Sukses

Dampak Penembakan di Texas, WNI di AS Jadi Takut Kirim Anaknya Bersekolah

WNI di AS merasakan ketakutan untuk melepas anaknya bersekolah usai insiden penembakan di Texas.

Liputan6.com, Jakarta - Rindri Rendusara, warga Indonesia yang tinggal di Kota Katy, di negara bagian Texas, sekitar empat jam berkendara dari Kota Uvalde, mengaku "speechless" alias tidak bisa berkata-kata, saat mendengar tentang insiden penembakan massal yang kembali terjadi di Amerika Serikat (AS).

Selama 19 tahun bermukim di AS, tak pernah terpikir oleh Rindri bahwa insiden penembakan massal seperti ini bisa terjadi di negara bagian tempat tinggalnya. Demikian seperti dikutip dari laman VOA Indonesia, Senin (30/5/2022). 

Seperti halnya yang dilakukan oleh beberapa orang tua korban, di hari kejadian itu, Ibu dari tiga anak ini sempat menghadiri acara di sekolah anak bungsunya, Sabrina, yang berusia 11 tahun dan duduk di bangku kelas 5 SD.

“Saya merasa sedih, I put myself in their shoes (menempatkan pada posisi mereka. red). Nggak bisa bayangin deh. Ini sesuatu yang seharusnya nggak terjadi, tapi kelihatannya makin sering dan sering (terjadi),” ujar Rindri Rendusara kepada VOA belum lama ini.

Kesedihan yang sama ikut dirasakan oleh Melissa Anggiarti yang tinggal di negara bagian Michigan, AS. Ia merasa berat untuk melepas putrinya yang baru berusia tiga tahun pergi ke sekolah keesokan harinya.

“Bangun tidur dilema, antara menyekolahkan anak atau meliburkan dia, tetapi anaknya sangat bersemangat sekali untuk pergi sekolah karena dia tahu hari itu bukan hari libur dan dia harus pergi ke sekolah,” cerita Melissa Anggiarti.

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

2 dari 4 halaman

Takut Lepas Anak ke Sekolah

Tidak hanya rasa cemas, Qiki Piasasty yang tinggal di Vienna, Virginia juga mengaku takut saat harus melepaskan kedua putranya yang berusia 8 dan 13 tahun ke sekolah. Hatinya pilu setiap kali memikirkan kepedihan para orang tua korban.

“Rasanya berlinang air mata dan saya tidak bisa menempatkan diri di posisi mereka, karena sangat sulit. Satu hari Anda bisa melihat anak Anda pergi ke sekolah, di hari lain mereka tidak akan pernah kembali. Saya tidak bisa membayangkannya,” ujar Qiki sambil terbata-bata.

Namun, Qiki menyadari bahwa anak-anak tidak hanya membutuhkan pendidikan, tapi juga interaksi sosial dengan guru dan teman-temannya.

“Kita banyak berdoa aja, semoga selalu selamat,” ujarnya.

Berbagai distrik sekolah di seluruh AS tidak tinggal diam untuk meredakan kecemasan para orang tua murid. Salah satu divisi sekolah terbesar di AS, Fairfax County Public Schools (FCPS) yang menangani 198 sekolah dan pusat pendidikan mengirimkan surat edaran yang mengatakan telah “mengutuk tindakan kekerasan yang tidak masuk akal ini.”

3 dari 4 halaman

Ingin Aksi Nyata

Lewat surat edaran itu, kepala lembaga, Scott Brabrand juga menyebutkan akan terus berusaha untuk meningkatkan keselamatan gedung-gedung sekolah dengan biaya tahunan yang tersedia. Ia juga mengatakan bahwa FCPS memiliki salah satu sistem keamanan sekolah yang paling maju di seluruh negeri.

Lembaga yang memiliki murid lebih dari 180 ribu siswa ini juga menekankan bahwa keselamatan sekolah-sekolah mereka, beserta para murid dan karyawan merupakan prioritas.

Kedua anak Qiki Piasasty bersekolah di bawah naungan FCPS. Qiki mengatakan, tidak hanya FCPS, namun sekolah-sekolah anaknya secara langsung juga “selalu mengkomunikasikan apa yang mereka lakukan terhadap (kemananan) di sekolah.” Mulai dari pelatihan untuk menghadapi tornado, hingga pelatihan jika ada serangan yang terjadi di sekolah. Namun, sebagai orang tua, Qiki lebih berharap untuk adanya aksi “yang lebih nyata” untuk anak-anak.

“Tapi saya harus bersyukur dengan adanya komunikasi ini, paling nggak saya tahu apa yang mereka persiapkan apabila terjadi penembakan atau serangan terhadap sekolah,” jelasnya.

Menurut Melissa Anggiarti, sungguh ironis mengingat para siswa di AS kerap diberikan pelatihan untuk menghadapi penembakan massal.

“Itu berarti mereka mengetahui bahwa mereka setiap hari berada di kondisi tidak aman. Untuk orang dewasa saja itu hal yang unbearable (tak tertahankan. red), apalagi untuk anak kecil? Saya nggak bisa bayangin,” ujarnya.

4 dari 4 halaman

Peningkatan Aturan Keamanan Sekolah

Distrik sekolah negeri di Kota Uvalde juga memiliki peraturan tersendiri terkait dengan keamanan sekolah. Salah satu peraturan yang tercantum berkaitan dengan kebijakan mengunci pintu kelas. Namun, aturan tersebut tidak menyebutkan pintu utama atau pintu-pintu lainnya di sekolah. Pasalnya, pelaku penembakan yang baru berusia 18 tahun itu berhasil masuk ke dalam gedung sekolah dasar Robb melalui pintu yang tidak terkunci.

“Yang saya lakukan adalah saya mengantar (anak) dan saya make sure (memastikan.red) ke sekolah bahwa mereka mengunci pintu dengan sangat proper (benar. red) dan saya rasa ini menjadi concern (perhatian. red) setiap parents (orang tua. red) di sini,” kata Melissa.

Mengenai sistem keamanan sekolah, Rindri Rendusara merasa bahwa sekolah anaknya “sudah menerapkan prosedur keamanan (yang cukup baik).” Walau mengaku “deg-degan,” inilah yang meyakinkan Rindri untuk kembali menyekolahkan putrinya, satu hari setelah insiden penembakan massal ini.

“Jadi mereka itu ada visitor access (akses pengunjung. red) dan tracking system (sistem pelacakan.red) yang baik kalau masuk ke gedung sekolah, dengan satu pintu, pintu utama. Kemudian kita harus memberikan kartu identitas,” ujarnya.

Namun, Rindri juga tidak lupa untuk mengingatkan putrinya agar selalu melapor jika melihat ada hal-hal yang mencurigakan. Untungnya, pihak sekolah memiliki aplikasi bernama Speak Up yang memudahkan anggota komunitas, termasuk siswa, orang tua, dan anggota komunitas untuk memberikan laporan berupa foto atau video, tanpa perlu mengungkap nama.

“Jadi sebenarnya sekolah sudah melakukan preventive (pencegahan) Jadi saya ingin anak saya itu merasa aman juga. Tapi di lain pihak saya waswas juga,” tambahnya.