Sukses

China Tak Berlakukan Swab Antigen, PCR Jadi Standar Tes COVID-19

Varian Omicron yang terus menyebar ke seluruh dunia membuat permintaan tes antigen cepat (RAT) untuk COVID-19 juga meningkat.

, Beijing - Di saat negara-negara Barat mulai mendistribusikan tes antigen cepat gratis kepada warga, China menetapkan tes PCR sebagai standar pengujian dalam strategi nol-Covid di negara itu.

Varian Omicron yang terus menyebar ke seluruh dunia membuat permintaan tes antigen cepat (RAT) untuk COVID-19 juga meningkat. Bulan lalu, Gedung Putih mengumumkan warga Amerika Serikat dapat mulai memesan RAT gratis mulai 19 Januari, karena Washington telah membeli 1 miliar RAT.

Di saat negara-negara Barat mengandalkan RAT sebagai alternatif untuk sistem pengujian PCR, China tetap menjadi salah satu dari sedikit negara yang hampir secara eksklusif hanya mengandalkan tes PCR untuk mengidentifikasi virus corona.

Tes PCR mencari materi genetik virus seperti asam nukleat atau RNA, sedangkan RAT mencari potongan protein yang terinfeksi oleh virus. Tes PCR biasanya lebih akurat dibanding RAT karena lebih sensitif. Artinya, tes antigen membutuhkan konsentrasi virus yang lebih tinggi daripada tes PCR untuk menunjukkan hasil positif, demikian dikutip dari DW Indonesia, Rabu (16/2/2022).

Menurut data Administrasi Produk Medis Nasional China pada akhir tahun 2021, China menyetujui 68 reagen uji COVID-19 baru, termasuk 34 reagen pengujian asam nukleat, 31 reagen pengujian antibodi, dan hanya tiga reagen pengujian antigen.

Laporan media China menunjukkan setidaknya 10 jenis RAT yang diproduksi di China telah disetujui di negara-negara seperti Amerika Serikat, Inggris, Jerman, Kanada, dan Yunani. Padahal banyak RAT yang diproduksi di China belum disetujui di dalam negeri,

Sejumlah ahli berpendapat, alasan mengapa China belum mulai meluncurkan RAT dalam skala massal adalah karena kegigihan negara itu dalam menegakkan strategi nol-Covid. "Penegakan China terhadap kebijakan nol-Covid di masa mendatang, menentukan tes antigen cepat mungkin tidak cukup efektif pada tahap saat ini," kata Xi Chen, seorang profesor kebijakan kesehatan dan ekonomi di Yale School of Public Health.

Pakar lain setuju dengan penilaian Chen. Mei-Shang Ho, seorang peneliti di Institute of Biomedical Sciences di Academia Sinica di Taiwan menyebutkan, karena RAT tidak begitu sensitif terhadap viral load yang rendah, pengujian PCR adalah metode yang disukai untuk negara-negara yang menerapkan strategi mengidentifikasi semua kasus yang ada.

"Untuk China, mereka perlu mengidentifikasi semua orang yang terinfeksi, termasuk individu tanpa gejala, jadi lebih akurat bagi mereka untuk mencapai tujuan itu dengan mengandalkan tes PCR," katanya kepada DW.

Munculnya varian Omicron juga menimbulkan tantangan baru terhadap akurasi RAT. Chunhuei Chi, Direktur Pusat Kesehatan Global di Oregon State University di Amerika Serikat mengatakan, beberapa penelitian terbaru menunjukkan, karena varian Omicron lebih terkonsentrasi di sekitar tenggorokan atau mulut pasien pada awal infeksi, ketika mereka mencoba untuk mengambil sampel dari hidung menggunakan RAT, sensitivitas tes kemungkinan lebih rendah.

"Alasan sebenarnya untuk ini belum ditentukan, tetapi kita sekarang tahu bahwa tes antigen kurang akurat dalam menghadapi varian Omicron," katanya kepada DW.

 

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

2 dari 2 halaman

Kapan China akan mulai menggunakan RAT?

Para ahli tampaknya setuju dengan fakta, selama China menjunjung tinggi strategi nol-Covid-nya, tidak mungkin Beijing mulai menggunakan RAT dalam skala luas. "Karena tes antigen tidak begitu sensitif terhadap beban virus yang rendah, kasus negatif palsu dapat mengancam strategi nol-Covid," kata Chen dari Sekolah Kesehatan Masyarakat Yale kepada DW.

Chi dari Oregon State University juga menunjukkan, tidak seperti China, negara-negara yang telah menggunakan RAT dalam jumlah besar, telah mengubah tujuan tindakan pengendalian pandemi menjadi pencegahan gejala serius dan kematian.

"Jika tujuannya untuk mencegah gejala serius dan kematian, serta mencegah rumah sakit kelebihan beban, maka negara-negara ini tidak perlu terlalu peduli seberapa akurat tesnya," jelasnya.

"Yang mereka pedulikan adalah mencegah jumlah infeksi agar tidak lepas kendali."

Selain itu, faktor non-medis lainnya juga dapat berkontribusi pada keputusan China untuk tidak menggunakan RAT dalam skala besar, kata Chi. "Karena RAT sebagian besar dilakukan oleh warga di rumah, pihak berwenang di China mungkin kurang percaya pada hasil tes tersebut," katanya kepada DW.

Dalam sebuah wawancara dengan China News Weekly yang dikelola pemerintah China, Bo-lin Tang, Direktur Penjualan Ningbo Dasky Life Science mengatakan, salah satu alasan mengapa RAT berkembang lambat di China adalah karena hampir tidak ada pasar untuk tes cepat. "Karena tes PCR dipandang sebagai standar emas di China dan kapasitas pengujian negara itu dapat memenuhinya, tidak ada ruang untuk tes antigen cepat," katanya.

Selain itu, karena Administrasi Produk Medis Nasional China (NMPA) menggunakan proses yang panjang untuk meninjau alat tes COVID-19, Tang mengatakan produsen mungkin merasa kesulitan untuk melewati proses resmi dan mendapatkan sertifikat yang dikeluarkan oleh NMPA China.

Salah satu solusi menggabungkan manfaat tes RAT dan PCR mungkin ada di depan mata bagi warga negara China. Dalam studi peer-review yang diterbitkan dalam jurnal Nature Biomedical Engineering pada hari Senin (14/02), para ilmuwan China dari Universitas Fudan Shanghai mengatakan, mereka telah mengembangkan tes COVID-19 yang dapat memproses hasil seakurat tes PCR dalam waktu kurang dari empat menit.

Para peneliti mengumpulkan sampel hidung dari 33 pasien PCR-positif COVID-19, 23 pasien PCR-negatif, enam pasien positif influenza, dan 25 sukarelawan sehat. Tes tersebut secara akurat memproses semua kasus tanpa kesalahan dalam waktu kurang dari empat menit, menurut penelitian tersebut.

Namun, karena penelitian dilakukan pada sampel kecil, pakar Universitas Johns Hopkins Andrew Ching mengatakan kepada DW, hal itu hanya akan membuat perbedaan jika tingkat akurasi 100% dapat bertahan dalam uji sampel yang lebih besar. Chunhuei Chi meyakini, RAT mungkin tidak akan mendapatkan kepercayaan dari otoritas China dalam waktu dekat.

"Dengan asumsi bahwa China perlahan-lahan akan mempertimbangkan untuk menjauh dari strategi nol-Covid setelah peristiwa politik besar musim gugur ini, RAT mungkin mulai dianggap lebih serius oleh otoritas China mulai saat itu," katanya.

Chen dari Yale juga menganalisis, kapasitas manufaktur China untuk RAT mungkin memainkan peran yang lebih penting dalam tindakan pengendalian pandemi di masa depan. "Kapasitas produksi yang besar untuk tes antigen, akan menjadi lebih penting karena strategi nol-Covid China akhirnya bergeser," pungkasnya.