Liputan6.com, Jakarta - "Aku bisa mati bosan jika sendiri terus." Mungkin ini adalah kalimat yang termasuk sering Anda dengar dari teman, keluarga atau orang terdekat. Atau bisa jadi Anda melakukannya juga.
Kalimat yang diutarakan tersebut seakan-akan bisa terjadi. Rasa bosan bisa membunuh manusia. Lantas, apakah ini benar-benar bisa terjadi menurut pandangan medis?
Dikutip dari laman Mentalfloss.com, Rabu (24/6/2020) dalam sebuah survei yang dilakukan pada akhir 1980-an, lebih dari 7.500 pegawai negeri London berusia 33 hingga 55 tahun ditanya, antara lain, seberapa bosan mereka bekerja di bulan lalu dan seberapa sehat dan aktifnya fisik mereka.
Advertisement
Sekitar tujuh persen melaporkan bosan "cukup banyak" pada bulan sebelumnya, dan sekitar dua persen mengatakan mereka bosan "banyak," dan mereka yang lebih bosan juga melaporkan aktivitas fisik yang lebih rendah dan menilai kesehatan mereka lebih buruk.
Pada 2009, beberapa dekade setelah survei dilakukan, sepasang peneliti kesehatan masyarakat memeriksa data survei dan catatan pusat Layanan Kesehatan Nasional untuk melihat siapa yang mengambil survei yang telah meninggal dan yang masih hidup.
Mereka menemukan bahwa orang-orang yang lebih bosan di tempat kerja lebih mungkin meninggal, dan lebih dari dua kali memiliki penyakit kardiovaskular yang fatal.
Â
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Penelitian Lain
Para peneliti berpikir bahwa hubungan kebosanan-kematian mungkin telah terbentuk karena orang yang bosan lebih mungkin merasa tidak terpenuhi, tidak termotivasi, dan tidak bahagia, yang dapat menyebabkan perilaku tidak sehat seperti minum dan merokok berlebihan, makan berlebihan, dan penggunaan narkoba.
Kebiasaan itu, pada gilirannya, akan meningkatkan risiko stroke dan penyakit jantung. Keadaan kebosanan, tulis mereka, "hampir pasti merupakan proksi untuk faktor risiko lainnya."
Penelitian lain telah menghubungkan kebosanan dengan pengambilan risiko yang dapat membahayakan kesehatan manusia.
Peneliti kesehatan masyarakat di Baltimore menemukan bahwa, di antara pengguna narkoba di kota, mereka yang lebih bosan cenderung melaporkan gejala depresi dan terlibat dalam praktik seksual dan penggunaan jarum suntik yang berisiko.
Sementara itu, di Inggris, seorang psikolog dan insinyur sipil mensurvei pengendara dan menemukan bahwa pengemudi yang paling rentan terhadap kebosanan saat berada di jalan lebih cenderung terlibat dalam kebiasaan mengemudi yang menempatkan mereka pada risiko tinggi untuk kecelakaan.
Advertisement
Gangguan Mental Akibat Pandemi COVID-19
Data secara global menunjukkan banyaknya remaja berusia 10 hingga 19 tahun menderita gangguan kesehatan mental. Bahkan, hampir 46.000 remaja bunuh diri setiap tahunnya.
Juru bicara UNICEF, James Elder mengatakan sebagian besar kondisi ini tidak ditangani akibat stigma yang melekat pada gangguan kesehatan mental. Selain itu, kurangnya investasi dari pemerintah, karena hanya sekitar dua persen dari anggaran kesehatan pemerintah yang dialokasikan untuk pengeluaran kesehatan mental.
Elder menambahkan bahwa kesehatan mental anak memburuk saat rutinitas harinya berbeda, seperti tidak datang ke sekolah, tidak bersosialisasi dengan teman. Hal ini menjadi permasalahan yang besar terhadap mental anak di seluruh dunia.
"Jika Anda berasal dari negara yang tidak memiliki konektivitas dan tidak memiliki laptop, dan salah satu orangtua Anda hanya memiliki penghsilan $200 (sekitar Rp 2,9 juta) perbulan, maka tentu saja hal ini menjadi tekanan dan kecemasan yang menjadi sebuah risiko," ucap Elder.
UNICEF menegaskan, biaya untuk mengobati kesehatan mental sangat besar. London School of Economics menunjukkan hampir $390 miliar (sekitar Rp 27 juta) telah hilang setiap tahun akibat gangguan kesehatan mental pada kalangan anak muda.