Sukses

Rusia Berhasil Rebut Kota Mariupol di Ukraina, Ini Reaksi Vladimir Putin

Kota Mariupol akhirnya jatuh ke tangan Rusia. Vladimir Putin berbinar.

Liputan6.com, Mariupol - Pemerintah Rusia mengklaim berhasil merebut kota Mariupol milik Ukraina. Kota itu disasar karena lokasinya yang strategis sebab bisa menjadi jalur bagi Rusia menuju wilayah Krimea yang mereka rebut sejak 2014. 

Sejak awal invasi, kondisi Mariupol digempur habis-habisan. Masjid Sultan Sulaiman juga tampak rusak akibat peperangan yang terjadi. Warga lokal pun kesulitan mengakses air dan listrik. 

Presiden Rusia Vladimir Putin menyambut gemilang perebutan kota Mariupol. Ia menyebutnya sebagai "pembebasan" dan akan memberi penghargaan ke para tentara yang merebut wilayah negara lain tersebut. 

"Saya ingin mereka semua tahu bahwa kami semua melihat mereka sebagai pahlawan. Inilah bagaimana seluruh rakyat Rusia melihat mereka," ujar Presiden Vladimir Putin, dikutip media pemerintah Rusia, TASS, Jumat (22/4/2022).

Kota Mariupol disebut telah dikuasai pasukan Rusia dan pasukan separatis Republik Rakyat Donetsk. Ada satu tempat yang belum dikuasai, yakni pabrik besi Azovstal yang menjadi benteng terakhir para nasionalis Ukraina.

Presiden Putin meminta agar ada blokade di pabrik tersebut hingga "lalat tak bisa masuk atau keluar". Para pejuang Ukraina yang berada di dalam pabrik juga diberikan tawaran untuk menyerah. 

Menteri Pertahanan Rusia Sergey Shoigu menyatakan ada 4.000 prajurit Ukraina yang terbunuh dalam pertempuran di Mariupol dan 1.500 lainnya menyerah. Namun, Shoigu tidak mengungkap ada berapa korban jiwa dari pihak Rusia. 

Rusia mengklaim telah mengevakuasi 142 ribu warga Mariupol. Menhan Rusia berkata siap untuk memastikan daerah itu tetap damai.

 

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

2 dari 4 halaman

Sekjen PBB Siap Temui Presiden Ukraina dan Rusia

Sekretaris Jenderal (Sekjen) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Antonio Guterres meminta para pemimpin Rusia dan Ukraina menerimanya di Moskow dan Kiev. Guterres akan menemui Presiden Rusia Vladimir Putin dan Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky untuk membahas langkah-langkah guna mewujudkan perdamaian kedua negara.

Juru bicara sekjen PBB, Stephane Dujarric dalam pernyataannya pada Rabu (20/4/) mengatakan bahwa surat terpisah telah dikirim pada Selasa 19 April sore waktu setempat kepada perwakilan tetap Rusia dan Ukraina untuk PBB/ Surat itu meminta Vladimir Putin untuk menerima Guterres di Moskow dan Volodymyr Zelensky untuk menerimanya di Kiev.

"Sekjen mengatakan bahwa pada saat berbahaya dan berkonsekuensi besar seperti ini, dia ingin membahas langkah-langkah mendesak guna mewujudkan perdamaian di Ukraina serta masa depan multilateralisme berdasarkan Piagam PBB dan hukum internasional," kata Dujarric.

"Dirinya menekankan bahwa baik Ukraina maupun Federasi Rusia merupakan anggota pendiri PBB dan selalu menjadi pendukung kuat organisasi ini," tambahnya.

Pejabat tertinggi PBB tersebut pada Selasa menyerukan gencatan senjata kemanusiaan selama empat hari di Ukraina untuk memungkinkan pembukaan koridor bantuan kemanusiaan selama Pekan Suci Kristen Ortodoks.

Guterres menyatakan, selama gencatan senjata yang diusulkan tersebut, warga sipil akan dievakuasi dari "wilayah-wilayah konfrontasi saat ini atau yang berpotensi" dan bantuan kemanusiaan akan dikirimkan ke daerah-daerah yang membutuhkan seperti Mariupol, Donetsk, Lugansk, dan Kherson.

3 dari 4 halaman

Oligarki Rusia Kecam Invasi Vladimir Putin ke Ukraina

Presiden Rusia Vladimir Putin menuai kecaman besar dari kalangan oligarki negaranya sendiri: Oleg Tinkov. Hartawan di sektor perbankan itu berani angkat suara melawan Vladimir Putin, meski di Rusia tindakan subversif terancam kena sanksi.

Oleg Tinkov berkata peperangan di Ukraina tidak memiliki tujuan apa-apa, namun rakyat tak bersalah tewas.

"Saya tidak melihat SATU pun keuntungan dari perang gila ini! Orang-orang tak bersalah dan tentara tewas," ujar Oleg Tinkov melalui Instagram, dikutip BBC, Kamis (21/4/2022).

Oleg Tinkov adalah miliarder yang kekayaannya tergerus akibat invasi Rusia. Forbes melaporkan ia kehilangan status miliarder pada 2022 karena sahamnya jatuh 90 persen lebih dan kekayaannya turun lebih dari US$ 5 miliar.

Ia merupakan pendiri dari bank digital Tinkoff. Nilai sahamnya juga jatuh di bursa London. Kekayaannya kini sekitar US$ 800 juta. Tinkov tak sendiri, kekayaan CEO Yandex  Arkady Volozh juga merosot usai invasi ke Ukraina terjadi.

Masalah di Pemerintahan Rusia

Tinkov juga terang-terangan berkata bahwa 90 persen warga Rusia tidak mendukung invasi, dan berkata 10 persen lainnya adalah "moron".

Ia juga menyebut negaranya "shitty" dan penuh nepotisme, penjilat, dan penurut. Hal-hal itu dinilai berdampak pada kualitas militer.

Terkait Presiden Vladimir Putin, Oleg Tinkov meminta tolong ke Barat agar Vladimir Putin diberikan jalan untuk "menyelamatkan mukanya" agar keluar dari situasi invasi ini. 

"Kepada 'kumpulan negara Barat' tolong berikan Mr Putin sebagai jalan keluar yang jelas untuk menyelamatkan wajahnya dan menghentikan pembantaian ini. Tolong jadilah lebih rasional dan manusiawi," ucap oligarki tersebut.

4 dari 4 halaman

5 Juta Warga Ukraina Mengungsi

Menurut Badan Pengungsi PBB (UNHCR), sebanyak lima juta warga Ukraina telah meninggalkan negara mereka dalam kurun waktu kurang dari dua bulan sejak pasukan Rusia memulai perang di negara tersebut.

Selain itu, sekitar tujuh juta orang terpaksa kehilangan tempat tinggal mereka di dalam negeri. 

Mengutip laporan VOA Indonesia, Kamis (20/4), mayoritas pengungsi Ukraina mencari perlindungan di negara-negara tetangganya di Eropa, di mana mereka mendapat perlindungan sementara dan berbagai macam layanan.

Warga Ukraina kini merupakan kelompok pengungsi kedua terbesar di dunia, setelah pengungsi Suriah yang jumlahnya mencapai 6,8 juta. Total populasi pengungsi di dunia kini mencapai hampir 32 juta orang.

Perang Rusia Ukraina juga telah menyebabkan sekitar 7,1 juta warga Ukraina terpaksa kehilangan tempat tinggal mereka di negaranya. Jumlah tersebut merupakan jumlah populasi terbesar di dunia yang harus kehilangan tempat tinggal mereka sendiri akibat konflik yang melanda.

"Perang di Ukraina telah memicu salah satu krisis perpindahan dan kemanusiaan yang tumbuh paling cepat," demikian kata Babar Baloch, juru bicara UNHCR kepada VOA.

Untuk memitigasi krisis pengungsi ini, UNHCR telah meminta dana sebesar $550,6 juta pada 1 Maret lalu.

Badan itu mengatakan sebuah penggalangan dana baru, lebih tinggi dari jumla yang diminta sebelumnya akan dilakukan segera guna menanggapi krisis yang semakin membesar.

"Kami akan terus memperluas bantuan penyelamatan nyawa kami kepada pengungsi-pengungsi di dalam negeri di seluruh Ukraina, khususnya di wilayah tengah dan timur, di mana bencana kemanusiaan yang kejam sedang berlangsung," kata Kelly Clements, deputi komisioner tinggi di UNHCR kepada Dewan Keamanan PBB pada Selasa 19 April.