Sukses

Menlu Retno Tegaskan Posisi Indonesia Soal Rusia-Ukraina di Depan Menlu Serbia

Menlu Retno menegaskan posisi Indonesia terkait soal invasi Rusia-Ukraina.

Liputan6.com, Jakarta - Menlu Retno Marsudi kembali menegaskan posisi Indonesia terkait invasi Rusia terhadap Ukraina.

Kali ini di depan Menlu Serbia Nikola Selakovic, Menlu Retno mengatakan bahwa Indonesia menjunjung tinggi integritas dan mengharapkan adanya solusi perdamaian.

"Pada isu-isu internasional, kami membahas situasi di Ukraina. Saya menegaskan kembali posisi Indonesia tentang pentingnya menjunjung tinggi prinsip menghormati integritas dan kedaulatan wilayah."

"Saya juga menggarisbawahi seruan Indonesia agar semua pihak segera menghentikan perang dan mencari solusi damai di meja perundingan," ujar Menlu Retno dalam Press Briefing Pertemuan Bilateral Menlu RI-Menlu Serbia yang digelar virtual pada Senin (23/5/2022).

Lebih lanjut lagi, Menlu Retno juga menekankan perlunya mengembangkan iklim kepercayaan strategis di mana setiap negara memikul tanggung jawab untuk berkontribusi dalam menciptakan lingkungan yang memungkinkan untuk penyelesaian konflik secara damai.

Sebelumnya, Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko menegaskan bahwa Indonesia berada dalam posisi netral pada konflik Rusia-Ukraina.

Tak hanya menganut asas politik bebas aktif, kata Moeldoko, Indonesia juga memiliki tanggung jawab moral sebagai Presidensi G20 untuk tidak memiliki keberpihakan politik kepada negara mana pun.

Hal ini disampaikan Moeldoko saat menerima kunjungan dari Dubes Uni Eropa Vincent Piket di Gedung Bina Graha Kantor Staf Presiden Jakarta, Jumat (22/4/2022).

"Indonesia dihadapkan pada situasi yang sulit untuk mendukung Ukraina dan memberikan sanksi kepada Rusia. Karena sebagai Presidensi G20, Indonesia harus merangkul semua negara anggota secara adil. Indonesia tidak memihak siapa pun dalam konflik ini," kata Moeldoko dikutip dari siaran pers.

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

2 dari 4 halaman

Pernyataan Moeldoko

Moeldoko juga menyayangkan eskalasi perang di Rusia dan Ukraina. Namun, Indonesia tetap berada dalam posisi yang mendukung perdamaian dan menentang segala macam bentuk kekerasan oleh siapa pun.

Sementara itu, Dubes Uni Eropa Vincent Piket datang menemui Kepala Staf Kepresidenan untuk membahas kekhawatiran negara-negara Eropa terhadap ketidakpastian global di sektor ekonomi dan keamanan yang diakibatkan oleh perang Rusia-Ukraina.

"Uni Eropa meminta agar Indonesia menggunakan pengaruhnya sebagai Presidensi G20 untuk memberikan tekanan kepada Rusia agar menghentikan perang di Ukraina," katanya.

"Karena sanksi merupakan salah satu kunci yang dapat mempengaruhi eskalasi perang Rusia-Ukraina. Sanksi dapat membuka peluang terjadinya negosiasi,” sambung Vincent.

Terkait hal ini, Moeldoko mengatakan bahwa pihak Indonesia akan mencatat semua kekhawatiran dan perhatian negara-negara dunia. Dia pun mengapresiasi seruan global dan perhatian negara mitra kepada Indonesia.

"Ini berarti posisi Indonesia telah memberikan peranan dan pengaruh yang signifikan di panggung dunia," ucap Moeldoko.

3 dari 4 halaman

Undangan KTT G20

Presiden Joko Widodo (Jokowi) dilaporkan telah mengundang Presiden Rusia Vladimir Putin ke G20. Pertemuan puncak G20 akan digelar di Indonesia pada November 2022. Kini, muncul pertanyaan apakah Indonesia juga akan mengundang Ukraina di G20, meski Ukraina bukan anggota. 

Berdasarkan laporan VOA Indonesia, Sabtu (16/4/2022), sejumlah negara mensyaratkan kehadiran Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky dalam konferensi tingkat tinggi (KTT) G20 yang akan berlangsung di Bali, November tahun ini, jika Indonesia tetap mengundang Presiden Rusia Vladimir Putin. Ada pula sinyal-sinyal dari negara yang ingin memboikot KTT G20 apabila Putin hadir tanpa Zelensky.

Juru bicara Kementerian Luar Negeri Teuku Faizasyah menyatakan belum bisa memastikan apakah Indonesia akan mengundang Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky dalam perhelatan akbar itu. Menteri Luar Negeri Retno Marsudi, ujarnya, masih terus berkomunikasi dan berkonsultasi dengan beragam pihak untuk menyikapi perkembangan terkait perang Rusia di Ukraina.

"Melalui konsultasi tersebut, kita bisa memetakan bagaimana sisi pandang negara-negara atas arti penting pertemuan G20 itu sendiri dalam merespon berbagai tantangan yang terjadi di saat sekarang, dalam kita mengatasi tantangan ekonomi yang betul-betul menjadi satu tekanan. Tentunya kita juga mendengarkan pandangan mereka atas isu-isu yang banyak dilontarkan beberapa pemimpin dunia di saat sekarang," kata Faizasyah, Kamis (14/4).

Tapi Faizasyah mengakui tidak dapat mengungkapkan hasil konsultasi Retno dengan beragam negara karena sebagian besar bersifat rahasia. Menlu Retno Marsudi, tambahnya, juga akan berkonsutasi dengan sejumlah negara Eropa terkait hal ini.

4 dari 4 halaman

Stabilitas Ekonomi

Pengamat politik internasional dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Nanto Sriyanto mengatakan Forum G20 nantinya tidak akan membahas mengenai perang Rusia di Ukraina tetapi mendiskusikan bagaimana perang tersebut telah mengganggu stabilitas ekonomi dunia. 

Menurutnya para pemimpin negara anggota G20 perlu dampak luas yang dirasakan banyak negara akibat konflik yang berlangsung sejak 24 Februari lalu itu. Terlebih karena dunia masih belum lepas dari situasi pandemi COVID-19 dan pemulihan ekonomi global masih tersendat-sendat.

Secara normatif, lanjut Nanto, konflik Rusia-Ukraina bisa dibahas di Perserikatan Bangsa-Bangsa atau jika perlu di Dewan Keamanan. Sedangkan Forum G20 tetap fokus pada dampak perang tersebut terhadap stabilitas ekonomi dunia. 

"Memang kita harus akui ada ketidakimbangan kekuatan di mana satu negara bisa mendorong agenda yang sebenarnya tidak terlalu relevan pada satu topik. Dalam konteks ini, Indonesia harus menjadi dirigen yang baik. Pada prakteknya jabatan Presidensi G20 ini mengelola kepentingan banyak pihak, kemudian bisa menempatkan fungsi G20 itu sendiri," ujar Nanto.

Nanto pun mencontohkan bagaimana setelah serangan 11 September 2001 di New York dan Washington DC, Amerika menjadikan isu terorisme masuk dalam beragam agenda kerjasama di berbagai forum multilateral.