ia menyebut kemajuan Eropa melalui Revolusi Industri bisa terjadi karena pemikiran bebas di masyarakat, sehingga membuka pintu bagi inovasi dan ide.Â
Cendekiawan Steven Pinker memiliki argumen serupa, bahwa Enlightenment (pencerahan) membawa kemajuan.Â
Ras atau genetika tentu bukan jawaban mengapa suatu negara bisa maju, tetapi argumen bahwa cuaca bisa membawa kemajuan negara jelas telah dibantah oleh sejarah.
Advertisement