Sukses

Inflasi di Turki Melejit hingga 70%, Apa Sebabnya?

Inflasi di Turki melejit hingga 70%, yang disebabkan oleh kenaikan harga gas dan bahan bakar.

DW, Jakarta - Perang Ukraina dan kenaikan biaya energi memang menyebabkan kenaikan harga hampir di seluruh dunia. Namun inflasi di Turki bahkan sudah tingi sebelum konflik Ukraina pecah.

Pada bulan Mei menurut statistik resmi tingkat inflasi sudah mencapai 73,5%, hampir sepuluh kali lebih tingi dari angka inflasi di Jerman pada bulan yang sama.

Kelompok Riset Independen Inflasi Turki ENAG bahkan menyebutkan, angka sebenarnya masih jauh lebih tingi lagi dari angka resmi yang diumumkan pemerintah. Demikian seperti dikutip dari laman DW Indonesia, Jumat (17/6/2022). 

Mereka memperkirakan inflasi mungkin mendekati kisaran 160 %. Lembaga statistik resmi Turki TUIK sebagai reaksinya mengadukan ENAG ke kejaksaan, dengan tuduhan menyebarkan angka-angka yang sengaja dirancang untuk merusak reputasi TUIK.

Perekonomian Turki memang mengalami masa-masa bergejolak jauh sebelum Rusia menginvasi Ukraina. Upaya pemerintah untuk meredam inflasi tidak menghasilkan apa-apa. Pemerintah misalnya menaikkan upah minimum secara drastis, tapi itu hanya mengakibatkan harga-harga naik lebih tinggi lagi.

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

2 dari 4 halaman

Penyebab

Setelah perang pecah di Ukraina, harga-harga makin melonjak, terutama yang berkaitan dengan energi dan bahan bakar. Menurut TUIK, biaya transportasi, yang juga mencakup harga gas dan solar, naik 224% pada Mei 2022 dibandingkan Mei 2021. Karena Turki memenuhi hampir semua kebutuhan energinya dengan impor, negara itu sangat terpukul dengan kenaikan harga minyak dan gas di pasaran dunia.

Bersamaan dengan itu, harga makanan dan minuman non-alkohol juga naik hampir dua kali lipat selama setahun terakhir. Inflasi pada harga makanan dan minuman mencapai 91,6% pada bulan Mei 2022. Akibatnya, banyak warga di Turki mengalami ketakutan eksistensial yang sangat nyata.

Ekonom Murat Birdal dari Universitas Istanbul, menyalahkan Bank Sentral Turki terkait inflasi tinggi ini. Juga sejumlah pakar keuangan mendukung tuduhan Birdal, bahwa Bank Sentral tidak bertindak secara independen. Untuk meredam inflasi yang melejit tingi, seharusnya Bank Sentral menaikkan suku bunga. Namun suku bunga tetap dibiarkan rendah karena pemerintahan Erdogan menghendakinya. Murat Birdal mengatakan, tingkat inflasi di Turki bisa mencapai angka tiga digit pada akhir tahun.

 

3 dari 4 halaman

Dampak Suku Bunga

Presiden Erdogan justru menegaskan, inflasi adalah dampak dari suku bunga yang terlalu tinggi, suatu hal yang bertentangan dengan teori ekonomi yang selama ini jadi pegangan bank-bank sentral lainnya.

Karena pimpinan Bank Sentral membantah argumennya, Erdogan sampai beberapa kali mengganti pemimpin Bank Sentral dan akhirnya menempatkan kerabatnya di posisi penting itu.

Erdogan juga mengganti kepala TUIK, yang menghitung tingkat inflasi tinggi pada awal tahun. Dalam sebuah rapat umum akhir pekan lalu, Erdogan kembali menyatakan tekad tidak akan menaikkan suku bunga, bahkan kemungkinan akan menurunkannya lagi.

 

4 dari 4 halaman

Pengaruh Politik

Pada September 2021, Bank Sentral menurunkan suku bunga mengikuti tekanan pemerintah Erdogan. Dampaknya segera terlihat di passar uang. Banyak investor asing meninggalkan negara itu, perekonomian memburuk, dan inflasi sejak itu meroket tanpa henti. Nilai tukar mata uang Lira Turki anjlok. Tahun ini saja, nilai tukar Lira Turki sudah turun 23% terhadap dólar AS, padahal tahun lalu sudah merosot 44%. Melemahnya mata uang secara dramatis membuat impor bahan mentah dan energi menjadi lebih mahal.

Presiden Erdogan berharap, kebijakan suku bunga rendahnya akan bisa menarik investor asing. Awal minggu ini dia berjanji untuk membawa Turki masuk ke jajaran 10 ekonomi teratas dunia. Namun campur tangan Presiden dalam kebijakan-kebijakan Bank Sentral telah menghilangkan kredibilitas lembaga keuangan negara itu di mata investor asing.

Pulihnya perekonomian memang menjadi agenda terpenting bagi Erdogan, karena ia ingin terpilih lagi dalam pemilu 2023. Ketika Recep Tayyip Erdogan mendirikan partainya AKP tahun 2001, situasinya mirip. Tingkat inflasi di Turki saat itu mencapai 70 persen. Setahun kemudian, AKP berhasil memenangkan mayoritas kursi di parlemen dalam pemilu. Para pemilih ketika itu berharap Erdogan bisa melakukan reformasi dan membawa perbaikan. AKP saat itu itu menguasai 365 dari seluruhnya 550 kursi di parlemen.

Realita saat ini sudah lain, banyak pemilih yang kecewa dan berpaling dari Erdogan dan AKP. Namun situasi ini belum tentu bisa dimanfaatkan oleh kubu oposisi yang masih terpecah belah.