Liputan6.com, Jakarta - Rusia mendapatkan dukungan yang luas dari netizen Indonesia. Meski Rusia sedang menginvasi negara lain, banyak netizen semangat mendukung Rusia dan menuliskan "ura" di media sosial.Â
Ternyata, pakar big data menemukan penyebaran propaganda yang dilakukan Rusia di Indonesia.Â
Advertisement
Baca Juga
Dilaporkan VOA News, Selasa (26/4/2022), di kawasan negara-negara Barat, infowars atau perang informasi berhasil secara efektif menangkis penyebaran berita propaganda dan berita palsu berasal dari Rusia. Namun, hal serupa tak terlihat di Indonesia.
Dudy Rudianto dari Evello, platform pemantauan big data di Jakarta, mengungkap bahwa sebagian besar netizen Indonesia, di TikTok 95 persen, di Instagram 73 persen, menyatakan dukungan terhadap Rusia.
Untuk memperoleh pemahaman yang lebih baik tentang propaganda Rusia di media sosial ini, VOA menghubungi Ivana Stradner, seorang penasihat di Foundation for Defense of Democracies (FDD) dan peneliti di American Enterprise Institute.
Menurut Stradner, Rusia sudah memanfaatkan informasi sebagai senjata untuk mempengaruhi pemikiran dan sikap orang selama puluhan tahun.
"Rusia selalu memanfaatkan, mereka tidak perlu menciptakan sentimen anti-Barat lagi. Yang mereka lakukan adalah memanfaatkan polarisasi yang sudah terbentuk di dalam sebuah negara, dan mereka amplifikasi hal itu baik di spektrum ekstrim kanan maupun kiri, dan mereka manipulasikan sentimen-sentimen itu, serta menggunakannya sebagai senjata. Jadi saya sama sekali tidak kaget dengan apa yang terjadi di Indonesia," tukasnya.
Untuk tujuan ini, Rusia menciptakan lembaga-lembaga informasi yang khusus diperuntukkan melancarkan info wars. Kembali Ivana Stradner.
"Satu entitas yang pasti harus Anda tinjau adalah Internet Research Agency yang berbasis di St. Petersburgh, ini disebut troll-factory atau pabrik yang mempengaruhi opini. Mereka melancarkan kampanye-kampanye disinformasi. Dan sudah tentu juga ada GRU, atau intel Rusia yang terlibat dalam perang informasi Rusia," tambahnya.
Â
* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Akibat Sikap Netral
Untuk memahami situasi di Indonesia, VOA menghubungi Firman Kurniawan, pengajar program pasca-sarjana ilmu komunikasi FISIP UI.
Dia berpendapat ada dua kondisi yang membuat propaganda Rusia di Indonesia berhasil. Pertama adalah sikap netral atau tidak berpihak dari pemerintah Indonesia dan ini ditangkap oleh masyarakat. Kedua, krisis Ukraina oleh masyarakat dipersepsikan sebagai konflik Rusia dan Amerika, bukan Rusia dan Ukraina.
"Amerika yang sering dianggap sering menekan kelompok Islam yang menjadi mayoritas dari masyarakat Indonesia itu dianggap common enemy (musuh bersama) sehingga di dalam hal ini, siapapun musuhnya Amerika adalah pahlawan bagi sekelompok orang. Hal tersebut menjadi mainstreaming (menjadi pola pikir yang umum) cara berpikirnya masyarakat di media sosial, akhirnya mereka tertular bahwa Rusialah yang harus kita pegang sebagai pahlawan," ujar Firman.Â
Ditambahkannya, bermodalkan kedua kondisi tadi, Rusia tinggal menuai hasilnya untuk membentuk opini pro-Rusia di Indonesia.
Juga kurangnya pemahaman para netizen dengan situasi geo-politik seputar konflik ini ikut menyumbang pada ketimpangan informasi di dunia maya Indonesia.
"Pemahaman lebih dari 70% masyarakat Indonesia tentang apa yang sebenarnya terjadi di Rusia dan Ukraina, mereka itu pasti tidak tahu persis. Jadi apa yang menyebabkan invasi militer Rusia ke Ukraina, masyarakat Indonesia saya yakin sebagian besar tidak memahami secara detail alasan maupun sejarahnya," ulasnya.
Sementara, di dunia Barat usaha disinformasi Rusia berhasil dipatahkan lewat pengawasan konten dunia maya secara ketat, upaya pencerahan secara lebih intensif masih dibutuhkan di Indonesia, lewat pemberitaan yang kredibel serta lebih sering menghadirkan pakar hubungan internasional di forum-forum media Indonesia.
Advertisement
Kanada Sebut G20 Tak Berfungsi Selama Masih Ada Rusia
Ada lagi masalah G20 dan Rusia. Sebelumnya dilaporkan, Menteri Keuangan Kanada, Jumat (22/4), mengatakan kelompok 20 negara arus ekonomi utama tidak dapat berfungsi secara efektif selama Rusia tetap menjadi anggota.
Selama sepekan, perselisihan atas kehadiran Rusia pada pertemuan sangat mengemuka. Pejabat Amerika Serikat, Kanada, Inggris, dan negara-negara Barat lainnya melakukan ‘walkout’ selama tiga hari berturut-turut, setiap kali pejabat Rusia berbicara.
Para menteri keuangan G20 dan gubernur bank sentral yang bertemu di Washington pada hari Rabu (20/4), gagal menyepakati komunike tradisional yang menguraikan tujuan kebijakan ekonomi, karena Rusia memblokir protes yang mengutuk invasinya ke Ukraina.
Komite pengarah IMF dan Komite Pembangunan Bank Dunia-IMF juga gagal mengeluarkan pernyataan bersama.
"G20 tidak dapat berfungsi secara efektif dengan (adanya) Rusia di meja (perundingan ini)," kata Chrystia Freeland, Menteri Keuangan Kanada, pada konferensi pers bersama Menteri Keuangan Ukraina Serhiy Marchenko di Washington.
"Rusia tidak memiliki tempat di meja negara-negara yang telah berkumpul untuk menjaga kemakmuran ekonomi global," kata Freeland, menambahkan Rusia telah melanggar aturan internasional dengan melakukan invasi ke Ukraina selatan. “Anda tidak bisa menjadi pemburu dan penjaga hutan pada saat yang bersamaan."
Ketegangan telah mempertanyakan efektivitas G20, yang mencakup negara-negara Barat yang menuduh Moskow melakukan kejahatan perang di Ukraina, serta China, India, Indonesia, dan Afrika Selatan, yang belum bergabung dengan sanksi yang dipimpin Barat terhadap Rusia atas konflik tersebut.
Â
Walk Out
Delegasi-delegasi dari Amerika Serikat, Inggris, dan Kanada memutuskan walk out dari acara G20 di Washington DC saat delegasi dari Rusia angkat bicara. Menteri Keuangan AS Janet Yellen juga ikut dalam aksi ini.Â
Deputi Perdana Menteri Kanada, Chrystia Freeland, membagikan foto di akun Twitternya ketika para delegasi melakukan walk out. Mantan pemimpin IMF Christine Lagarde juga ikut melakukan hal tersebut.Â
"Demokrasi-demokrasi di dunia tidak akan diam saja di hadapan agresi Rusia yang berlanjut dan kejahatan-kejahatan perangnya. Hari ini Kanada dan sejumlah mitra-mitra demokrasi kami walk out dari pleno G20 ketika Rusia mencoba untuk intervensi," tulis Freeland, dikutip Kamis (21/4).
Kanselir Inggris Rishi Sunak turut bicara di Twitter bahwa tujuan dari walk out adalah mengecam Rusia yang menyerang Ukraina.
"Kita bersatu dalam pengecaman kita pada perang Rusia melawan Ukraina dan akan mendorong koordinasi internasional yang lebih kuat untuk menghukum Rusia," ujarnya.
Pemimpin IMF Kristalina Georgieva berkata perlu kerja sama untuk menyelesaikan masalah-masalah dunia, termasuk perang di Ukraina. Namun, ia merasa resah karena kembali menyaksikan peperangan di Eropa.
"Saya bisa bicara secara jujur bahwa saya tidak berpikir saya akan hidup saat peperangan lain di Eropa pada skala yang terjadi saat ini," ujarnya.
Sebelumnya, negara-negara Barat memang sudah memberi ancaman untuk walk out. Janet Yellen malah sempat ingin memboikot forum menteri keuangan dan gubernur bank sentral di G20 tersebut, namun berubah pikiran.Â
Advertisement