, Riyadh - Presiden Recep Tayyip Erdogan bertolak ke Riyadh pada Kamis (28/4) untuk kunjungan selama dua hari. Lawatan itu dilatari keputusan Turki mengembalikan kasus pembunuhan jurnalis Jamal Khashoggi kepada Arab Saudi.
Perseteruan antara Arab Saudi dan Turki semakin meredup bersamaan dengan kunjungan Presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan, ke Riyadh, Kamis (28/4). Agenda pembicaraan dalam lawatan tersebut mencakup dua isu utama, yakni ekonomi dan keamanan, lapor Reuters.
Advertisement
Baca Juga
Sejak tahun lalu, Ankara diwartakan mulai giat melancarkan lobi diplomatik untuk memulihkan hubungannya dengan rival regional di Timur Tengah, yakni Mesir, Uni Emirat Arab dan Arab Saudi, menyusul tahun-tahun penuh antagonisme seputar Musim Semi Arab 2011.
Sejak Revolusi 30 Juni di Mesir, Turki dicurigai menjadi pusat pergerakan Ikhwanul Muslimin, termasuk untuk merencanakan penggulingan junta militer di Mesir. Pun negara-negara Teluk sejak lama memandang gerakan para Ikhwan sebagai ancaman politik.
Keretakan kian melebar ketika Arab Saudi menggalang blokade terhadap Qatar, karena dituduh terlalu dekat dengan Iran. Pada Juli 2017, Erdogan melawat ke Riyadh untuk melobi pencabutan blokade.
Permintaan itu baru diamini Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Mesir dan Baharain awal tahun lalu, yang akhirnya membuka jalan bagi rekonsiliasi.
Bulan Februari silam, kunjungan Erdogan ke Dubai mendapat sambutan meriah tuan rumah. Fasad menara Burj Khalifa dipoles memancarkan bendera Turki berukuran raksasa. Sementara lagu nasional Turki berkumandang di pusat kota.
Â
**Pantau arus mudik dan balik Lebaran 2022 melalui CCTV Kemenhub dari berbagai titik secara realtime di tautan ini
Ekonomi mendahului hak asasi
Awal April lalu, pengadilan Turki mengabulkan permintaan kejaksaan untuk mengembalikan kasus dakwaan terhadap 26 tersangka pelaku pembunuhan jurnalis Jamal Khashoggi kepada Arab Saudi.
Mereka didakwa dengan delik pembunuhan, mutilasi dan penghilangan barang bukti. Khashoggi tewas usai diundang ke gedung Konsulat Arab Saudi di Istanbul, Oktober 2018 silam. Beberapa tersangka terungkap bekerja secara langsung untuk putra mahkota Saudi, Pangeran Mohammed bin Salman. Mereka antara lain dipersenjatai gergaji tulang untuk memutilasi jenazah korban.
Keputusan Turki mengembalikan kasus Khashoggi menghilangkan hambatan terakhir bagi rekonsiliasi dengan Arab Saudi.
Dorongan diplomasi dari Ankara dinilai berkaitan dengan krisis ekonomi terburuk selama dua dekade terakhir. Dampak pandemi Covid-19 dan perang di Ukraina semakin membebani perekonomian negeri dua benua itu.
Saat ini, inflasi di Turki mencapai 61 persen, sementara nilai tukar mata uang Lira anjlok 44 persen terhadap Dollar Amerika Serikat.
Ankara mengklaim telah menyepakati pertukaran utang senilai USD 4,9 miliar dengan monarki di Abu Dhabi. Perjanjian serupa sudah dibuat dengan Qatar, Cina dan Korea Selatan. Uni Emirat Arab juga mengumumkan kucuran dana investasi senilai USD 10 miliar kepada Turki.
Advertisement
Presiden Erdogan Jamin Keamanan di Ukraina
Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky mengaku mendapat dukungan dari Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan. Keduanya sempat bicara di telepon usai negosiasi Rusia-Ukraina di Istanbul pada pekan ini.Â
"Kami berbicara dengan sangat spesifik, terutama tentang prospek-prospek negosiasi di Turki dengan Federasi Rusia. Dan juga tentang pembuatan sistem efektif untuk menjamin negara kami," ujar Zelensky dalam pidatonya, dikutip situs pemerintah Ukraina, Ukrinform, Jumat (1/4/2022).
"Saya bersyukur atas kesiapan Turki untuk menjadi penjamin keamanan bagi Ukraina," lanjut Presiden Zelensky.Â
Posisi strategis Turki memang sangat rentan di tengah invasi Rusia, pasalnya Turki punya hubungan dagang yang baik dengan kedua negara.
Daily Sabah melaporkan transaksi dagang Turki dengan dua negara tersebut mencapai rekor terbaru pada tahun lalu. Transaksi dengan Rusia mencapai US$ 34,7 miliar dan dengan Ukraina sebesar US$ 7,4 miliar.
Turki telah mengirim bantuan drone dan bantuan kemanusiaan ke Ukraina, tetapi masih enggan mendukung sanksi ke Rusia.Â
Cari Bantuan Internasional
Presiden Zelensky masih mencari dukungan internasional untuk melawan invasi Rusia. Baru-baru ini, ia berbicara kepada parlemen Australia, Belanda, dan Belgium.
"Saya merasakan dukungan penuh. Saya menunggu langkah-langkah konkrit. Saya meminta sanksi-sanksi yang yang lebih keras terhadap Rusia. Kita harus menekan kepada agresor hingga agresi itu berakhir," ujarnya.
Terkait situasi perang, Zelensky menyorot bahwa daerah Donbas, Mariupol, dan Kharkiv masih mengkhawatirkan. Rusia dituduh sedang mengakumulasi potensi untuk serangan kuat.
Zelensky juga menyebut Rusia sebagai sosok chimera atau monster berkepala singa, bertubuh kambing, dan berekor ular.
"Kita akan melakukan segala yang kita bisa untuk menghentikan para penjajah dan membersihkan negeri kita dari kejahatan dan chimera bodoh mereka," kata Presiden Ukraina.
Advertisement