Liputan6.com, Vatikan - Vatikan menolak protes dari Ukraina karena memilih wanita Rusia untuk membawa salib di prosesi Jumat Agung. Padahal kabarnya, rencananya wanita Rusia dan Ukraina tersebut akan membawa salib bersama. Paus Fransiskus akan turut menyaksikan prosesi tersebut.
Dilaporkan AP News, Kamis (14/4/2022), Duta Besar Ukraina di Vatikan dan Uskup Agung Kiev kompak mengkritik pilihan Vatikan mengingat Rusia sedang melaksanakan invasi.
Advertisement
Baca Juga
Duta Besar Ukraina Andrii Yurash berkata dirinya khawatir terhadap pilihan tersebut. Ia juga berkata ada kemungkinan konsekuensi dari pemilihan tersebut.
Kedua wanita yang dipilih itu adalah suster yang bekerja di rumah sakit di Roma.
Merespons kritik tersebut, Reverend Antonio Spadaro dari Roma membela pilihan Vatikan. Kebersamaan dua suster itu disebut melambangkan perdamaian. Ia juga mengingatkan bahwa Paus Fransiskus bukanlah politisi.
"Ia adalah seorang pastur, bukan seorang politisi," ujar Spadaro yang merupakan orang dekat Paus Fransiskus.
Namun, Uskup Agung Kiev Sviatoslav Shevchuk berkata wacana ini tidak dipertimbangkan dengan baik terutama karena sedang ada serangan militer Rusia.
"Saya mempertimbangkan ide ini salah waktu dan ambigu," ujarnya.
Ketika dua suster itu membawa salib, doa meditasi yang dibaca akan berbunyi: "Kami ingin hidup kami kembali seperti sebelumnya. Mengapa semua hal ini? Kesalahan apa yang kami lakukan? Mengapa engkau menelantarkan rakyat kami?"
Meditasi itu ternyata memicu kekecewaan dari Uskup Agung Kiev, bahkan dianggap ofensif.
Paus Fransiskus sendiri telah secara tegas mengecam agresi Rusia terhadap Ukraina. Invasi itu disebutnya sebagai "outrage against God".
Â
Â
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Kisah Warga Ukraina Pulang Kampung Demi Selamatkan Orangtua Korban Invasi Rusia
Saat jutaan warga Ukraina lain meninggalkan negaranya di tengah invasi Rusia, seorang warga Ukraina yang lama menetap di Tokyo justru memilih pulang kampung. Sasha Kaverina meninggalkan kehidupan nyamannya di Jepang dan bergegas menyelamatkan orangtuanya setelah misil Rusia menghancurkan bangunan apartemen mereka.
Tujuan utama Kaverina adalah mengeluarkan orangtuanya dari Kharkiv, kota terbesar kedua di Timur Ukraina, ke tempat yang lebih aman di daerah barat. Ia yang juga mengorganisir penggalangan dana dan demo anti-perang di Jepang, ikut mendistribusikan obat-obatan, P3K, dan barang-barang bantuan lainnya.
Seperti banyak perantau Ukraina di seluruh dunia, perang di negerinya telah mengubah hidupnya. Dia mengaku tidak takut akan Rusia, tetapi ia lebih mengkhawatirkan aktivitas antiperang yang dijalaninya di Jepang, membahayakan hidup orangtua dan kerabatnya.Â
Kaverina takut Rusia akan menganiaya atau membunuh orang-orang yang dekat dengannya jika ia kembali ke Kharkiv. Kota itu sekarang berada dalam perlawanan sengit dan mungkin sudah dikendalikan Rusia.
"Banyak orang Ukraina khawatir jika Rusia menduduki (negara) kami), orang-orang pro-Ukraina akan terbunuh, seperti yang mereka lakukan di Bucha dan kota lain," kata dia dalam wawancara daring dari Chernivtsi, kota di barat daya Ukraina, dekat perbatasan dengan Rumania, tempat ia membawa serta kedua orangtuanya, dikutip dari AP.
Advertisement
Selamat dari Rudal Rusia
Orangtua Kaverina berhasil selamat setelah sebuah rudal Rusia merusak apartemen mereka yang terletak di lantai 8. Serangan militer itu memaksa mereka mengungsi ke rumah kerabat mereka di pinggir kota. Mereka lalu berkendara melintasi negeri menuju Chernivtsi.
Kaverina akhirnya berhasil menemui kedua orangtuanya di kota itu setelah hampir dua hari perjalanan dengan pesawat dan bus. Dia menyewa sebuah apartemen di Chernivtsi untuk orangtuanya, sementara dia melakukan pekerjaan jarak jauh untuk pekerjaannya di sebuah perusahaan IT di Jepang.Â
Sejak Rusia menginvasi Ukraina pada 24 Februari 2022, lebih dari empat juta warga Ukraina telah keluar dari negeri itu, dan jutaan lainnya telah dipindahkan ke kota lain di dalam negeri. Pejabat setempat mendesak warga mereka yang berada di timur Ukraina segera mengevakuasi diri ke arah barat.
Meski begitu, bukan berarti warga di barat Ukraina tak merasakan pengalaman mencekam. Keluarga di Chernivtsi kerap mendengar sirene peringatan serangan udara di malam hari, meski mereka tidak menghadapi bom langsung.
Sejumlah orang juga kerap pergi ke shelter setiap malam yang bahkan tempat itu mungkin tidak lagi aman, menurut Kaverina. Setiap kali pintu ditutup atau mereka mendengar langkah kaki, orangtuanya segera terbangun, jelas karena trauma yang dialami usai serangan rudal di apartemen mereka.
Ayahnya tidak bisa meninggalkan negerinya karena aturan hukum setempat, sedangkan ibunya belum bisa dibujuk untuk ikut Kaverina kembali ke Tokyo. Ia berencana kembali ke ibu kota Jepang untuk bekerja sekaligus menjadi sukarelawan membantu warga di Tanah Airnya.
Â
Dukungan Jepang
Kaverina yang sudah tinggal di Jepang lima tahun terakhir mengaku sangat terkejut dengan sikap cepat Jepang yang bersedia menampung warga Ukraina yang melarikan diri dari negaranya. Pasalnya, ia melihat selama ini kurangnya toleransi terhadap warga asing dan keberagaman di Jepang.
Sekitar 400 korban perang Ukraina tiba di Jepang, beberapa kota dan perusahaan menawarkan untuk menyediakan perumahan, pelajaran bahasa, dan pekerjaan bagi mereka. Rintangan terbesar bagi banyak orang Ukraina adalah mendapatkan tiket pesawat ke Jepang, katanya, karena mereka telah kehilangan pekerjaan, rumah, dan uang sejak invasi.
Jepang bergabung dengan Amerika Serikat dan negara ekonomi terkemuka lainnya dalam menjatuhkan sanksi terhadap Rusia dan mendukung Ukraina. Tokyo juga telah mengirim peralatan pertahanan tidak mematikan, seperti helm dan rompi antipeluru, ke Ukraina sebagai pengecualian untuk larangan transfer peralatan senjatanya ke negara-negara yang berkonflik.
Jepang juga dapat berkontribusi untuk bantuan bencana, termasuk mengirimkan peralatan konstruksi, kata Kaverina. Karena banyak orang meninggal di bawah reruntuhan saat menunggu penyelamatan, Kaverina mengatakan bahwa dia berencana untuk menghubungi Komatsu atau pembuat mesin konstruksi Jepang lainnya untuk meminta bantuan.
"Saya hanya seorang penduduk lama biasa di Jepang sampai sebulan yang lalu, tetapi apa yang terjadi tidak hanya mengubah kehidupan orang Ukraina (di dalam negeri) tetapi juga kehidupan orang Ukraina di luar negeri," katanya.
Advertisement