Sukses

Studi: Stres dan Bosan Picu Konsumsi Rokok dan Alkohol Naik Selama Pandemi COVID-19

Saat gelombang baru wabah COVID-19 yang dipicu oleh varian Omicron meningkat, konsumsi rokok dan alkohol di berbagai negara di dunia juga ikut naik.

, Jakarta - Sebuah studi oleh para peneliti di Inggris yang diterbitkan dalam jurnal Addiction pada bulan Agustus 2021 menemukan bahwa selama masa lockdown pertama Inggris, ada 4,5 juta lebih banyak orang dewasa yang tergolong sebagai peminum alkohol berisiko tinggi. Jumlah ini meningkat 40% bila dibandingkan dengan masa sebelum pandemi. Lebih dari 652.000 orang dewasa muda menjadi perokok selama masa lockdown pertama, menurut penelitian tersebut.

Di Prancis contohnya, seperti dikutip dari DW Indonesia, Rabu (29/12/2021), peningkatan konsumsi tembakau terjadi pada orang berusia 18-34 tahun yang berpendidikan tinggi dan mengalami kecemasan selama pandemi COVID-19.

Saat gelombang baru wabah COVID-19 yang dipicu oleh varian Omicron meningkat, konsumsi rokok dan alkohol di berbagai negara di dunia juga ikut naik. Kecemasan dan rasa bosan dinilai menjadi pemicunya.

Sementara sebuah penelitian yang diterbitkan dalam European Journal of Public Health pada Oktober 2021, menemukan bahwa di antara para perokok di Prancis, hampir 27% dari mereka mengonsumsi rokok lebih banyak sejak lockdown pertama pada Maret 2020, dan sekitar 19% melaporkan penurunan konsumsi rokok. Peningkatan konsumsi tembakau terjadi pada orang muda berusia 18-34 tahun yang berpendidikan tinggi dan mengalami kecemasan.

Di Jerman, beberapa iklan rokok masih boleh beredar. Sekitar 31% orang berusia di atas 14 tahun juga merokok, sementara pada akhir tahun 2019 jumlahnya mencapai 27%, menurut sebuah studi di Jerman tentang perilaku merokok jangka panjang. Merokok membunuh hingga 120.000 orang per tahun di Jerman, sekitar dua kali lipat jumlah orang yang meninggal karena COVID-19 di Jerman dalam jangka waktu hampir dua tahun. 

Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tembakau membunuh sekitar 8 juta orang di seluruh dunia setiap tahunnya, termasuk di antaranya 1,2 juta perokok pasif. Lebih dari 80% konsumen tembakau dunia tinggal di negara-negara yang berpenghasilan rendah dan menengah, menurut WHO.

Sementara konsumsi alkohol berkontribusi terhadap 3 juta kematian di seluruh dunia setiap tahunnya, kata WHO, dan konsumsi alkohol yang berlebihan ikut bertanggung jawab atas 5,1% beban penyakit global.

Stres dan Bosan jadi Penyebabnya?

Sejak pandemi COVID-19, kesempatan untuk bersosialisasi sambil minum-minum memang berkurang, tapi bukan berarti konsumsi alkohol lantas menurun. Falk Kiefer, dokter yang juga ketua asosiasi yang meneliti dan melakukan terapi terhadap pasien ketergantungan, mengatakan kepada kantor berita Jerman DPA bahwa sekitar 25% orang dewasa kini mengonsumsi alkohol lebih banyak daripada sebelum pandemi.

"Orang-orang yang sudah sering minum alkohol di rumah, misalnya untuk membuat malam mereka jadi menyenangkan, untuk mengusir kesepian, kebosanan atau kekhawatiran, mereka sekarang minum lebih banyak," ujar Kiefer.

Sarah Jackson, ilmuwan peneliti perilaku di University College London dan penulis utama studi Addiction, mengatakan bahwa memang ada beberapa perokok yang menggunakan momen lockdown pertama untuk berhenti. Akan tetapi pada banyal orang lainnya, stres memicu mereka untuk lebih banyak merokok dan meminum alkohol.

"Lockdown pertama juga merupakan periode stres besar bagi banyak orang, dan kami melihat tingkat merokok dan minuman beralkohol meningkat di antara kelompok-kelompok yang paling terpukul oleh pandemi," kata Jackson dalam sebuah siaran pers.

 

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

2 dari 3 halaman

Dampak jangka panjang konsumsi alkohol

Seiring waktu, asupan alkohol berlebihan dapat menyebabkan perkembangan penyakit kronis dan masalah kesehatan lain seperti tekanan darah tinggi, penyakit jantung, stroke dan penyakit liver. Konsumsi alkohol yang berlebihan melemahkan sistem kekebalan tubuh, menyebabkan masalah kesehatan mental dan kanker. Selain itu, kebiasaan ini juga merupakan faktor risiko kekerasan dalam rumah tangga, yang meningkat di beberapa rumah saat negara-negara memberlakukan lockdown.

Meskipun beberapa penelitian menemukan bahwa konsumsi alkohol yang lebih moderat mungkin dapat membawa manfaat kesehatan, penelitian terbaru menemukan bahwa tidak ada jumlah alkohol yang secara pasti aman untuk dikonsumsi.

Penelitian tersebut juga menunjukkan bahwa asupan alkohol moderat dikaitkan dengan penurunan risiko kardiovaskular dibandingkan dengan para peminum berat atau orang yang sama sekali tidak mengonsumsi alkohol. Para peneliti dari Oxford University, Peking University, dan Chinese Academy of Medical Sciences juga ingin melihat apakah ada hubungan sebab akibat antara dua faktor ini.

Dalam sebuah penelitian yang diterbitkan di Jurnal The Lancet pada April 2019, para ilmuwan mewawancarai dan mengikuti perkembangan 500.000 orang di Asia Timur selama 10 tahun. Pada populasi penelitian di Asia Timur, ada varian genetik umum yang sangat mengurangi toleransi alkohol. Ini berarti mereka mengonsumsi lebih sedikit alkohol. Namun varian genetik ini tidak terkait dengan faktor gaya hidup lain seperti merokok.

Para ilmuwan menemukan bahwa orang-orang dengan varian genetik ini mengalami penurunan asupan alkohol, dan juga mengalami penurunan tekanan darah dan risiko stroke. Para peneliti pun menyimpulkan bahwa alkohol meningkatkan risiko terkena stroke sekitar 35% untuk setiap empat minuman tambahan per hari. Namun mereka tidak menemukan efek perlindungan dari meminum alkohol dalam jumlah ringan atau moderat.

"Tidak ada level 'aman' merokok atau minum, dan berhenti merokok atau mengurangi minum akan membantu mengurangi risiko kanker," kata Michelle Mitchell, kepala eksekutif Cancer Research UK, yang mendanai studi Addiction di Inggris.

3 dari 3 halaman

Infografis Merokok Sambil Berkendara Didenda Rp 750 Ribu