Sukses

Cerita Bisnis Karpet Warga Afghanistan di Bawah Bayang-Bayang Taliban

Banyak keluarga di Afghanistan membuat karpet demi bertahan hidup.

Liputan6.com, Kabul - Empat bersaudara Afghanistan menarik karpet keluar dari gudang dengan harapan putus asa untuk mencari nafkah ketika ekonomi negara itu tertatih-tatih di ambang kehancuran.

Saudara-saudara Haidari sekarang menghabiskan hari-hari mereka duduk sejajar di bangku jongkok -- seperti yang dilakukan generasi keluarga sebelumnya -- menenun permadani yang membuat Afghanistan terkenal akan hasil karya tersebut.

Mereka bekerja berjam-jam setiap hari, meskipun tidak ada jaminan siapa yang hendak membeli karpet tersebut.

"Kami tidak punya pilihan lain untuk membuat keluarga tetap hidup," kata Ghulam Sakhi, kepala keluarga berusia 70 tahun.

Sampai 15 Agustus 2021, ketika Taliban kembali berkuasa di Afghanistan, saudara-saudara Haidari telah berhasil melarikan diri.

Uang untuk melarikan diri didapat berkat kerja keras pembuatan karpet, demikian dikutip dari laman Channel News Asia, Minggu (12/12/2021).

Ketika karpet berukuran 12 meter selesai, biasanya mereka dapat menghasilkan uang hingga US$ 6.000 atau setara Rp 86 juta.

 

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

2 dari 3 halaman

Aset Nasional

Sekitar dua juta dari 38 juta penduduk Afghanistan bekerja di sektor karpet, menurut Noor Mohammad Noori, yang mengepalai asosiasi pembuat karpet nasional.

Tapi permintaan telah terpukul tajam sejak pengambilalihan Taliban memicu eksodus ekspatriat yang bekerja untuk organisasi internasional, katanya.

Karpet Afganistan -- dari sutra tenun Persia yang memiliki tingkat pembuatan rumit -- sangat dicari di seluruh dunia.

Namun dalam beberapa bulan terakhir, "semakin banyak orang membuat karpet" kata Kabir Rauf, seorang pedagang di Kabul yang menggambarkan dagangannya sebagai "harta nasional Afghanistan".

Yang baru di antara angkatan pekerja penenun karpet adalah perempuan yang tidak bisa bekerja, anak perempuan yang putus sekolah, dan laki-laki yang menganggur, katanya.

Di Herat, dekat perbatasan Iran, Abdul Qader sudah mempekerjakan sekitar 150 keluarga untuk bisnis pembuatan karpetnya.

Setiap hari, dua atau tiga orang menghubunginya, dan mengatakan sangat membutuhkan pekerjaan. Bahkan mereka yang tidak berpengalaman pun bisa menghubungi.

"Tidak ada pekerjaan lain," kata Rauf Haidari.

Muhammad Taghi (warga Afghanistan) menenun ketika dia masih muda, tetapi sekarang pekerjaan itu diserahkan kepada keempat anaknya berusia antara 17 dan 24 yang membuat karpet di sebelah dapur rumah keluarga.

Mereka membutuhkan waktu 120 hari untuk menyelesaikan empat permadani berukuran dua kali tiga meter yang indah.

Di mana keluarga itu akan menghasilkan sekitar US$ 500 atau setara Rp 7,1 juta.

"Saya bangga dengan pekerjaan ini. Kami membuat karpet ini dan dijual ke seluruh dunia," kata Muhammad Taghi.

"Saya dapat mengirim anak perempuan dan laki-laki saya ke sekolah dan universitas dengan uang ini."

3 dari 3 halaman

Infografis Taliban Rebut Kabul, Afghanistan Genting