Sukses

Jika Ferdinand Marcos Jr Jadi Presiden Filipina, Bagaimana Hubungan dengan China dan AS?

Keunggulan Ferdinand Marcos Jr di Pilpres Filipina 2022 dikabarkan meningkatkan kekhawatiran terkait erosi demokrasi di Asia, berpotensi memperumit upaya Amerika Serikat menumpulkan pengaruh dan kekuatan China yang berkembang di Pasifik.

, Manila - Ferdinand "Bongbong" Marcos Jr. unggul dalam Pilpres Filipina 2022. Ia berhasil meraup lebih dari 31 juta dukungan atau sekitar 58,76 persen suara pada Rabu 11 Mei 2022, dalam penghitungan sementara pemilihan presiden.

Sementara pemimpin oposisi dan Wakil Presiden Leni Robredo tertinggal jauh pada Pemilu Filipina 2022, dengan hanya mengantongi kurang dari 15 juta atau 28,04 persen suara.

Mengutip DW Indonesia, Kamis (12/5/2022), jika hasil perolehan suara tetap tinggi maka Ferdinand Marcos Jr akan menjabat pada akhir Juni 2022 untuk masa jabatan enam tahun dengan Sara Duterte, putri Presiden Rodrigo Duterte sebagai wakil presidennya.

Kemenangan besar yang diraih Marcos Jr. ini meningkatkan kekhawatiran terkait erosi demokrasi di Asia dan berpotensi memperumit upaya Amerika Serikat untuk menumpulkan pengaruh dan kekuatan China yang berkembang di Pasifik.

Sekilas Hubungan Marcos Jr dengan China dan AS

Marcos Jr., putra mantan diktator Filipina Ferdinand Marcos, memiliki hubungan yang telah terjalin lama dengan China dan sedang mencari kesepakatan baru dengan Presiden Xi Jinping atas perairan yang diperebutkan di Laut China Selatan.

Di sisi lain, hubungan Marcos Jr. dengan Amerika Serikat diperumit oleh insiden terkait perintah pengadilan di AS, di mana dia menolak bekerja sama dengan Pengadilan Distrik Hawaii yang pada 1995 memerintahkan keluarga Marcos untuk membayar 2 miliar dolar AS dari kekayaan yang dijarah kepada para korban pemerintahan Marcos.

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

2 dari 4 halaman

Persahabatan Marcos Jr. dengan China

Filipina adalah titik temu persaingan geopolitik antara AS dan China, dengan wilayah maritimnya meliputi bagian dari Laut China Selatan, jalur strategis dan kaya sumber daya, di mana China juga mengklaim kedaulatannya.

Pada 2016, Pengadilan Arbitrase Tetap Internasional menyatakan China tidak memiliki dasar hukum untuk mengklaim wilayah perairan di Laut China Selatan. Namun, dalam wawancaranya saat kampanye pilpres, Marcos Jr. mengatakan bahwa keputusan pengadilan tersebut "tidak efektif" karena China tidak mengakuinya. Dia akan mencari kesepakatan bilateral dengan China untuk menyelesaikan perbedaan antara Filipina dan China.

"Jika Anda membiarkan AS masuk, Anda menjadikan China musuh Anda,” katanya kepada Radio DZRH. "Saya pikir kita bisa mencapai kesepakatan (dengan China). Faktanya, orang-orang dari kedutaan China adalah teman saya. Kami telah membicarakan hal itu."

Seorang juru bicara Kementerian Luar Negeri China mengatakan pada Rabu 11 Mei bahwa kedua negara "saling berhadapan di seberang perairan, menikmati persahabatan tradisional yang sudah berlangsung lama" dan China tetap "berkomitmen untuk bertetangga baik" di bawah pemerintahan yang akan datang.

Antonio Carpio, mantan Hakim Mahkamah Agung yang memimpin tim hukum Filipina di pengadilan arbitrase, mengatakan sikap Marcos adalah "pengkhianatan". "Dia memihak China melawan Filipina," katanya.

Rommel Banlaoi, pakar keamanan yang berbasis di Manila, mengatakan Marcos Jr. menginginkan hubungan yang lebih bersahabat dengan China, tetapi tidak dengan mengorbankan wilayah.

"Dia terbuka untuk konsultasi langsung dan negosiasi bilateral dengan China untuk menyelesaikan perbedaan mereka," kata Banlaoi. "Dia bersedia untuk mengeksplorasi bidang kerja sama pragmatis dengan China, termasuk pengembangan gas alam dan minyak di Laut Filipina Barat."

3 dari 4 halaman

Paksaan dan Agresi

Amerika Serikat telah meningkatkan keterlibatannya di Asia Tenggara dalam beberapa bulan terakhir untuk memerangi "pemaksaan dan agresi" China di kawasan itu. Pada Maret dan April lalu, lebih dari 5.000 personel militer AS melakukan latihan gabungan dengan pasukan Filipina, menjadikannya latihan terbesar dalam tujuh tahun terakhir.

Renato Cruz De Castro, seorang analis urusan internasional di universitas De la Salle di Manila, mengatakan manuver tersebut menyoroti bagaimana keharusan strategis telah memaksa Presiden Filipina Rodrigo Duterte untuk membangun hubungan yang kuat dengan Washington.

"Duterte menyadari bahwa apakah Anda menenangkan atau menantang China, itu tidak masalah. Mereka masih akan mencoba mengambil wilayah laut Anda," katanya kepada Reuters.

"Marcos mungkin memiliki beberapa masalah dengan Amerika Serikat, (tetapi) dia akan menghadapi kendala dari birokratnya dan angkatan bersenjata yang benar-benar menghargai aliansi tersebut."

4 dari 4 halaman

AS: Terlalu Dini Mengomentari Hasil Pemilu Filipina

Juru bicara Departemen Luar Negeri AS Ned Price mengatakan dalam jumpa pers pada hari Selasa (10/05), bahwa terlalu dini untuk mengomentari hasil pemilihan Filipina atau dampaknya terhadap hubungan kedua negara, tetapi mengungkapkan "kami berharap dapat memperbarui kemitraan khusus kami" dan bekerja dengan pemerintahan baru di Manila.

"Sebagai teman, sebagai mitra, sebagai sekutu, kami akan terus berkolaborasi secara erat untuk memajukan kawasan Indo-Pasifik yang bebas dan terbuka, terhubung, sejahtera, aman, dan tangguh,” kata Price. "Kami juga akan terus ... mempromosikan penghormatan terhadap hak asasi manusia dan supremasi hukum, yang mendasar bagi hubungan AS dengan Filipina."

"Kemenangan nyata Bongbong akan menemui kekecewaan bagi banyak orang di Washington," kata Greg Poling, Direktur Studi Asia Tenggara di Pusat Studi Strategis dan Internasional yang berbasis di Washington.

Meskipun pemerintahan Joe Biden mungkin lebih suka bekerja dengan lawan utama Marcos Jr., Leni Robredo, "aliansi AS-Filipina sangat penting untuk keamanan dan kemakmuran kedua negara, terutama di era baru persaingan dengan China," ujar Poling.