, Berlin - Warga Indonesia Fransiska Fischerauer membantu sejumlah pengungsi Ukraina di Jerman.
"Memprihatinkan sekali kondisinya. Mereka terlihat sedih, kecewa, lelah. Mereka benar-benar membutuhkan bantuan, baik itu fisik maupun mental," demikian diceritakan warga Indonesia Fransiska Fischerauer yang turut membantu para pengungsi Ukraina di Jerman seperti dikutip dari DW Indonesia, Rabu (27/4/2022).
Baca Juga
Fransiska mengatakan mereka umumnya merasa khawatir dengan orang terkasih yang ditinggalkan.
Advertisement
"Mereka diselimuti kekhawatiran karena harus meninggalkan suaminya. Suami-suami mereka harus berjuang di Ukraina, di negaranya. Lalu juga harus meninggalkan keluarga, seperi nenek dan kakek yang tidak bisa ikut ke Jerman atau ikut ke negara lain, Polandia, karena kondisi mereka yang tidak memungkinkan, terlalu tua atau sakit."
Fransiska menuturkan bahwa para pengungsi terlihat dalam kondisi seadanya, meski ada sebagian yang sempat membawa sejumlah barang bawaan.
"Ada yang membawa koper, baju-baju. Ada juga yang hanya dengan membawa badan saja, yang penting menyelamatkan anak-anak mereka. Kebanyakan mereka perempuan. Jadi istri-istri ini, perempuan, atau remaja perempuan, membawa adik-adik dan anak-anaknya untuk mengungsi ke negara-negara yang lebih aman. Jadi, benar-benar menyedihkan kondisi mereka, memprihatinkan," ungkap Fransiska.
Membantu Tanpa Pandang Bulu
Selain Fransiska, beberapa perempuan asal Indonesia di Jerman juga banyak yang terlibat dalam bantuan sosial. Agnes Winarti misalnya. Saat gelombang pengungsi Suriah memasuki Jerman, ia bahkan menyediakan rumahnya untuk ditampungi anak-anak pengungsi.
"Orang tuanya ada yang meninggal (ID): Diaspora Indones... di perang, jadi butuh pertolongan dan kasih sayang. Kami mencarikan rumah-rumah di sini yang bisa menampung mereka," ujar Agnes. Saat itu kesulitannya adalah pengungsi remaja banyak yang mengalami stres.
"Di situlah kita juga mencari bantuan psikolog untuk membantu mereka. Kita harus mengerti beratnya pengalaman yang mereka alami," ujar Agnes yang mengaku juga mengalami kesulitan beradaptasi ketika tiba di Jerman tahun 2000."
Menjadi migran yang datang dari Indonesia ke Jerman, juga membuat Fransiska tergerak menolong sesama migran. "Kita di negara asing sendirian, butuh bantuan. Kamu butuh komunikasi. Kamu butuh seseorang untuk bersandar. Kamu butuh pakaian karena di sini, di Jerman dingin. Tidak tergantung suku, agama, ras, atau pandangan politiknya apa, semuanya kami bantu di sini," jelas ibu rumah tangga ini.
"Saya pun tidak sendiri, jadi beberapa orang juga yang berjiwa sosial seperti saya juga berpikiran sama dan mari kita membantu orang-orang yang membutuhkan bantuan terlepas dari agama, suku, ras, politik. Kita bantu semua orang yang kesusahan. Manusia tetap manusia, terlepas dari agama, suku, politik. Di mata kita itu mereka manusia yang membutuhkan bantuan,” pungkasnya.
* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Pertama Kali Terjun Bantu Pengungsi Ukraina dari Magang Kampus
Fransiska mengaku bahwa awal mula ia membantu pengungsi Ukraina adalah karena sempat magang kerja di Kampus HAW, Hamburg. Di sana ia waktu itu mengorganisir dengan cara melalui situs dan media sosial.
"Dengan bantuan teman saya, Martha, kami membuka informasi dalam tiga bahasa: Bahasa Jerman, Inggris, dan Ukraina. Karena ada juga pengungsi-pengungsi yang tinggal di Ukraina, tetapi mereka tidak bisa berbahasa Ukraina. Karena ada juga, misalnya, dari Kedutaan Besar, atau orang-orang asing yang tinggal di Ukraina. Jadi, kita sengaja memakai bahasa Inggris juga. Jadi, dalam tiga bahasa," ungkapnya. Lalu, mereka bisa mendaftarkan diri.
Dari situ Fransiska dan kawan-kawannya tahu jumlah mereka dan kebutuhannya, "Supaya bantuannya tepat Lalu, saya juga ada posting di Facebook, media sosial lainnya. Di Instagram saya juga kirim ke orang-orang, seperti biasa dengan tiga bahasa ini: Inggris, Jerman, dan bahasa Ukraina. Supaya lebih tepat sasaran untuk orang-orang yang ingin membantu dan orang-orang yang membutuhkan bantuan,” tambahnya.
Advertisement
Banyak WNI Membantu
Banyak orang Indonesia yang tinggal di Jerman turut membantu, namun sebagian diaspora Indonesia tidak tahu bagaimana caranya.”Jadi dengan menghubungi saya, mereka lebih tepat sasaran, bisa mengirim barang ke saya atau langsung ke penampungan-penampungan. Saya beri alamat-alamatnya,” kata Fransiska.
Fransiska mengakui banyaknya tantangan dalam menyalurkan bantuan.
"Kesulitannya dalam bahasa juga. Hanya beberapa orang yang bisa menerjemahkan. Jadi, ada juga yang bisa bahasa Inggris, mereka lalu menerjemahkan," ujarnya.
Kemudian juga dalam pengiriman barang, "Ada barang-barang tertentu yang tidak boleh dikirim lagi, seperti selimut dan baju karena sudah terlalu banyak," katanya lebih lanjut.
Banyak kebiasaan orang Jerman, yang ingin mengosongkan lemari baju mereka, demikian menurut Fransiska."Jadi sekalian. Mereka terkadang berpikir: daripada saya mengeluarkan baju-baju yang tidak muat lagi, tidak saya perlukan lagi, tidak pakai, lebih baik saya kasih ke pengungsi. Padahal sebenarnya ini sudah banyak sekali. Mereka lebih membutuhkan makanan, mungkin selimut tidak apa-apa, obat-obatan mereka butuh," tandas perempuan yang bermukim di Hamburg ini.
Bukan Pertama Kali Kerja Sosial
Bukan pertama kalinya Fransiska ikut dalam kerja sosial. Dulu ia ikut organisasi relawan yang membantu pengungsi dari Timur Tengah.
"Kebanyakan mereka tidak mempunyai baju-baju hangat karena di negaranya panas. Jadi, lebih dibutuhkan yang lebih hangat. Dan juga sepatu, ukuran mereka lebih kecil daripada orang-orang Jerman. Jadi, harus tepat sasaran, bukan sepatu besar-besar dikirim lalu tidak muat ke pengungsi," tuturnya mengingatkan.
"Saya juga pernah membantu di penampungan anak-anak pengungsi dari Timur Tengah. Timur Tengah itu banyak sekali, ada Suriah, ada Afganistan juga, ada pengungsi dari Afrika Utara juga. Dan mereka ini datang ke sini benar-benar tidak bisa bahasanya sama sekali. Mereka itu mempunyai huruf yang alfabetnya berbeda dengan latin. Jadi, mereka benar-benar harus belajar ‘abcd' lagi."
"Dan saya kebetulan terlibat dengan anak-anak imigran yang datang ke Jerman dan harus mengajarkan mereka menulis dengan huruf latin, mengajarkan mereka bahasa Jerman dan bahasa Inggris juga karena hanya sedikit juga yang datang ke sini yang bisa berbahasa Inggris," ungkap Fransiska.
Advertisement