Sukses

PBB: Dunia Maya dan Media Sosial Memperburuk Dampak Ujaran Kebencian

Internet dan media sosial dianggap telah memicu ujaran kebencian.

Liputan6.com, Jakarta - Presiden Sidang Majelis Umum ke-76 PBB Abdulla Shahid pada Senin (20/6) mengatakan “dunia maya dan media sosial – dengan proliferasi disinformasi dan berita palsu – telah semakin memperburuk dampak ujaran kebencian ke tingkat yang belum pernah terjadi sebelumnya.”

Berbicara pada negara-negara anggota dalam sidang khusus majelis itu, yang sekaligus menandai Hari Internasional Melawan Ujaran Kebencian, Shahid menambahkan “tren berbahaya ini hanya berfungsi untuk memecah belah kita ketika persatuan dibutuhkan lebih besar dibanding sebelumnya.”

Menurutnya, untuk mengatasi tantangan ini secara komprehensif, masyarakat internasional “harus memupuk kerja sama global dan bersatu, merangkul semangat kolektif yang dirancang PBB untuk dikembangkan, dan dicoba dirusak oleh ujaran kebencian. Ujaran kebencian adalah ancaman yang inheren pada nilai dan prinsip kita.”

Penasihat Khusus PBB Untuk Pencegahan Genosida Alice Wairimu Nderitu secara khusus membacakan pesan dari Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres, demikian dikutip dari laman VOA Indonesia, Rabu (22/6/2022).

Ia mengatakan “kata-kata dapat menjadi senjata dan menimbulkan kerusakan fisik,” dan menambahkan “eskalasi ujaran kebencian menjadi aksi kekerasan telah memainkan peran dalam kejahatan paling mengerikan dan tragis di zaman modern, dari anti-Yahudi yang mendorong holocaust, hingga genosida terhadap kelompok Tutsi di Rwanda pada 1994."

Nderitu juga mengatakan “internet dan media sosial telah memicu ujaran kebencian, memungkinkan hal itu menyebar seperti api melintasi perbatasan.”

“Penyebaran ujaran kebencian terhadap kelompok minoritas selama pandemi COVID-19 membuktikan lebih jauh banyaknya masyarakat yang sangat rentan terhadap stigma, diskriminasi dan konspirasi yang dipromosikannya,” tegas Nderitu.

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

2 dari 3 halaman

Dituding Izinkan Ujaran Kebencian Etnis Rohingya, Facebook Dituntut US$ 150 Miliar

Puluhan pengungsi Rohingya di Inggris dan AS telah menggugat Facebook, menuduh raksasa media sosial itu mengizinkan penyebaran ujaran kebencian terhadap mereka.

Mereka menuntut lebih dari US$ 150 miliar sebagai kompensasi, mengklaim platform Facebook mempromosikan kekerasan terhadap minoritas yang teraniaya.

Diperkirakan 10.000 Muslim Rohingya tewas selama penumpasan militer di Myanmar yang mayoritas beragama Buddha sejak tahun 2017.

Facebook, sekarang bernama Meta, tidak segera menanggapi tuduhan tersebut.

Dikutip dari BBC, Selasa (7/12/2021), perusahaan itu dituduh membiarkan "penyebaran misinformasi yang penuh kebencian dan berbahaya untuk berlanjut selama bertahun-tahun".

Di Inggris, sebuah firma hukum yang mewakili beberapa pengungsi telah menulis surat ke Facebook dan dilihat oleh BBC, menyatakan:

- Algoritma Facebook "memperkuat pidato kebencian terhadap orang-orang Rohingya"

- Perusahaan "gagal berinvestasi" pada moderator dan pemeriksa fakta yang tahu tentang situasi politik di Myanmar

- Perusahaan gagal menghapus postingan atau menghapus akun yang menghasut kekerasan terhadap Rohingya

- Perusahaan gagal untuk "mengambil tindakan yang tepat dan tepat waktu", meskipun ada peringatan dari sejumlah pihak dan media

3 dari 3 halaman

20 Juta Pengguna Facebook di Myanmar

Facebook memiliki lebih dari 20 juta pengguna di Myanmar. Bagi banyak orang, situs media sosial adalah cara utama atau satu-satunya untuk mendapatkan dan berbagi berita.

Facebook mengakui pada 2018 bahwa itu tidak cukup untuk mencegah upaya penghasutan, kekerasan dan ujaran kebencian terhadap Rohingya.

Ini mengikuti laporan independen, yang ditugaskan oleh Facebook, yang mengatakan bahwa platform tersebut telah menciptakan "lingkungan yang memungkinkan" untuk proliferasi pelanggaran hak asasi manusia.

Rohingya dipandang sebagai migran ilegal di Myanmar dan telah didiskriminasi oleh pemerintah dan publik selama beberapa dekade.

Pada tahun 2017, militer Myanmar melancarkan tindakan keras di negara bagian Rakhine setelah militan Rohingya melakukan serangan mematikan terhadap pos polisi.

Ribuan orang tewas dan lebih dari 700.000 Rohingya melarikan diri ke negara tetangga Bangladesh. Ada juga tuduhan pelanggaran hak asasi manusia yang meluas, termasuk pembunuhan sewenang-wenang, pemerkosaan, dan pembakaran tanah kelahiran mereka.