Liputan6.com, Jakarta - COVID-19 varian Omicron mengganas. Sejak diidentifikasi keberadaannya pada 10 minggu lalu, sebanyak 90 juta kasus COVID-19 baru di dunia telah dilaporkan.
Menurut Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyeus, jumlah tersebut lebih banyak dari total kasus sepanjang 2020, yang merupakan tahun pertama pandemi COVID-19.
Baca Juga
Namun, meski jumlah kasus naik, sejumlah negara di Eropa malah melonggarkan aturan pembatasan sosial untuk mencegah penularan virus corona baru. Mulai dari Inggris, Prancis, Denmark, hingga Swedia.
Advertisement
Prancis menghapus batas pengunjung di tempat usaha, bahkan Denmark sudah hidup normal dengan virus corona.
Penasihat pemerintah Denmark, Michael Bang Petersen, berkata bisa mencabut prokes karena vaksinasi sudah tinggi, yakni 81 persen. "Warga Denmark memiliki tingkat vaksinasi yang tinggi, dan data kami menunjukkan bahwa mereka punya kepercayaan tinggi pada vaksin. 81% dari seluruh populasi telah divaksinasi dan 61% populasi telah mendapatkan vaksin booster. Vaksin tersedia bagi usia 5 tahun ke atas."
Sementara itu, di Austria, lockdown atau penguncian untuk mereka yang tidak divaksinasi akan dicabut meskipun angka infeksi virus corona melonjak. Kanselir Austria, Karl Nehammer mengumumkan penguncian khusus untuk orang yang tidak divaksinasi akan berakhir pekan depan.
Nehammer mengatakan, orang tanpa vaksinasi terhadap Virus Corona boleh keluar rumah mulai Senin, tanpa alasan. Namun, mereka masih akan dilarang dari sebagain besar kehidupan publik, termasuk restoran dan ritel non-esensial.
Di Inggris, siapapun kini tidak lagi terikat persyaratan hukum izin COVID-19 untuk masuk ke area publik seperti klub malam dan tempat-tempat besar lainnya. Saran bekerja dari rumah juga dihapus pemerintah, termasuk panduan masker di ruang kelas.
Sejak awal Desember 2021, Pemerintah Inggris telah melakukan langkah-langkah yang disebut 'Plan B', untuk menghentikan penyebaran cepat varian Omicron dan sebagai upaya mengulur waktu agar penduduk bisa penerima suntikan vaksin booster.
Sedangkan di Jerman, para ahli kesehatan terpecah pandangannya atas apakah negara itu siap untuk melonggarkan pembatasan COVID-19 saat sejumlah negara tetangga mulai memberlakukan kembali pembatasan.
Jerman pada Kamis 3 Februari melaporkan rekor 236.120 kasus baru harian akibat Omicron, varian COVID-19 yang lebih menular. Namun, beberapa ahli kesehatan mengatakan sudah waktunya untuk menempatkan "rencana kebebasan" soal bagaimana pembatasan dilonggarkan secara bertahap.
"Merumuskan rencana kebebasan ini sekarang adalah tugas politik yang paling penting," kata Andreas Gassen, kepala asosiasi dokter keluarga KBV kepada surat kabar Rheinische, Jumat (4/2/2022).
Gassen mengatakan, Jerman seharusnya bisa hidup berdampingan dengan COVID-19, sebagaimana dengan influenza yang selalu punya varian baru dan puluhan ribu kasus kematian setiap tahun. "Kita harus menerima hidup dengan corona, dan pada saat yang sama melanjutkan vaksinasi bagi kelompok berisiko."
Pekan lalu, Kanselir Jerman Olaf Scholz menolak memberikan perincian terkait rencana nasional untuk melonggarkan pembatasan sebelum puncak gelombang infeksi terbaru, yang diperkirakan terjadi pada medio Februari. Namun, beberapa negara bagian Jerman, seperti Saxony dan Schleswig-Holstein, sudah mengumumkan pelonggaran pembatasan awal pekan ini.
Pemberlakuan itu dikritik oleh beberapa ahli kesehatan Jerman sebagai langkah yang terlalu dini. "Kebijakan itu akan fatal jika kita melakukannya terlalu cepat, jumlah infeksi meningkat akibat pelonggaran yang terlalu dini," Gernot Marx, kepala asosiasi Jerman untuk pengobatan perawatan intensif kepada Funke, kelompok media surat kabar.
Marx mengatakan, langkah pelonggaran konkret seharusnya hanya bisa ditentukan saat jumlah infeksi terus turun selama beberapa hari. Bila tidak, sama saja bunuh diri.
Menurut Epidemiolog Tri Yunis Miko Wahyono, pengetatan atau pelonggaran pembatasan perlu disesuaikan dengan kondisi COVID-19 di masing-masing negara. "Tergantung kondisinya, beragam pencabutannya, kalau COVID-19 atau Omicronnya sudah menurun, ya menurut saya wajar pengetatannya diturunkan," katanya kepada Liputan6.com melalui sambungan telepon Jumat (4/2/2022).
Terkait dengan kondisi Indonesia, ia menilai, "Surat Keputusan Bersama (SKB) 4 Menteri untuk Pembelajaran Tatap Muka (PTM) itu saya anjurkan untuk cepat di-review juga bersamaan dengan evaluasi PPKM berlevel."
"Saat kasus naik dari 2.000 ke 5.000 harusnya Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) berlevelnya lebih ketat," imbuh Miko.
Untuk batas waktu penerapan PPKM di Indonesia, Miko mengatakan, perlu diperkirakan sampai kasusnya menurun. "Menurut saya semua negara normalnya harus melihat kondisi kasus masing-masing. Kalau kasus naik maka pembatasan sosialnya diperketat, kalau kasusnya turun maka mulai lebih longgar," ujarnya.
"Pelonggarannya juga harus bertahap, jadi enggak akan dilonggarkan dengan bebas perlu dikaitkan juga dengan jumlah kasusnya."
Di sisi lain, setiap wilayah di Indonesia juga perlu menyesuaikan level PPKM dengan situasi COVID-19. Begitu pula di berbagai negara lain yang harus menyesuaikan pengetatan dan pelonggaran sesuai dengan tinggi rendahnya kasus yang ada.
Terpisah, pemerhati politik luar negeri Didin Nasirudin menilai ada unsur politik dan kelelahan publik terhadap COVID-19 di balik banyaknya negara-negara yang melonggarkan pembatasan. "Ada istilahnya covid fatigue, pandemic fatigue, orang sudah capek," ucapnya kepada Liputan6.com.
Didin menyorot tingkat vaksinasi di negara-negara Eropa yang relatif tinggi, termasuk booster, sehingga muncul pertanyaan apabila pemerintah tetap memakai prokes yang ketat. Hal lain yang jadi perhatiannya adalah ongkos politik dari prokes, contohnya seperti Prancis yang mulai mendekati pemilu 2022. Pengetatan aturan COVID-19 dinilai bisa berdampak negatif kepada pekerja kerah biru yang jumlahnya tidak sedikit.
"Khusus di Prancis, bulan April ada pemilihan presiden, dan harus diakui pandemic fatigue itu membuat orang akan kontra terhadap pembatasan sosial untuk pandemi, jadi saya kira itu salah satu upaya menaikkan pamor untuk Macron," ujar Didin.
Sementara itu, WHO turut memantau pencabutan dan pelonggaran kasus COVID-19 di Eropa. Meski pemimpin WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus berkata varian Omicron jangan diremehkan, namun Direktur WHO di Eropa Hans Kluge menilai, "gencatan senjata" yang terjadi bisa menjadi upaya kendali COVID-19, meski pandemi belum selesai.
"Bahkan dengan adanya varian yang lebih menular, ada kemungkinan untuk merespons varian-varian baru yang akan menyebar itu tanpa menerapkan tindakan-tindakan disruptif yang kita perlukan sebelumnya," ujarnya seperti dikutip France24.
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
COVID-19 Tidak Akan Pernah Sama dengan Flu
Gejala yang mirip pada sebagian orang yang terpapar Omicron membuat banyak orang berpikir bahwa infeksi varian tersebut sama dengan flu. Faktanya tidak. COVID-19 tidak sama dengan flu seperti disampaikan peneliti Global Health Security dan Pandemi pada Center for Environment and Population Health di Griffith University, Australia, Dicky Budiman.
"Pesan penting, bahwa COVID-19 tidak sama dengan flu, dan tidak akan pernah sama dengan flu," tegas Dicky.
Dicky menerangkan bahwa dampak atau keparahan seseorang terkena flu dan COVID-19 bisa berbeda. Efek jangka pendek, menengah dan panjang antara COVID-19 dengan flu, itu berbeda.
"Tidak ada Long Flu pada pasien flu, tapi ada Long COVID pada pasien COVID-19. Lalu, bicara efek janga pendek dan menengah COVID-19 bisa membuat seseorang diamputasi tapi flu enggak," katanya lewat pesan suara ke Health-Liputan6.com pada Jumat (4/2/2022).
Lalu, COVID-19 juga bisa membuat seseorang alami stroke, kerja jantung terganggu dan ginjal rusak. Sementara, flu tidak berdampak seperti itu.
COVID-19 tidak sama flu sudah dipahami oleh masyarakat Denmark. Menurut Dicky, ini jadi salah satu modal bagi negara tersebut dalam melonggarkan kegiatan sosial yang ada di sana.
Selain modal pemahaman masyarakat yang sudah baik akan COVID-19, Denmark juga punya modal lain seperti vaksinasi booster yang sudah 61 persen pada target penduduk yang dituju. Ini jadi modal yang baik karena bisa meningkatkan imunitas terhadap serangan infeksi COVID-19 di sana.
Modal yang lain adalah meski angka masuk rumah sakit tinggi tapi yang masuk ICU lebih sedikit dari saat Delta menyerang. Meski ada juga kenaikan jumlah kasus kematian tapi tidak setinggi saat Delta.
"Selain itu, pemerintah Denmark juga percaya diri merilis kebijakan pelonggaran itu karena dari survei yang mereka buat sekitar 60 persen penduduk setuju dilonggarkan. Berarti ada dukungan publik," kata Dicky.
Para pejabat Badan Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO) juga sudah mengingatkan penduduk dunia agar tetap waspada terhadap varian Omicron. Meski untuk sementara data menunjukkan sebagian besar gejala mirip dengan flu biasa seperti pilek, pusing, nyeri tenggorokan, bukan berarti varian B.1.1.529 ini dapat dianggap enteng.
"Omicron itu BUKAN common cold (salesma atau sebagian anggap flu)," kata COVID-19 Technical Lead WHO, Maria Van Kerkhove, dalam sebuah twit di akun Twitter nya @mvankerkhove pada 4 Januari 2022.
Hal senada juga disampaikan Kepala Ilmuwan WHO Soumya Swaminathan. "Sistem kesehatan bisa kewalahan (karena Omicron)," katanya.
Maria mengingatkan meski data menunjukkan rendahnya hospitalisasi Omicron dibandingkan dengan Delta tapi tetap saja masih ada orang yang sakit berat dan meninggal karena terinfeksi Omicron.
"Masih ada banyak orang yang terinfeksi, di rumah sakit dan meninggal karena Omicron (dan Delta)," katanya.
Advertisement
Peringatan WHO
Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyeus menyoroti banyak negara melonggarkan pembatasan mereka di tengah kelelahan publik. Padahal ia telah memperingatkan bahwa Omicron tidak boleh diremehkan, meskipun telah terbukti membawa penyakit yang lebih ringan daripada varian sebelumnya tapi "peningkatan kematian yang sangat mengkhawatirkan di sebagian besar wilayah dunia."
"Kami prihatin ada narasi yang telah menjadi pegangan di beberapa negara bahwa karena sudah ada vaksin dan penularan Omicron yang tinggi dengan tingkat keparahan yang lebih rendah, maka pencegahan penularan tidak memungkinkan dan tidak lagi diperlukan," katanya dalam pengarahan rutin WHO tentang pandemi seperti dikutip dari ABC Australia, Jumat (3/2/2022).
"Ini tidak benar," tambah Tedros.
"Terlalu dini bagi negara mana pun untuk menyerah atau menyatakan kemenangan. Virus ini berbahaya dan terus berkembang di depan mata kita sendiri."
WHO mengatakan, empat dari enam wilayahnya di seluruh dunia mengalami peningkatan tren kematian.
Banyak negara Eropa telah mulai melonggarkan pembatasan dan lockdown, termasuk Inggris, Prancis, Irlandia, dan Belanda, sementara Finlandia akan mengakhiri pembatasan COVID-19 bulan ini.
Pada hari Selasa 1 Februari, pemerintah Denmark membatalkan sebagian besar pembatasan yang ditujukan untuk memerangi pandemi, dengan mengatakan tidak lagi menganggap COVID-19 sebagai "penyakit kritis secara sosial."
Negara berpenduduk 5,8 juta jiwa itu dalam beberapa pekan terakhir mengalami lebih dari 50.000 kasus baru setiap hari, tetapi jumlah pasien di unit perawatan intensif telah menurun.
"Sekarang bukan waktunya untuk mengangkat semuanya sekaligus. Kami selalu mendesak — selalu mendesak — kehati-hatian dalam menerapkan intervensi serta mencabut intervensi tersebut secara mantap dan perlahan, selangkah demi selangkah," kata Maria Van Kerkhove, Pimpinan teknis WHO tentang COVID-19.
Kepala kedaruratan WHO, Dr Michael Ryan mengatakan negara-negara dengan tingkat vaksinasi COVID-19 yang lebih tinggi "memiliki lebih banyak pilihan" apakah mereka mau melonggarkan pembatasan, tetapi mereka juga harus menilai faktor-faktor epidemiologi mereka saat ini, misalnya populasi berisiko, kekebalan dalam populasi, dan akses perawatan kesehatan untuk memerangi pandemi.
"Setiap negara harus menemukan pijakannya, tahu di mana ia berpijak, tahu ke mana ia ingin pergi, dan memetakan jalannya ... Anda dapat melihat apa yang dilakukan negara lain. Tapi tolong jangan hanya mengikuti secara membabi buta apa yang dilakukan negara-negara lain," kata dr. Ryan.
Dia juga menyatakan keprihatinan bahwa ada "tekanan politik yang mengakibatkan orang-orang di beberapa negara membuka diri sebelum waktunya sehingga akan mengakibatkan penularan yang tidak perlu, penyakit parah yang tidak perlu, dan kematian yang tidak perlu."
Sementara itu, Dr Van Kerkhove juga mengatakan sekelompok ahli yang dibentuk tahun lalu untuk melihat munculnya patogen baru seperti Virus Corona – dan menilai asal-usulnya – diperkirakan akan mengeluarkan laporan “dalam beberapa minggu mendatang.”
Dia mengatakan kelompok itu, yang dikenal dengan akronim SAGO, telah mengadakan beberapa pertemuan sejak akhir November.
Dia mengatakan kelompok itu akan melihat studi epidemiologi awal dan "pemahaman kami saat ini tentang asal-usul pandemi khusus ini, dibangun berdasar misi ke China sebelumnya dan hasil kerja sama dengan para ilmuwan China."
5 Negara Cabut Aturan Pembatasan COVID-19
Total kasus COVID-19 di dunia mencapai 388 juta, berdasarkan data worldometers, Jumat (4/2/2022). Sementara itu, ada lebih dari 307 juta orang yang dinyatakan sembuh.
Worldometers juga mencatatkan ada lebih dari 5,7 juta orang yang tewas akibat COVID-19.
Amerika Serikat masih menjadi negara di peringkat pertama dalam jumlah kasus virus corona terbanyak. Disusul India, Brasil, Prancis dan Inggris.
Sejauh ini, sudah ada sejumlah negara yang telah memutuskan untuk melakukan pelonggran aturan COVID-19. Sejumlah kebijakan ini bahkan berisi soal aturan bebas penggunaan masker, meski kasus Omicron tengah tinggi.
Berikut sejumlah negara yang memilih untuk melonggarkan aturan COVID-19 di tengah ancaman Omicron:
1. Inggris
Berdalih peluncuran booster vaksinasi COVID-19 berhasil mengurangi penyakit serius dan rawat inap, Pemerintah Inggris mencabut pembatasan dan aturan masker wajib mulai Kamis 27 Januari 2022.
Jumlah orang yang berada di perawatan intensif atau ke rumah sakit, menunjukkan tren harian yang menurun, menjadi di bawah 100.000 selama beberapa hari terakhir, dari puncaknya sempat mencapai 200.00 kasus pada tahun baru, demikian dikutip dari laman DW Indonesia.
Kini, siapapun yang berada di Inggris, tidak lagi terikat oleh persyaratan hukum izin COVID-19 untuk masuk ke area publik seperti klub malam dan tempat-tempat besar lainnya. Saran bekerja di rumah juga dihapus oleh pemerintah, termasuk panduan masker di ruang kelas.
Pemerintah Inggris pada awal Desember 2021, telah melakukan langkah-langkah yang disebut 'Rencana B', untuk menghentikan penyebaran cepat varian Omicron dan sebagai upaya mengulur waktu agar penduduk bisa penerima suntikan vaksin booster.
Menteri Kesehatan, Sajid Javid mengatakan, peluncuran vaksin pemerintah, termasuk pengujian dan pengembangan perawatan antivirus digabungkan, untuk membuat "beberapa pertahanan terkuat di Eropa,”, sebagai kemungkinan "kembali dengan hati-hati” ke keadaan normal.
2. Austria
Sementara itu, di Austria, lockdown atau penguncian untuk mereka yang tidak divaksinasi akan dicabut meskipun angka infeksi melonjak.
Kanselir Austria, Karl Nehammer mengumumkan penguncian khusus untuk orang yang tidak divaksinasi akan berakhir minggu depan. Keputusan itu diumumkan menjelang pertemuan Kabinet pemerintah federal konservatif-hijau.
Nehammer mengatakan, orang tanpa vaksinasi terhadap Virus Corona boleh keluar rumah mulai Senin, tanpa alasan. Namun, mereka masih akan dilarang dari sebagain besar kehidupan publik, termasuk restoran dan ritel non-esensial.
Meskipun jumlah infeksi baru mencapai rekor tertinggi, situasi di rumah sakit Austria dikatakan stabil. Wolfgang Mückstein pada konferensi pers mengatakan, bahwa para ahli telah menyimpulkan, pengunciqan ke orang yang tidak divaksinasi tidak lagi diperlukan, bahkan ketika kasus melonjak.
3. Denmark
Sama seperti Inggris, Denmark juga melakukan langkah serupa.
Kerajaan Denmark telah mencabut restriksi COVID-19. Salah satu faktor yang mendukung adalah tingkat vaksinasi yang sangat tinggi, dan pasien ICU tidak melonjak.
Kebijakan ini tetap dilakukan oleh pemerintah Denmark, meski varian Omicron tengah jadi ancaman.
4. Prancis
Prancis pun ikut melonggarkan aturan. Kini, masker di luar ruangan tidak lagi wajib di Prancis dan kapasitas tempat usaha tak dibatasi, meski pemerintah meminta masyarakat tetap waspada.
Dalam situs worldometers disebutkan bahwa Prancis menjadi negara yang berada di posisi ke-empat dalam jumlah kasus COVID-19 tertinggi di dunia.
Menurut laporan euronews, WFH juga kini hanya direkomendasikan saja. Kapasitas tempat seperti stadium, lokasi budaya, dan lokasi outdoor lainnya tidak perlu lagi dibatasi.
Sebelumnya, lokasi konser dalam ruangan yang awalnya dibatasi menjadi 2.000 penonton, sementara untuk luar ruangan dibatasi 5.000 orang.
Aturan terbaru ini berlaku mulai Rabu 2 Februari waktu setempat. Klub malam masih harus tutup hingga 16 Februari 2022 mendatang.
Meski demikian, warga Prancis masih butuh bukti vaksinasi atau sembuh COVID-19 jika ingin masuk restoran, bar, dan venues lainnya, termasuk jika ingin naik transportasi publik jarak jauh.
5. Australia
Jutaan orang di Melbourne keluar dari lockdown COVID-19 terlama di dunia pada Oktober 2021, bahkan ketika kasus-kasus berada di dekat level rekor, dengan pub, restoran, dan kafe bergegas untuk mengisi kembali persediaan sebelum dibuka kembali.
Sejak awal Agustus, penduduk di kota terbesar kedua di Australia telah menjalani lockdown keenam mereka selama pandemi - untuk memadamkan wabah yang dipicu oleh varian Delta yang sangat menular, demikian dikutip dari CNA.
Para pejabat telah berjanji untuk mencabut penguncian setelah vaksinasi dosis ganda untuk orang berusia di atas 16 tahun melebihi 70 persen di negara bagian Victoria, di mana Melbourne adalah ibu kotanya.
Perdana Menteri Scott Morrison mengkonfirmasi bahwa negara bagian telah mencapai target itu, dengan lebih banyak pembatasan yang akan dilonggarkan karena vaksinasi mencapai 80 dan 90 persen.
Advertisement