Sukses

Bappenas Ingatkan Perang Ukraina Ikut Ancam Ekonomi Indonesia

Bappenas memperingatkan bahwa invasi Rusia ke Ukraina bisa memberi dampak buruk ke ekonomi Indonesia.

Liputan6.com, Jakarta - Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) membunyikan alarm di G20 terkait dampak angka panjang perang di Ukraina. Invasi yang dilakukan Rusia bisa mengancam pertumbuhan ekonomi Indonesia yang masih berusaha pulih dari COVID-19. 

Pada acara 2022 CSIS Global Dialogue, Deputi Bidang Ekonomi di Bappenas Amalia Widyasanti memaparkan laporan terkait dampak perang di Ukraina terhadap Indonesia. Beberapa faktor yang disorot adalah sanksi ekonomi dan masalah suplai gas dari Rusia.

"Jika berkepanjangan, krisis terkait Rusia-Ukraina bisa menyebabkan berkurangnya pertumbuhan ekonomi Indonesia dan perlambatan," ujar Amalia dalam acara bertajuk G20 Indonesia: Windows for Recovering Together and Stronger, Kamis (28/4/2022). 

Kondisi itu lantas bisa berdampak pada target pertumbuhan ekonomi Indonesia yang ingin tumbuh di atas 5 persen pada tahun ini. 

Berdasarkan data penelitian bersama Oxford Economics, dampak perang bisa memperlambat ekonomi hingga 0,1 persen di 2022, lalu makin berkurang jadi 0,29 persen di 2023 bagi Indonesia. 

Rusia pun ikut rugi. Diprediksi ekonomi negara itu melambat hingga minus 7,10 persen pada 2023. Asumsi yang dipaparkan Bappenas adalah konflik antara Rusia dan Barat diprediksi semakin tereskalasi karena perang yang berkepanjangan. 

Panelis lain yang hadir dari Asia Pacific Research and Training Network (ARTNet) menyebut bahwa ada kemungkinan ekonomi bisa terbantu pulih berkat sektor travel dan pariwisata yang semakin terbuka. Hal itu juga tak terlepas dari program vaksinasi COVID-19. 

"Harapannya, Asia tidak akan secara negatif terdampak perang," ujar Mia Mikic, penasihat di ARTNet.

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

2 dari 4 halaman

Kekhawatiran Wamenlu RI

Sehari sebelumnya, Wakil Menteri Luar Negeri Indonesia, Mahendra Siregar angkat bicara tentang kekhawatirannya mengenai isu geopolitik yang berkembang di benua Eropa. Wamenlu mulai khawatir bahwa fase Perang Ukraina mulai masuk ke skenario yang semakin buruk. 

"Pada situasi perang dan ketegangan geopolitik, saya berpikir kita baru mulai melihat kemungkinan skenario yang memburuk yang akan datang bersama hal tersebut," ujar Mahendra Siregar pada acara CSIS Global Dialogue, Rabu (27/4/). 

Pada pertengahan April 2022, Bank Dunia juga baru saja merilis laporan terbaru mengenai dampak perang di Ukraina terhadap perekonomian global. Bank Dunia menyorot tiga ancaman, pandemi COVID-19, krisis iklim, dan kini ada perang Ukraina. Negara-negara berkembang di luar Eropa juga terancam kena dampak negatif akibat naiknya harga-harga.

Sesuai dengan slogan G20 Indonesia, Recover Together, Recover Stronger, Wamenlu meminta agar kerja sama internasional terus dijalin untuk melewati masa sulit ini. Kerja sama internasional dinilai berhasil membuat dunia menghadapi pandemi COVID-19.

"Sangat jelas bahwa kooperasi dan kolaborasi internasional untuk menghadapi tantangan-tantangan global merupakan suatu hal yang wajib," tegas Wamenlu RI.

Meski demikian, Mahendra yang dulunya adalah duta besar Amerika Serikat juga melihat adanya isu kepercayaan antara negara-negara ekonomi besar. Alhasil, situasi jadi makin sulit.

"Level kepercayaan terutama antara kekuatan ekonomi besar menjadi tantangan tersendiri. Ini adalah realita lain yang menambah kesulitan," ujar Wamenlu Mahendra Siregar.

3 dari 4 halaman

Bank Dunia Sorot Perang Ukraina

Bank Dunia merilis laporan mengenai dampak perang di Ukraina terhadap ekonomi global. Invasi yang dilancarkan Rusia kepada Ukraina ternyata juga merugikan negara-negara berkembang, apalagi di tengah pandemi COVID-19 dan adanya ancaman perubahan iklim.

Dampak invasi tak hanya dirasakan Ukraina dan kawasan Eropa, tetapi bisa merambat ke negara-negara berkembang karena lonjakan harga komoditas. Ancaman kelaparan pun semakin parah.  

"Negara-negara berkembang menghadapi beragam krisis yang tumpang tindih, termasuk pandemi, naiknya inflasi, invasi Rusia ke Ukraina, ketidakseimbangan makroekonomi yang besar, dan kurangnya pasokan energi dan makanan. Ini membuat kemunduran dalam pengurangan kemiskinan, pendidikan, kesehatan, dan kesetaraan gender," ujar Presiden Grup Bank Dunia David Malpass dalam pernyataan di situs World Bank, dikutip Selasa (26/4).

Pada laporan Bank Dunia tentang dampak perang di Ukraina, dijelaskan bahwa perang di Ukraina memprovokasi terjadinya krisis dunia dengan "dampak mengerikan" kepada manusia dan konsekuensi ekonomi.

Dampak perang disebut berbeda-beda di tiap negara, namun yang jelas ada dampak berupa naiknya impor bahan bakar. Bank Dunia menyorot perang di Ukraina telah memicu naiknya harga makanan dan bahan bakar di negara-negara berkembang (emerging market and developing economies atau EMDES). Keluarga-keluarga miskin dikhawatirkan terdampak.

4 dari 4 halaman

Ruang Fiskal Makin Sempit

Bank Dunia mencatat bahwa Rusia adalah eksportir gas terbesar di dunia dan Ukraina eksportir besar pada komoditas seed oil. Kedua negara juga eksportir gandum yang signifikan. Perang dan sanksi berperang dalam meningkatkannya harga komoditas-komoditas tersebut.

Ada pula masalah fiskal yang berpotensi terjadi mengingat makin sempitnya ruang fiskal bagi bendahara negara untuk bermanuver.

"Jika terus berlanjut, perang bisa memicu akselerasi keluarnya modal dan biaya pendanaan yang lebih tinggi bagi negara-negara berkembang, sehingga menimbulkan stres fiskal dan finansial yang bertambah," tulis Bank Dunia.

"Konflik ini mengikis kepercayaan global, melemahkan pertumbuhan, menambah stres fiskal dan finansial, dan memperburuk masalah kekurangan makanan dan nutrisi," tulis Bank Dunia.

Selain itu, efek gabungan pandemi COVID-19, perubahan iklim, dan perang dikhawatirkan bisa menambah kelaparan, malnutrisi, dan kurangnya makanan bagi jutaan orang di seluruh dunia.

Para pembuat kebijakan pun akan kesulitan sebab ruang fiskal semakin terbatas, sehingga dikhawatirkan akan mengambil kebijakan-kebijakan yang sulit. Alhasil, agenda iklim akan terabaikan.