Sukses

Wamenlu RI Khawatir Skenario Buruk Perang Ukraina Telah Muncul

Wamenlu RI Mahendra Siregar angkat bicara tentang ancaman perang Ukraina.

Liputan6.com, Jakarta - Wakil Menteri Luar Negeri Indonesia, Mahendra Siregar angkat bicara tentang kekhawatirannya mengenai isu geopolitik yang berkembang di benua Eropa. Wamenlu mulai khawatir bahwa fase Perang Ukraina mulai masuk ke skenario yang semakin buruk. 

"Pada situasi perang dan ketegangan geopolitik, saya berpikir kita baru mulai melihat kemungkinan skenario yang memburuk yang akan datang bersama hal tersebut," ujar Mahendra Siregar pada acara CSIS Global Dialogue, G20 Indonesia: Windows for Recovering Together and Stronger, Rabu (27/4/2022). 

Pada pertengahan April 2022, Bank Dunia juga baru saja merilis laporan terbaru mengenai dampak perang di Ukraina terhadap perekonomian global. Bank Dunia menyorot tiga ancaman, pandemi COVID-19, krisis iklim, dan kini ada perang Ukraina. Negara-negara berkembang di luar Eropa juga terancam kena dampak negatif akibat naiknya harga-harga.

Sesuai dengan slogan G20 Indonesia, Recover Together, Recover Stronger, Wamenlu meminta agar kerja sama internasional terus dijalin untuk melewati masa sulit ini. Kerja sama internasional dinilai berhasil membuat dunia menghadapi pandemi COVID-19.

"Sangat jelas bahwa kooperasi dan kolaborasi internasional untuk menghadapi tantangan-tantangan global merupakan suatu hal yang wajib," tegas Wamenlu RI.

Meski demikian, Mahendra yang dulunya adalah duta besar Amerika Serikat juga melihat adanya isu kepercayaan antara negara-negara ekonomi besar. Alhasil, situasi jadi makin sulit.

"Level kepercayaan terutama antara kekuatan ekonomi besar menjadi tantangan tersendiri. Ini adalah realita lain yang menambah kesulitan," ujar Wamenlu Mahendra Siregar.

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

2 dari 4 halaman

Bank Dunia Sorot Perang Ukraina

Bank Dunia merilis laporan mengenai dampak perang di Ukraina terhadap ekonomi global. Invasi yang dilancarkan Rusia kepada Ukraina ternyata juga merugikan negara-negara berkembang, apalagi di tengah pandemi COVID-19 dan adanya ancaman perubahan iklim.

Dampak invasi tak hanya dirasakan Ukraina dan kawasan Eropa, tetapi bisa merambat ke negara-negara berkembang karena lonjakan harga komoditas. Ancaman kelaparan pun semakin parah.  

"Negara-negara berkembang menghadapi beragam krisis yang tumpang tindih, termasuk pandemi, naiknya inflasi, invasi Rusia ke Ukraina, ketidakseimbangan makroekonomi yang besar, dan kurangnya pasokan energi dan makanan. Ini membuat kemunduran dalam pengurangan kemiskinan, pendidikan, kesehatan, dan kesetaraan gender," ujar Presiden Grup Bank Dunia David Malpass dalam pernyataan di situs World Bank, dikutip Selasa (26/4).

Pada laporan Bank Dunia tentang dampak perang di Ukraina, dijelaskan bahwa perang di Ukraina memprovokasi terjadinya krisis dunia dengan "dampak mengerikan" kepada manusia dan konsekuensi ekonomi.

Dampak perang disebut berbeda-beda di tiap negara, namun yang jelas ada dampak berupa naiknya impor bahan bakar. Bank Dunia menyorot perang di Ukraina telah memicu naiknya harga makanan dan bahan bakar di negara-negara berkembang (emerging market and developing economies atau EMDES). Keluarga-keluarga miskin dikhawatirkan terdampak.

3 dari 4 halaman

Ruang Fiskal Makin Sempit

Bank Dunia mencatat bahwa Rusia adalah eksportir gas terbesar di dunia dan Ukraina eksportir besar pada komoditas seed oil. Kedua negara juga eksportir gandum yang signifikan. Perang dan sanksi berperang dalam meningkatkannya harga komoditas-komoditas tersebut.

Ada pula masalah fiskal yang berpotensi terjadi mengingat makin sempitnya ruang fiskal bagi bendahara negara untuk bermanuver.

"Jika terus berlanjut, perang bisa memicu akselerasi keluarnya modal dan biaya pendanaan yang lebih tinggi bagi negara-negara berkembang, sehingga menimbulkan stres fiskal dan finansial yang bertambah," tulis Bank Dunia.

"Konflik ini mengikis kepercayaan global, melemahkan pertumbuhan, menambah stres fiskal dan finansial, dan memperburuk masalah kekurangan makanan dan nutrisi," tulis Bank Dunia.

Selain itu, efek gabungan pandemi COVID-19, perubahan iklim, dan perang dikhawatirkan bisa menambah kelaparan, malnutrisi, dan kurangnya makanan bagi jutaan orang di seluruh dunia.

Para pembuat kebijakan pun akan kesulitan sebab ruang fiskal semakin terbatas, sehingga dikhawatirkan akan mengambil kebijakan-kebijakan yang sulit. Alhasil, agenda iklim akan terabaikan.

4 dari 4 halaman

Negara G20 Ramai-ramai Komitmen Dukung Negara Berpenghasilan Rendah

Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mengatakan, arsitektur keuangan internasional menjadi salah satu agenda yang dibahas dalam pertemuan kedua IMF-World Bank Group (WBG) 2022 dan 2nd Finance Ministers and Central Bank Governors (FMCBG).

Dilansir dari laman Kemenkeu.go.id, Jumat (22/4/2022) dalam pertemuan itu, anggota G20 menegaskan komitmennya untuk mendukung negara-negara berpenghasilan rendah dan rentan, terutama mereka yang berisiko mengalami kesulitan utang.

Di sisi lain, negara anggota G20 juga menyambut baik pembentukan Resilience and Sustainability Trust (RST) dan mendorong lebih lanjut pemenuhan ambisi global sebesar USD 100 miliar dari kontribusi sukarela untuk negara-negara yang membutuhkan.

Dengan situasi saat ini, para anggota mengakui peran penting Bank Pembangunan Multilateral (MDB) untuk mendukung pembiayaan pembangunan di negara-negara yang rentan dan dalam meningkatkan partisipasi sektor swasta.

Selain itu, anggota G20 juga berbagi pandangan tentang langkah ke depan untuk meningkatkan ketahanan dan mendukung pemulihan volatilitas aliran modal, serta menegaskan kembali komitmen untuk penguatan dan efektivitas Jaring Pengaman Keuangan Global dengan meletakkan IMF sebagai pusatnya, kata Kemenkeu.

Kemenkeu juga mengungkapkan, G20 akan melanjutkan proses reformasi tata kelola IMF melalui Tinjauan Umum Kuota ke-16 selambat-lambatnya 15 Desember 2023.

G20 juga membahas kemajuan dari pelaksanaan Kerangka Kerja Bersama G20 tentang perlakuan utang, dan langkah-langkah selanjutnya untuk memastikan implementasi yang lebih tepat waktu, teratur, dan terkoordinasi serta dapat diprediksi.Â