Liputan6.com, Beijing - Pemerintah China dilaporkan mengambil strategi dua kaki di konflik Rusia dan Ukraina. Keputusan itu diambil dengan mempertimbangkan reputasi internasional China jika mengabaikan Ukraina.Â
China merupakan sekutu Rusia, dan sejauh ini China belum memberikan kecaman terhadap invasi yang terjadi. Media pemerintah China juga tidak menyebut serangan Rusia sebagai invasi.
Advertisement
Baca Juga
Dilaporkan The Wall Street Journal, Senin (21/3/2022), pakar-pakar kebijakan luar negeri yang dekat dengan pemerintah China kini menyebut negara itu memiliki strategi baru: tidak akan menjadi oposisi Rusia, namun mendukung Ukraina.Â
Taktik itu disebut "benevolent neutrality" (netralitas yang budiman).Â
China dilaporkan tetap ingin bermitra dengan Rusia untuk melemahkan pengaruh Barat, tetapi China juga ingin tampil sebagai kekuatan dunia yang bertanggung jawab, sehingga ingin membantu Ukraina.Â
Â
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Aksi Sensor
Media China pada umumnya melakukan sensor kepada invasi Rusia terhadap Ukraina. Pandangan pakar yang menyebut China harus berpihak ke Ukraina juga disensor.Â
Itu terjadi kepada analis bernama Hu Wei dari Shanghai Public Policy Research Association. Ia sempat menulis analisis bahwa China harus putus hubungan dari Rusia, sebab aksi Rusia dikhawatirkan menjadi beban bagi reputasi China.Â
Hu Wei berkata strategi Rusia untuk menyerang Ukraina secara kilat (blitzkrieg) sudah gagal, dan Rusia tidak punya kekuatan untuk melakukan perang jangka panjang.Â
China disarankan membela Presiden Rusia Vladimir Putin jika ia memiliki prospek menang yang bagus. Akan tetapi, prospek itu telah pudar, sehingga lebih baik China mencampakan Rusia.
"Berada di satu kapal dengan Putin akan berdampak ke China apabila ia kehilangan kekuatan," tulis Hu Wei, dikutip dari situs US-China Perception Monitor.
Tulisan itu disensor di media sosial China, namun viral di Twitter.
Advertisement