Liputan6.com, Jakarta - Sri Lanka mengalami kebangkrutan. Pemerintah Sri Lanka telah mengumumkan tak dapat membayar semua utang luar negerinya senilai US$ 51 miliar atau Rp 732 triliun.
Untung sedikit mengatasai krisis ekonomi yang mendera, Pemerintah Sri Lanka meminta warganya yang berada di luar negeri untuk mengirim uang ke rumah. Uang kiriman itu dapat membantu membayar makanan dan bahan bakar yang sangat dibutuhkan di dalam negeri.
Negara kepulauan itu berada dalam cengkeraman krisis ekonomi terburuk sejak kemerdekaan pada 1948, dengan kekurangan barang-barang penting yang parah dan pemadaman listrik secara teratur menyebabkan kesulitan yang meluas, dikutip dari Hindustan Times, Kamis (14/4/2022).
Advertisement
Pihak berwenang kini tengah mengatasi kemarahan publik yang intens dan demonstrasi menuntut pengunduran diri pemerintah menjelang negosiasi untuk dana talangan dari IMF.
Gubernur bank sentral Nandalal Weerasinghe mengatakan, dia membutuhkan warga Sri Lanka di luar negeri untuk "mendukung negara pada saat yang genting ini dengan menyumbangkan devisa yang sangat dibutuhkan."
Seruannya datang sehari setelah pemerintah mengumumkan menangguhkan pembayaran semua utang luar negeri, yang akan membebaskan uang untuk mengisi kembali persediaan bensin, obat-obatan dan kebutuhan lainnya yang sedikit.
Weerasinghe mengatakan dia telah menyiapkan rekening bank untuk sumbangan di Amerika Serikat, Inggris dan Jerman dan berjanji kepada ekspatriat Sri Lanka uang itu akan dibelanjakan di tempat yang paling dibutuhkan.
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Kata Warga Sri Lanka di Luar Negeri
"Bank memastikan bahwa transfer mata uang asing tersebut akan digunakan hanya untuk impor kebutuhan pokok, termasuk makanan, bahan bakar dan obat-obatan," kata Weerasinghe dalam sebuah pernyataan.
Pengumuman gagal bayar utang luar negeri itu akan menghemat Sri Lanka sekitar $200 juta dalam pembayaran bunganya. Weerasinghe menambahkan, uang itu akan dialihkan untuk membayar impor penting.
Seruan Weerasinghe sejauh ini disambut dengan skeptisisme dari orang-orang Sri Lanka di luar negeri. "Kami tidak keberatan membantu, tetapi kami tidak dapat mempercayai pemerintah dengan uang tunai kami," kata seorang dokter Sri Lanka di Australia kepada AFP, yang meminta namanya tidak disebutkan.
Seorang insinyur perangkat lunak Sri Lanka di Kanada mengatakan dia tidak yakin bahwa uang itu akan dihabiskan untuk yang membutuhkan.
"Ini bisa berjalan dengan cara yang sama seperti dana tsunami," katanya kepada AFP, mengacu pada jutaan dolar yang diterima pulau itu sebagai bantuan setelah bencana Desember 2004, yang merenggut sedikitnya 31.000 jiwa di pulau itu.
Sebagian besar sumbangan uang asing yang dimaksudkan untuk para penyintas dikabarkan telah berakhir di kantong para politikus, termasuk Perdana Menteri Mahinda Rajapaksa saat ini, yang terpaksa mengembalikan dana bantuan tsunami yang dikreditkan ke rekening pribadinya.
Advertisement
Krisis Ekonomi Bola Salju
Krisis ekonomi yang seperti bola salju di Sri Lanka mulai terasa setelah pandemi COVID-19 melumpuhkan pendapatan vital dari pariwisata dan pengiriman uang. Pemerintah memberlakukan larangan impor yang luas untuk menghemat cadangan mata uang asing yang semakin menipis dan menggunakannya untuk membayar hutang yang sekarang telah gagal bayar.
Tetapi kelangkaan yang diakibatkannya telah memicu kebencian publik, dengan antrean sepanjang hari di seluruh pulau untuk bensin dan minyak tanah, yang terakhir digunakan untuk memasak kompor di rumah tangga yang lebih miskin. Sedikitnya delapan orang tewas saat menunggu antrean BBM sejak Februari lalu.
Para ekonom mengatakan krisis telah diperburuk oleh salah urus pemerintah, akumulasi pinjaman selama bertahun-tahun dan pemotongan pajak yang keliru. Massa telah berusaha menyerbu rumah para pemimpin pemerintah, dan pasukan keamanan telah membubarkan pengunjuk rasa dengan gas air mata dan peluru karet.
Ribuan orang berkemah di luar kantor tepi laut Presiden Gotabaya Rajapaksa di ibu kota Kolombo untuk protes hari kelima berturut-turut pada Rabu yang menyerukan agar dia mundur.
Presiden Sri Lanka Didesak Mundur
Ribuan warga Sri Lanka dan pemuka agama Kristen berunjuk rasa di Ibu Kota, Kolombo pada Sabtu 9 April. Mereka menganggap presiden di yang terjerat utang itu agar negara diri.
Para pengunjuk rasa, sambil membawa bendera dan poster, menyebut Presiden Gotabaya Rajapaksa dan pemerintahannya tidak menangani krisis utang.
Rajapaksa tetap menolak diri, meski sebagian besar anggota kabinetnya berhenti dan sebagian anggota parlemen yang setia.
Perkembangan itu telah mempersempit upayanya untuk berunding dengan para institusi pemberi kredit internasional.
Selama beberapa bulan, warga Sri Lanka mengantre untuk membeli bensin, gas, makanan dan obat-obatan.
Negara itu sedang menghadapi kebangkrutan, terjerat utang asing sebesar 25 miliar dolar atau lebih dari 359 triliun rupiah dalam lima tahun ke depan.
Advertisement