Kabul - Sekelompok pakar hak asasi manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa pada hari Senin (17/1) menuduh pemerintahan Taliban terus berusaha menghapus peran perempuan dan anak perempuan dari kehidupan masyarakat.
Para pemimpin Taliban “melembagakan diskriminasi dan kekerasan berbasis gender berskala besar dan sistematis” terhadap perempuan, kata para ahli dalam sebuah pernyataan yang dikeluarkan Kantor Komisaris Tinggi PBB untuk HAM. Demikian seperti dikutip dari laman VOA Indonesia, Selasa (18/1/2022).
Baca Juga
Para ahli menegaskan kembali kekhawatiran mereka pada serangkaian tindakan pembatasan, terutama yang menyangkut perempuan dan anak perempuan, yang telah diterapkan Taliban sejak merebut kekuasaan Agustus lalu.
Advertisement
“Secara keseluruhan, kebijakan ini merupakan hukuman kolektif terhadap perempuan dan anak perempuan, yang didasarkan pada bias berbasis gender dan praktik berbahaya,” kata mereka.
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Larang Perempuan Bekerja hingga Aturan Berpakaian
Taliban telah melarang sebagian besar perempuan kembali bekerja, memerintahkan sopir taksi untuk hanya memberikan tumpangan kepada perempuan yang mengenakan jilbab, mengharuskan kerabat pria untuk menemani perempuan yang bepergian lebih jauh dari 72 kilometer, dan memberlakukan aturan berpakaian yang ketat pada perempuan dan anak perempuan.
“Selain sangat membatasi kebebasan bergerak, berekspresi dan berserikat, demikian juga partisipasi mereka dalam urusan kemasyarakatan dan politik, kebijakan-kebijakan ini juga telah mempengaruhi kemampuan perempuan untuk bekerja dan mencari nafkah, mendorong mereka lebih jauh ke dalam jurang kemiskinan,” kata para ahli.
Sebagian besar sekolah menengah perempuan di Afghanistan masih ditutup.
Para pemimpin Taliban mengatakan mereka berharap dapat mengizinkan semua anak perempuan kembali ke sekolah setelah tahun baru Afghanistan, yang dimulai pada awal Maret. Mereka mengatakan tantangan seperti membayar gaji guru dan memastikan lingkungan yang aman bagi siswi sesuai ajaran Islam menyebabkan penundaan yang terjadi.
“Kami menghormati hak-hak perempuan tetapi mengharuskan mereka unjuk berjilbab,” kata Suhail Shaheen, wakil tetap Taliban yang ditunjuk untuk PBB, kepada VOA.
Pengkritik terus mempertanyakan integritas janji Taliban terkait anak perempuan dan sekolah.
“Kami juga sangat terganggu oleh perilaku kasar yang ditunjukkan otoritas de facto kepada perempuan dan anak perempuan Afghanistan yang mengklaim hak-hak dasar mereka, dengan berbagai laporan di mana pengunjuk rasa damai seringkali dipukuli, dianiaya, diancam, dan – pada kasus yang sudah dikonformasi – ditahan secara sewenang-wenang,” kata para ahli.
Advertisement
Demonstrasi Perempuan
Pada hari Minggu (16/1), polisi Taliban menembakkan semprotan merica ke sekelompok perempuan berjumlah 20 orang yang berunjuk rasa di ibu kota Afghanistan, mengutuk pembatasan hak-hak mereka, termasuk kewajiban berjilbab, aku peserta aksi tersebut.
Selama unjuk rasa, para demonstran membakar burqa atau kerudung yang telah diamanatkan kementerian bimbingan Islam Taliban kepada perempuan.
Kementerian Penegakkan Kebajikan dan Pencegahan Kejahatan menanggapinya dengan memberi peringatan bahwa Al-Qur'an telah memerintahkan perempuan Muslim untuk mengenakan jilbab.
“Menentang jilbab sebenarnya bertentangan dengan perintah Al-Qur'an dan ajaran rasul. Kami meminta saudari-saudari Muslim kami untuk tidak terpengaruh pihak asing dan tidak mendorong penentangan terhadap jilbab,” kata kementerian dalam sebuah cuitan, merujuk pada Nabi Muhammad.
Infografis Taliban Rebut Kabul, Afghanistan Genting:
Advertisement