Liputan6.com, Jakarta - Rentetan ledakan memecah heningnya kota-kota di Ukraina. Suara ledakan itu berasal dari rudal-rudal Rusia yang menghujani Ukraina pada Kamis 24 Februari dini hari.
Desing peluru dari baku tembak para prajurit juga terdengar di dekat pelabuhan utama Ibu Kota Kiev. Suara sirene pun meraung, sebagai tanda bahaya.
Baca Juga
Tanpa ampun, serangan yang digencarkan Rusia ke Ukraina dilakukan lewat darat, udara, dan laut. Invasi ini merupakan serangan terbesar sebuah negara terhadap negara lain di Eropa sejak Perang Dunia II.Â
Advertisement
Tak lama setelah Presiden Rusia Vladimir Putin mengumumkan dimulainya operasi militer khusus, Ukraina melaporkan iring-iringan pasukan melintasi perbatasannya ke arah timur wilayah Chernihiv, Kharkiv dan Luhansk. Pasukan lainnya tiba dari laut di kota-kota Odessa dan Mariupol di bagian selatan.
Orang-orang pun terbangun karena suara ledakan yang menggetarkan Bumi itu. Sejak pagi, antrean mengular di mesin ATM dan pom bensin. Mereka bersiap untuk kemungkinan terburuk. Meski kaget, banyak dari mereka hanya bisa terdiam.
Andrei Varleez langsung mengantre di sebuah pom bensin bersama istri dan putranya - salah satunya masih bayi - setelah mendengar ledakan rudal Rusia. "Saya mendengarnya dengan jelas. Bumi benar-benar bergetar jadi kami bangun dan sekarang kami sedang menunggu bahan bakar," katanya.Â
Di Ibu Kota Kiev dan di tempat lain di negara itu, ribuan warga sipil menumpuk di kereta, bus, dan mobil saat mereka mencoba melarikan diri. Tetapi tidak ada tanda-tanda eksodus dari Kostyantynivka. Hanya ketidakpastian.
"Saya bahkan tidak mengerti apa yang harus kami lakukan. Kami warga sipil, bukan orang militer. Ke mana kami bisa melarikan diri? Saya tidak tahu. Saya punya anak kecil, saya tidak bisa melarikan diri," kata Andrei.
Warga yang tinggal di Kota Kostyantynivka, Ukraina timur, memang tidak asing dengan perang. Tetapi invasi Rusia kali ini telah membuat mereka takut akan masa depan.
BBC melaporkan, kota ini terletak di wilayah Donetsk - dekat garis depan dalam konflik selama bertahun-tahun antara kedua negara. Sebagian wilayah itu telah dikuasai separatis yang didukung Kremlin sejak 2014, sementara sisanya - termasuk Kostyantynivka - dikendalikan pemerintah Ukraina.
Seperti Andrei, orang-orang di seluruh Kostyantynivka sulit membayangkan seperti apa masa depan mereka. Jalan-jalan lebih sepi dari biasanya. Orang-orang mengikuti berita invasi secara online dan di televisi, dan dengan berbicara dengan orang-orang terkasih mereka di tempat lain di negara itu.
Dalam pidato yang disiarkan televisi, Presiden Ukraina, Volodymyr Zelenskiy mengungkap adanya 137 warga sipil dan personel militer yang tewas hingga Jumat (25/2/2022) pagi, akibat invasi Rusia. Selain itu, 316 orang lainya dilaporkan terluka.Â
Zelenskyy mengatakan, meskipun Rusia mengklaim hanya menyerang sasaran militer, nyatanya situs sipil juga telah diserang. "Mereka membunuh orang dan mengubah kota yang damai menjadi sasaran militer. Itu hal busuk dan tidak akan pernah dimaafkan," ucap Zelenskyy seperti dikutip dari Associated Press.
Sementara itu, menurut laporan AFP, Ukraina mengatakan bahwa hampir 50 tentara Rusia telah tewas. Semua penjaga perbatasan di Pulau Zmiinyi di wilayah Odesa, juga tewas saat invasi Rusia hari pertama Kamis 24 Februari.
Layanan penjaga perbatasan Ukraina pada hari sebelumnya melaporkan bahwa pulau itu telah dikuasai Rusia. Selain itu, pasukan Rusia juga telah merebut Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir Chernobyl.
Chernobyl, lokasi kecelakaan nuklir terburuk di dunia, menjadi salah satu tempat penting dalam perang antara Rusia dan Ukraina yang kian memburuk. Pasukan kedua negara saling bertempur memperebutkan situs nuklir tersebut.
Kini, Chernobyl telah dikuasi militer Rusia. Saat mengambil alih Chernobyl, pasukan Vladimir Putin menghadapi gempuran pasukan Ukraina dari tiga sisi, setelah Moskow melancarkan serangan melalui darat, laut, dan udara. Â
Ada sejumlah alasan Chernobyl yang dikelilingi bermil-mil tanah radioaktif sangat diperebutkan kedua negara. Salah satunya karena Chernobyl berada di rute terpendek dari Belarusia ke Kiev, yang juga sesuai dengan jalur serangan bagi pasukan Rusia saat menginvasi Ukraina.
Mengambil alih Chernobyl adalah bagian dari rencana Rusia. Dalam merebut Chernobyl , analis militer Barat mengatakan, Rusia hanya menggunakan rute invasi tercepat dari Belarus --sekutu Moskow-- dan menjadikannya lokasi penempatan pasukan Rusia ke Kiev.
"Itu adalah cara tercepat dari A ke B," kata James Acton dari lembaga pemikir Carnegie Endowment for International Peace, dikutip dari NDTV.
Jack Keane, mantan kepala staf Angkatan Darat AS mengatakan, Chernobyl tidak memiliki signifikansi militer. Tetapi lokasinya terletak di rute terpendek dari Belarus ke Kiev. "Target strategi 'pemenggalan' Rusia untuk menggulingkan pemerintah Ukraina," katanya.
Jack Keane menyebut rute itu sebagai salah satu dari empat 'sumbu' yang digunakan pasukan Rusia untuk menyerang Ukraina. Termasuk vektor kedua dari Belarusia, maju ke selatan ke kota Kharkiv di Ukraina, dan dorongan ke utara dari Krimea yang dikuasai Rusia ke kota Kherson.
Pengamat Hukum Internasional Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana menilai operasi militer yang dilancarkan Rusia dan serangan balik Ukraina berpotensi menjadi Perang Dunia III. "Bila saling serang yang terjadi di Ukraina dibiarkan terus akan menjadi cikal bakal Perang Dunia III."
Untuk mencegah hal itu, Eropa Barat dan Amerika Serikat telah menjatuhkan sanksi ekonomi kepada Rusia. Namun menurutnya, sanksi tersebut tidak akan efektif.
Pertama, jelas Hikmahanto, sanksi ekonomi baru akan terasa di level masyarakat Rusia dan para elit dalam waktu 6 bulan bahkan satu tahun ke depan. "Kedua, Rusia harus dibedakan dengan Iran ataupun Korea Utara yang masih sangat bergantung pada banyak negara."
Ketiga, sambungnya, Rusia akan dibantu oleh sekutu-sekutunya, bahkan oleh China yang melihat potensi keuntungan secara finansial.
Menurut Hikmahanto, penyelesaian melalui Dewan Keamanan PBB pun akan tidak membuahkan hasil mengingat di dalam DK PBB ada Rusia yang merupakan anggota tetap yang memiliki hak veto. "Apapun draf resolusi yang bertujuan untuk melumpuhkan Rusia secara militer akan diveto oleh Rusia," kata dia kepada Liputan6.com di Jakarta, Jumat, (25/2/2022).
Indonesia, menurutnya, dapat memiliki peran dalam perdamaian Rusia-Ukraina dan mencegah pecahnya Perang Dunia III. Salah satu caranya dengan upaya terbuka untuk penyelesaian konflik melalui Majelis Umum PBB.
"Indonesia dapat mengambil peran ini mengingat Indonesia saat ini memegang Presidensi G-20 dan memiliki kewajiban konstitusional untuk turut dalam ketertiban dunia," ujar Hikmahanto.
Dalam MU PBB, lanjut dia, tidak ada hak veto dan semua negara anggota memiliki satu suara yang sama. Presiden Jokowi dapat mengutus Menlu Retno Marsudi untuk melakukan shuttle diplomacy dengan melakukan pembicaraan ke berbagai pihak, termasuk Presiden MU dan Sekjen PBB, Menlu Rusia, Menlu Ukraina, Menlu negara-negara Eropa Barat dan AS.
Menlu Retno juga perlu melakukan pembicaraan dengan Menlu berbagai negara di Asia, Afrika, Eropa Timur, hingga Amerika Latin. Dalam sejarahnya, kata Hikmahanto, Majelis Umum PBB pernah mengeluarkan resolusi yang disebut sebagai Uniting For Peace pada tahun 1950 saat pecah perang di Semenanjung Korea.
"Dalam resolusi tersebut dapat meminta negara-negara yang bertikai untuk segera melakukan gencatan senjata. Bila seruan ini tidak digubris maka MU PBB dapat memberi mandat kepada negara-negara untuk mengerahkan pasukan terhadap negara yang tidak mematuhi gencatan senjata."
Terpisah, menurut Pengamat Hubungan Internasional Universitas Airlangga, Siti Rokhmawati Susanto, kemungkinan perang Rusia-Ukraina ini tidak akan berlangsung lama. "Ini cuma bluffing-nya Rusia saja, dia memang enggak takut sekaligus psychological war dalam konteks yang lebih tinggi, cuma gertak-gertakan dalam status yang lebih tinggi."
Sementara itu, Juru bicara (jubir) Kementerian Luar Negeri (Kemlu) RI Teuku Faizasyah menyamapaikan keprihatinan Pemerintah Indonesia atas eskalasi konflik bersenjata di wilayah Ukraina yang sangat membahayakan keselamatan rakyat, serta berdampak bagi perdamaian di kawasan.
"Pemerintah Indonesia menegaskan agar ditaatinya hukum internasional dan piagam PBB mengenai integritas teritorial wilayah suatu negara serta mengecam tiap tindakan yang nyata-nyata merupakan pelanggaran wilayah teritorial dan kedaulatan suatu negara."
Indonesia, sambungnya, juga menegaskan kembali agar semua pihak tetap mengedepankan perundingan dan diplomasi untuk menghentikan konflik dan mengutamakan penyelesaian damai.
Terkait perlindungan warga negara Indonesia di Ukraina, Direktur Perlindungan WNI dan Badan Hukum Indonesia Kementerian Luar Negeri Judha Nugraha mengatakan, pihaknya masih terus berkoordinasi dan memantau secara cermat perkembangan di Ukraina. Kementerian Luar Negeri dan Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Ibu Kota Kiev, Ukraina, telah menyusun rencana kontijensi untuk mengantisipasi eskalasi yang mungkin terjadi.
Langkah-langkah Kementerian Luar Negeri dan KBRI Kyiv akan disesuaikan mengikuti situasi terkini di lapangan. Dalam rencana kontijensi itu, sudah ditetapkan parameter status kondisi mulai dari Siaga III, II hingga I.
Menurutnya, rencana kontijensi tersebut termasuk kemungkinan evakuasi warga negara Indonesia (WNI) jika situasi dinilai membahayakan jiwa. Namun, kata Yudha, hingga saat ini situasi masih dinilai relatif masih aman dan terkendali.Â
"Saat ini kami di Kementerian Luar Negeri dan KBRI Kiev telah mampu menjalin kontak dengan 138 warga negara kita yang ada di Ukraina. Mayoritas mereka bertempat tinggal di Kiev dan Oddesa dan beberapa lainnya tersebar di beberapa kota yang lain," ungkapnya.
Judha menyatakan, warga negara Indonesia yang ada di Ukraina saat ini dalam kondisi aman. "Sesuai dengan rencana kontijensi kami meminta warga Indonesia berkumpul ke KBRI kita di Kiev. Bagi warga negara kita yang kesulitan agar segera menghubungi nomor Hotline KBRI yang ada di Kiev."
Â
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Dampak Perang Rusia Vs Ukraina ke Indonesia
Perang antara Rusia dan Ukraina akan berdampak pada Indonesia. Pengamat Hubungan Internasional Dinna Prapto Raharja mengatakan, harga komoditas seperti migas melambung.
Ada kemungkinan juga supply chain dan ekspor Indonesia ke Rusia dan negara-negara Uni Eropa juga akan terdampak. Sebab, di sana harga-harga barang sudah meningkat cepat.
"Artinya mereka butuh penghematan dan daya beli mereka tergerus," kata Dinna kepada Liputan6.com.
Indonesia, kata Dinna, harus menekan lewat dialog dengan AS dan Rusia juga para sekutu AS untuk tidak memperkeruh suasana dengan aneka sanksi ekonomi yang justru akan makin memperburuk kondisi ekonomi di Eropa sehingga berpengaruh pada mitra-mitra dagang Eropa.
"Indonesia saya lihat berusaha menjaga jarak dengan konflik tersebut, tidak mengeluarkan statement yang terlalu dini. Mudah-mudahan sikap menjaga jarak ini tidak terlalu lama karena dampak ekonominya pasti sangat terasa juga ke sini," ujar dia.
Pengamat Hubungan Internasional Universitas Airlangga, Siti Rokhmawati Susanto menambahkan, dampak yang paling nyata dari perang ini adalah pada sektor ekspor-impor.
"Sektor ekonomi ekspor-impor yang melibatkan relasi Indonesia dengan Rusia terdampak, tapi sebenarnya dalam konteks ini kita enggak butuh terlalu banyak sinergi Rusia baik itu gas alam maupun minyak bumi," ujar wanita yang akrab disapa Irma ini ketika dihubungi Liputan6.com.
Hal berbeda dialami negara-negara di Eropa, di mana kebanyakan dari mereka masih banyak yang bergantung kepada Rusia. Hal inilah yang disebut Irma membuat Rusia semakin percaya diri untuk melancarkan serangan terhadap Ukraina.
Alih-alih merugikan, ia justru menilai tak banyak dampak yang akan menerpa Indonesia. "Untuk sesuatu yang menyulitkan Indonesia tidak banyak terdampak, kecuali mungkin relasi ekspor kita ke Rusia yang sedikit banyak akan berkurang."
Sementara itu, Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, mengatakan, dampak ekonomi Indonesia dari ketegangan Rusia-Ukraina akan paling terasa di sektor keuangan. Hal ini terlihat dari kondisi Rupiah yang sudah melemah dan bergerak di Rp 14.500, dan bisa terus bergerak mendekati level Rp 15.000.
"Dalam kondisi konflik, jika eskalasinya semakin meluas dan melibatkan banyak negara, ini bisa berdampak pada stabilitas di kawasan, dan tentunya ini akan merugikan prospek pemulihan, stabilitas moneter yang ada di Indonesia, karena bertepatan dengan tapering off dan kenaikan suku bunga yang terjadi di negara-negara maju," kata Bhima Yudhistira kepada Liputan6.com.
Harga komoditas, juga menjadi efek ekonomi yang bisa dihadapi Indonesia.
"Dengan minyak mentah yang sudah tembus USD 100 per barel, akan meningkatkan inflasi dan membuat biaya pengiriman (logistik) menjadi jauh lebih mahal. Efeknya adalah harga kebutuhan pokok semakin meningkat, daya beli masyarakat semakin rendah, dan efek terhadap subsidi energi juga akan membengkak cukup singnifikan," papar Bhima.
"Karena pada asumsi makro APBN, harga minyak hanya tercatat USD 63 per barel, jadi ini berbanding jauh antara minyak yang ditetapkan dalam APBN, maupun harga minyak mentah yang sudah ada dilapangan. Maka imbasnya pasti ada pembengkakan dari subsidi energi yang signifikan," lanjut dia.
Dengan demikian, Bhima menyarankan, Pemerintah baiknya segera melakukan APBN perubahan untuk menyesuaikan kembali beberapa indikator khususnya nilai tukar rupiah, juga inflasi.
"Karena inflasinya bisa lebih tinggi dari perkiraan, dan perlu dilakukan antisipasi seperti tambahan dana PEN, yang sebagian mencakup stabilitas harga pangan dan harga energi. Karena ini serius sekali pada stabilitas dan pemulihan ekonomi sepanjang 2022," imbuhnya.
"Jadi ketika Pemerintah ingin menargetkan pertumbuhan ekonomi di atas 5 persen, maka harus dipastikan stabilitas harga kebutuhan pokok masyarakat baik minyak goreng, kedelai, maupun komoditas lainnya, juga BBM (Pertamax-Pertalite), agar terjaga hingga akhir tahun," Bhima memungkasi.
Â
Advertisement
Alasan Rusia Serang Ukraina
Federasi Rusia melancarkan serangan kepada Ukraina pada Kamis (24/2/2022). Selain serangan militer, ada juga serangan siber dan serangan informasi yang merugikan Ukraina.Â
Konflik Rusia dan Ukraina sebetulnya sudah mengakar sejak lama. Perlu diingat bahwa Ukraina merupakan bekas negara Uni Soviet, dan Presiden Rusia Vladimir Putin tampak belum rela bahwa Ukraina telah merdeka.Â
Ada pula alasan karena NATO yang ingin ekspansi ke Eropa Timur, termasuk Ukraina yang berbatasan dengan Rusia. Ekspansi NATO ke Ukraina dianggap mengganggu keamanan nasional Rusia
Berikut rangkuman tiga alasan yang jadi penyebab Rusia serang Ukraina:
1. Kejayaan Masa Lalu
Kejayaan masa lalu menjadi salah satu teori yang patut disorot. Hal ini diperkuat dengan retorika Presiden Putin beberapa hari sebelum penyerangan.Â
Presiden Putin berkata Ukraina adalah bagian lama dari Rusia. Ia juga berkata bahwa Rusia telah "dicuri" ketika Uni Soviet runtuh pada 1991. Ia pun menuduh Ukraina sebagai "koloni" AS.
Rusia juga sebetulnya sudah lama mencoba mengintervensi politik di Ukraina, namun sejak Rusia mencaplok Semenanjung Krimea di 2014, perpolitikan di Ukraina cenderung bersebarangan dengan Rusia.
2. Masalah NATO
Alasan lain yang dipermasalahkan Rusia adalah NATO. Rusia sejak lama menolak Ukraina bergabung ke dalam NATO.Â
Duta Besar Indonesia untuk Rusia, Jose Tavares, menyatakan bahwa Rusia khawatir jika NATO membawa persenjataan ke perbatasan Ukraina, sehingga kota-kota besar Rusia bisa jadi sasaran yang mudah ditarget.Â
Meski demikian, NATO masih buka pintu jika Ukraina ingin bergabung. Di sisi lain, Ukraina pun memang ingin bergabung dengan NATO.
3. Separatisme
Pemerintah Rusia telah lama mendukung gerakan separatis di negara-negara bekas Soviet. Pada 2008, Rusia juga berperang melawan Georgia akibat masalah ini.Â
Rusia diketahui mendukung separatis di daerah Ossetia Selatan dan Abkhazia, hal itu memicu reaksi keras dari Georgia. Namun, dua daerah itu berhasil dikuasai pengaruh Rusia, meski tak diakui dunia.Â
Sebelumnya, Rusia juga mendukung para separatis di Semenanjung Krimea milik Ukraina. Dan baru-baru ini, Putin mengakui kedaulatan daerah Donetsk dan Luhansk.
Vladimir Putin juga mengirim pasukan ke dua daerah itu, meski dunia internasional masih mengakui dua daerah itu sebagai milik Ukraina, sehingga otomatis langkah Putin disamakan dengan membawa pasukan ke Ukraina.
Alasan Putin
Presiden Rusia Vladimir Putin mengungkap alasannya berperang dengan Ukraina karena adanya permintaan bantuan dari para pemimpin kelompok separatis di Ukraina timur. "Sehubungan dengan itu, saya membuat keputusan untuk mengadakan operasi militer khusus. Tujuannya adalah untuk melindungi orang-orang yang menjadi sasaran pelecehan dan genosida dari rezim Kiev selama delapan tahun," kata Putin, dikutip dari TASS, Jumat (25/2/2022).
"Dan untuk tujuan ini, kami akan berusaha untuk mendemiliterisasi Ukraina dan mengadili mereka yang melakukan banyak kejahatan berdarah terhadap orang-orang damai, termasuk warga negara Rusia."
Kekuatan Militer Rusia Vs Ukraina
Tindakan Presiden Rusia Vladimir Putin terhadap Ukraina semakin agresif. AP News melaporkan ada serangan di Kiev, Kharkiv dan Odesa di Ukraina sejak Kamis 24 Februari pagi.
Sebelumnya, Rusia juga sudah menganeksasi Semenanjung Krimea pada 2014, serta mengakui kemerdekaan dua wilayah separatis Ukraina: Donetsk dan Luhansk.Â
NATO sebetulnya sudah meminta Rusia agar tidak membawa militernya ke dua daerah separatis tersebut.Â
Rusia tampaknya tidak gentar meski dikecam dan disanksi. Negara itu memang memiliki kekuatan militer terkuat di Eropa saat ini, berikut perbandingan kekuatan militer antara Rusia dan Ukraina menurut situs Global Firepower:Â
Militer Rusia
Peringkat: 2 dari 140
Anggaran pertahanan:Â nomor 3 dari 140 negara
Personel militer: 1.350.000 (0,9 persen dari populasi)
Personel aktif: 850 ribu (0,6 persen)
Personel cadangan: 250 ribu (0,2 persen)
Kekuatan udara:
Attack aircraft: 739
Helikopter: 1.543
Helikopter penyerang: 544
Kekuatan darat:
Tank: 12.420
Armored vehicles: 30.122
Rocket projectors: 3.391
Kekuatan laut:
Destroyers: 15
Frigates: 11
Submarines: 70
Militer Ukraina
Peringkat: 22 dari 140
Anggaran pertahanan: nomor 20 dari 140 negara
Personel militer: 500.000 (1,1 persen dari populasi)
Personel aktif: 200 ribu (0,5 persen)
Personel cadangan: 250 ribu (0,6 persen)
Kekuatan udara:
Attack aircraft: 29
Helikopter: 112
Helikopter penyerang: 34
Kekuatan darat:
Tank: 2.596
Armored vehicles: 12.303
Rocket projectors: 490
Kekuatan laut:
Destroyers: 0
Frigates: 1
Submarines: 0
Advertisement