Sukses

25 Juni 1950: Awal Mula Perang Korea dan Konsekuensinya Kini

Korea Utara menyerang Korea Selatan pada 25 Juni 1950.

Liputan6.com, Seoul - Perang Korea dimulai pada 25 Juni 1950 ketika pasukan Korea Utara melancarkan serangan ke selatan. Korea Utara dibantu oleh China, sementara Korea Selatan dibela koalisi PBB. 

Konflik yang di era Perang Dingin itu berlangsung tiga tahun dan konsekuensinya masih terasa hingga kini. 

Menurut situs Statista, Jumat (24/6/2022), korban meninggal terbanyak berasal dari Korea Utara. Totalnya 520 ribu dari pihak Korut tewas, sementara tentara China kehilangan 110 ribu nyawa. 

Korban dari Korea Selatan mencapai 137 ribu orang, serta banyak keluarga yang terpisah akibat invasi Korut.

Pada 1983, stasiun KBS pernah membuat tayangan pertemuan reuni keluarga yang lama berpisah. Tayangan mengharukan itu berhasil mempertemukan 10 ribu keluarga di Korea Selatan

Dokumen dari UNESCO menyebut ada 100 ribu orang mendaftar untuk mencari keluarga mereka. 53 ribu kasus ditayangkan, 1.641 personel broadcast terlibat, dan ditayangkan live selama 138 hari. Hingga kini, tayangan-tayangan dari KBS itu masih ada di YouTube.

Perang dua Korea berakhir pada 1953, akan tetapi mereka sebetulnya masih berperang. Korea Utara masih terus-terusan menutup diri dan fokus pada nuklir.

Di lain pihak, para laki-laki muda di Korea Selatan masih harus ikut wajib militer selama sekitar 20 bulan. Aturan wamil itu berlaku bagi atlet hingga anggota boyband. Tiap tahun, para fans harus melepas idola favorit mereka untuk wamil, sehingga komunikasi menjadi sangat berkurang.

Kondisi dua Korea juga sangat berbeda. Kini, Korea Selatan telah menjadi salah satu negara paling maju di Asia. Hal yang sama tak bisa dikatakan untuk Korea Utara. 

Perang Dingin sebetulnya telah berakhir. Uni Soviet sudah pecah, Tembok Berlin sudah runtuh, dan dua Jerman telah bersatu. Namun, hubungan dua Korea masih dingin hingga saat ini.

Korea Selatan sebetulnya memiliki Kementerian Reunifikasi, tetapi belum ada kejelasan kapan Semenanjung Korea bisa kembali bersatu seperti di zaman Dinasti Joseon.

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

2 dari 4 halaman

Dino Patti Djalal: Hubungan Spesial Korea Selatan - Indonesia Really Beautiful

Diplomat sekaligus pendiri FPCI Dino Patti Djalal mengatakan bahwa Indonesia dan Korea Selatan memiliki hubungan baik hingga kini. Tahun 2022, hubungan diplomatik antara kedua negara ini menginjak usia ke-49 tahun.

"Menurut pandangan saya, yang membuat hubungan Indonesia-Korsel spesial karena hubungan ini tanpa beban dan tanpa 'agenda'," ujar Dino saat mendampingi 'Indonesia Next Generation Journalist Network on Korea' kerja sama Korea Foundation dan Forum Policy Community Indonesia (FPCI) di KBRI Seoul, Korea Selatan beberapa waktu lalu. 

"Tidak ada hidden agenda seperti misalnya relasi dengan negara-negara besar lain," ucap mantan Dubes Indonesia untuk AS itu.

Dino menuturkan bahwa "tak ada beban di sini artinya beban sejarah masa lalu, jadi tidak ada additional control variable yang membuat tak nyaman".

Dino menyebut bahwa Korea Selatan masuk dalam core interest dengan Indonesia, seperti Amerika, China, Inggris, Jerman, Singapura, dan Australia. "Yang membuat hubungan ini spesial, hubungan ini tanpa beban tanpa hidden agenda."

"Dengan Korea (Korea Selatan) bebas, no hidden agenda, tidak ada beban masa lalu, really beautiful relationship. Ini hubungan yang sangat kuat, makanya ada special strategic partnership," jelas Mantan Wakil Menteri Luar Negeri RI itu.

Menurut Dino, Korea itu tak sekadar latah menyebut status strategic partnership. Terbukti dari hanya sedikit negara yang dilabeli status tersebut, dan Indonesia salah satunya.

"Kalau mereka mau ada strategic partnership itu benar-benar serius, very special relationship." Ibarat pacaran, Dino menjelaskan bahwa seperti sungguh cinta.

3 dari 4 halaman

Cerita Dubes Sulis Soal Hubungan Indonesia dan Korea Selatan di Bawah Presiden Yoon

Mei tahun ini Korea Selatan (Korsel) memiliki pemimpin baru, Yoon Suk Yeol. Ia resmi dilantik pada Selasa 10 Mei 2022 waktu setempat.

Yoon Suk Yeol adalah pendatang baru di dunia politik, setelah menghabiskan 27 tahun terakhir karirnya sebagai jaksa. Dia memulai karir politiknya setelah menjabat sebagai kepala jaksa yang memimpin investigasi tingkat tinggi atas skandal korupsi yang melanda para pembantu Presiden Moon Jae-in. 

Kemenangan Yoon menempatkan pemerintah Korea kembali ke tangan konservatif, lebih dari lima tahun setelah konservatif Park Geun-hye dimakzulkan karena skandal korupsinya sendiri.

Presiden RI Kelima yang juga Ketua Umum DPP PDI Perjuangan (PDIP) Megawati Soekarnoputri menghadiri prosesi pelantikan Presiden Korea Selatan (Korsel) yang baru, Yoon Suk Yeol di plaza depan Gedung Parlemen Korsel di Kota Seoul. Megawati yang memakai baju kebaya berwarna merah, hadir ke lokasi itu dari tempat penginapan di Lotte Hotel Seoul, dengan iring-iringan protokol tamu negara.

Duta Besar RI untuk Korea Selatan Gandi Sulistyanto juga turut menghadiri acara tersebut. Ia mengatakan telah berbicara langsung dengan Presiden Yoon tentang hubungan antara Indonesia dan Korea Selatan.

Menurut penuturannya, hubungan bilateral antara Indonesia dan Korea Selatan di bawah pemerintahan yang baru oleh Presiden Yoon Suk Yeol akan terus dipertahankan.

"Adanya Presidensi Indonesia di G20, saya juga ingatkan Presiden Yoon betapa ini penting, sehingga mengundang Presiden Yoon untuk hadir di Bali pada November tahun ini dan beliau mengatakan akan hadir di G20," ujar Dubes Sulis saat bercengkrama dengan jurnalis dalam program 'Indonesia Next Generation Journalist Network on Korea' kerja sama Korea Foundation dan Forum Policy Community Indonesia (FPCI) akhir Mei 2022 lalu.

4 dari 4 halaman

Megawati Dukung Persatuan Korea

Presiden Kelima RI yang juga Ketua Umum DPP PDI Perjuangan (PDIP) Megawati Soekarnoputri menyatakan keyakinannya bahwa penyelesaian permasalahan di Semenanjung Korea adalah dengan jalan dialog dan jalan kebudayaan, bukan dengan senjata. 

Hal itu disampaikan Megawati dalam pidatonya di acara penganugerahan gelar profesor kehormatan oleh Seoul Institute of the Arts (SIA) di Seoul, Korea Selatan, Rabu (11/5). 

“Kuncinya, persoalan di Semenanjung Korea harus diselesaikan melalui jalan dialog, jalan kebudayaan, jalan yang meretas kepercayaan, dan penuh dengan nilai-nilai kemanusiaan,” kata Megawati.

Menurut Megawati, identitas kebudayaan Bangsa Korea saat ini sangatlah kuat. Dan ini akan menjadi modal penting di dalam mendorong perdamaian dunia, termasuk di Semenanjung Korea.

Menurut Megawati, soal perdamaian di Semenanjung Korea adalah salah satu perhatian terpenting baginya.

“Bung Karno, kami semua, dan seluruh rakyat Indonesia, selalu berjuang bagi perdamaian dunia berdasarkan penghormatan atas kemanusiaan, kemerdekaan, dan keadilan sosial,” kata Megawati.

Dengan identitas, jati diri, dan karakter kebudayaan yang sama antara Korea Utara dan Korea Selatan, Megawati meyakini, spirit berkebudayaan inilah yang akan menjadi kunci perdamaian dengan apa yang disebut re-unifikasi Korea.

“Penjabaran berdaulat di bidang politik tersebut membawa makna bahwa perdamaian abadi hanya bisa dilakukan oleh Bangsa Korea sendiri, tanpa adanya intervensi negara lain. Sebab keduanya adalah satu keluarga, satu identitas kebudayaan,” urai Megawati.

Prinsip tidak adanya campur tangan negara lain terhadap persoalan domestik suatu bangsa juga menjadi salah satu poin penting dari Dasa Sila Bandung, yang telah menjadi spirit Konferensi Asia Afrika pada tahun 1955.

Megawati meyakini bahwa jalan menuju perdamaian di Korea yang begitu penting bagi perdamaian dunia, dapat diwujudkan. Asal dilakukan dengan landasan kebudayaan, dan perekonomian yang telah mencapai suatu tahapan menuju “berdikari’, dengan prinsip-prinsip berdaulat di bidang politik; serta dijalankannya Spirit Dasa Sila Bandung yang menghormati penyelesaian berbagai persoalan secara damai, tanpa adanya intervensi asing.

“Dalam upaya ini, sekali lagi, saya pribadi ikut terpanggil untuk ikut memikul tanggung jawab tersebut,” ucap Megawati.

“Kita semua percaya, bahwa dengan jalan kebudayaan yang diterangi oleh mata hati, optimisme dan rasa saling percaya, akan benar- benar menjadi jalan perdamaian. Hal itu saya yakini, juga menjadi dambaan seluruh bangsa Korea; rakyat Korea yang sebenarnya adalah satu bangsa, satu jiwa dan satu karakter dalam kebudayaan. Terimakasih,” pungkas Megawati.